Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 13 Januari 2016

Alangkah Lucunya Negeriku ini, Kawan...

Alangkah Lucunya Negeriku Ini, Kawan Negeri yang katanya kaya raya, namun rakyatnya tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri... Negeri yang katanya beradat, berbudaya, berlembaga, namun orang-orangnya hidup dengan kehilangan jati diri... Negeri yang katanya beragama, menjunjung tinggi moral, namun kebanyakan para pejabatnya lebih memilih menjadi pelacur agama yang lihai... Negeri yang katanya berbhineka tunggal ika, namun semua orang dipaksa dan terpaksa harus mengikuti mau dan inginnya segelintir orang yang merasa memiliki kebenaran... Negeri yang katanya ber-adab, namun tingkah dan laku sebagiian warganya justru bi-adab melebihi binatang... Negeri yang katanya ber-Tuhan, namun iblis malah dijadikan teman karib, bahkan dijadikan idola (berhala) yang disembah-sembah... Maka, jangan kau heran, kawan... meski musibah dan bencana kerap melanda, tak ada kata "kapok" di pikiran kami... walau mala petaka silih berganti, namun tak jera hati kami bertobat dan menginsyafi diri... Pahit getir kami kecap sembari berpejam mata, tanpa protes. Derita kami mamah, tanpa perlu bertanya, mengapa semua bisa terjadi... Seakan semua ini sudah suratan takdir yang tak boleh diganggu gugat lagi... yah, alangkah lucunya negeriku ini, kawan... (**)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/alangkah-lucunya-negeriku-ini_5692492abc22bd290a534841

Minggu, 01 November 2015

Karena Saya Pemabuk, Kata Mereka...


Saya seorang pemabuk, kata orang-orang.  Yah, kata orang-orang yang mengaku bukan pemabuk itu. Padahal, saya hanya minum. Meski yang saya minum itu menurut mereka, adalah minuman keras. Minuman keras adalah minuman yang membuat mabuk. Minuman yang diharamkan Tuhan. Demikian kata mereka.
Saya menduga, sepertinya mereka membawa-bawa nama Tuhan hanya untuk menghakimi saya. Atau bisa jadi mereka hanya mau membangga-banggakan diri sebagai orang yang bukan pemabuk. Dan semoga dugaan saya ini keliru.

Akan tetapi, Saya jadi bingung. Masa hanya karena meminum, yang kata orang-orang itu minuman keras, lantas saya kemudian dicap sebagai pemabuk oleh mereka yang tak meminum minuman keras itu. Yah, hanya karena saya meminum minuman yang katanya memabukkan itu.

Entah iri karena tak bisa atau tak mampu meminum minuman keras itu, atau entah alasan apalah oleh orang-orang itu, sehingga saya dicap sebagai pemabuk. Cap yang tak disukai oleh siapapun, bahkan oleh saya sendiri yang dikata pemabuk ini. Karena saya hanya minum, meski kata mereka, saya mabuk setelah meminum minuman itu.

Celakanya, ketika sehabis minum, saya tak boleh shalat. Lebih tepatnya saya dilarang melakukan shalat oleh orang-orang itu. Jangankan shalat, mendekati tempat shalat saja tak boleh, kata mereka. Alasannya, yang menurut saya sangat konyol, yaitu karena saya mabuk. Alasan yang kekanak-kanakan.

Masih menurut mereka, karena kalau shalat dalam keadaan mabuk, nanti bacaan saya ngelantur. Dan kalau ngelantur, bisa mengganggu kekhusukan shalat orang lain. Lha orang yang khusuk kok bisa terganggu oleh lanturan saya? Jadi yang ngelantur sebenarnya itu siapa? Jangan-jangan, sebenarnya merekalah yang lagi ngelantur ketika shalat. Tapi semoga dugaan saya kali ini juga keliru.

Tapi, memangnya kalau ngelantur, Tuhan tak paham dengan lanturan saya, begitu? Kan Tuhan maha Tahu. Kan Tuhan maha memahami setiap bacaan, yang bahkan dibaca dalam keadaan ngelantur sekalipun.
Lucu sekali. Kalau saya ngelantur karena mabuk, maka saya tak boleh shalat. Sedangkan mereka yang ngelantur karena mendengar lanturan saya, mereka tetap boleh melakukan shalat. Tapi  percuma saja protes. Toh Saya tetap tak boleh shalat karena saya pemabuk, kata orang-orang yang merasa tak mabuk ini.

Tapi aneh. Memangnya kenapa kalau orang mabuk kepingin shalat? Apakah pemabuk tak pantas menjadi hamba Tuhan, dan mereka yang tak mabuk saja yang berhak menjadi hamba Tuhan? Apakah Tuhan pilih kasih dengan hanya membolehkan mereka yang katanya bukan pemabuk saja yang boleh shalat, sedangkan orang-orang seperti saya, yang katanya pemabuk, tak pantas melakukan shalat? Tapi lagi-lagi, percuma saya mencak-mencak. Toh tak akan ada telinga yang sudi mendengar kata-kata seseorang yang terlanjur dianggap pemabuk ini.

Jangan kalian tanya, apakah seorang pemabuk seperti saya, masih bisa berpikir waras dengan aneka pertanyaan seperti itu. Lagi dan lagi, percuma saja kalau saya jawab. Sekuat apapun saya beralasan, toh tetap saja saya akan tetap dianggap pemabuk. Dan apapun alasan seorang pemabuk seperti saya, tak akan digubris, tak dihiraukan sama sekali. Pemabuk memang selalu dianggap sebelah mata, bahkan tak dianggap sama sekali oleh mereka yang katanya tak mabuk itu. Padahal saya ingin shalat. Sungguh.

Saya tak hendak tertawa dengan alasan-alasan mereka yang tak lucu meski konyol itu. Tapi apa boleh dikata, keadilan tak selalu benar-benar tegak. Selalu yang berjumlah terbanyaklah yang menang, bahkan harus menang. Meski dengan merampas hak kemenangan mereka yang berjumlah sedikit. Bukankah selalu begitu, yang minoritas selalu bernasib apes ditengah-tengah mereka yang mayoritas? Dan saya, yang dikata pemabuk ini, selalu bernasib apes.

Apakah Tuhan tak suka dengan tukang minum yang kemudian disebut pemabuk seperti saya? Saya yakin tidak. Tapi saya tak ingin berprasangka buruk terhadap Tuhan meski kata orang, saya tetap tak boleh shalat karena saya seorang pemabuk. Kasihan betul saya ini. Beginilah nasib seseorang yang dicap sebagai pemabuk. Perilaku yang menurut mereka identik dengan tak bermoral. Meski saya masih bingung dengan definisi yang tak bermoral dengan yang bermoral itu seperti apa sesungguhnya..

Padahal, mabuk menurut  orang-orang itu, tapi belum tentu menurut Tuhan kan? Saya curiga, jangan-jangan mereka yang melarang itu mungkin merasa iri kepada saya. Karena saya, meskipun mabuk menurut mereka,  namun masih tetap berkeinginan untuk shalat, ingin dekat kepada Tuhan, berdoa kepada-Nya dan bertukar kata cinta dengan-Nya. Entah oleh Tuhan cintaku bertepuk sebelah tangan, saya tak peduli. Toh cinta tak mesti harus dibalas bukan?

Saya tak peduli, jika cintaku kepada Tuhan, hanyalah cinta seorang pemabuk yang menyedihkan. Cinta hamba yang tak pantas dan layak kepada-Nya.  Cinta yang seperti kata pepatah, ibarat pungguk merindukan bulan. Yah, saya tak peduli. Paling tidak, dalam hidup, saya punya cinta untuk-Nya. Tak peduli orang menganggap cinta saya tak ada apa-apanya, tak ada artinya, bahkan tak ada harganya di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya.

Tapi tunggu dulu. Bukankah Tuhan itu Maha Cinta? Bukankah cinta-Nya lebih besar dan lebih agung dari cinta terhebat yang dimiliki manusia manapun? Bukankah kebesaran cintanya melebihi murka-Nya?
Jika Tuhan itu maha cinta, saya yakin pasti ada cinta Tuhan untuk saya. Jika cinta-Nya tanpa batas, tak mungkin saya tak kebagian jatah cinta dari-Nya. Meskipun saya ini pemabuk menurut orang-orang yang merasa diri bukan pemabuk itu.

Saya tetap yakin, Tuhan selalu punya cara untuk mencintai hamba-hamba-Nya, bahkan hamba yang dianggap pemabuk terkutuk seperti saya ini. Karena Saya tak pernah sedikit pun berprasangka buruk, bahwa Tuhan pilih bulu, bahwa Tuhan pilih kasih dalam mencintai hamba-hambanya. Bagi-Nya, yang dianggap pemabuk maupun yang merasa bukan pemabuk, sama saja. Sama memiliki kesempatan untuk mencintai dan dicintai-Nya.

Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha Mencintai dan tak membeda-bedakan cintan-Nya kepada para hamba-Nya, maka saya putuskan untuk pergi ke mesjid pada suatu ketika. Tentu saja saya pergi ke sana setelah meminum minuman yang kata orang-orang, minuman haram karena itu minuman keras. Hingga kepalaku terasa pening, penglihatanku seperti berputar, langkahku oleng. Dan orang-orang bilang saya mabuk.

Meski kebiasaan saya meminum minuman keras itu dicap sebagai pemabuk, saya toh tak peduli. Bagi saya, Tuhan lebih tahu siapa yang benar-benar lebih membutuhkan-Nya. Dia Maha Tahu siapa yang paling membutuhkan anugerah dan ampunan-Nya. Saya tetap kukuh berkeyakinan, bahwa Tuhan tak mungkin mengabaikan saya, yang meski dianggap pemabuk, tetap berkeinginan untuk datang kepada-Nya, memelas kasih sayang dan ampunan dari-Nya. Lebih dari pada itu, saya tak peduli ocehan-ocehan mereka yang merasa diri bukan pemabuk dan sok paling dekat dengan Tuhan itu.

Hingga detik ini, kadang saya dibuat bingung oleh mereka yang mengaku diri tak mabuk itu. Mereka yang mengaku bukan peminum itu. Mereka suka melarang-larang orang yang dianggap mabuk untuk shalat. Seolah-olah dan seakan-akan di dalam hidupnya, mereka tak pernah mabuk, meski bukan mabuk karena meminum minuman keras.Seolah-olah dan seakan-akan, dalam shalatnya, mereka tak pernah teler, meski bukan teler karena meminum minuman keras.

Mereka tak tahu, atau pura-pura tak tahu, bahwa ada dikatakan dalam kitab suci, “Celakalah mereka yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya.” Bukankah lalai adalah kata lain dari mabuk? Bukankal lalai adalah keadaan dimana seorang hamba kehilangan kesadaran dan akal sehatnya? Bukankah lalai berarti tak lagi khusuk, tak lagi fokus?

Kalau begitu, siapa yang sesungguhnya dan sebenarnya adalah seorang pemabuk? Apakah Saya yang suka meminum minumn yang dianggap keras itu, ataukah mereka yang meskipun tak meminum minuman keras itu, tapi lalai dalam shalatnya? Siapakah sebenarnya yang kehilangan akal sehat dan kesadarannya ketika shalat? AhTuhanlah yang lebih tahu, karena Dia Maha Tahu. Jadi jangan sok tahu. (***)

Minggu, 16 November 2014

Yang Paling Jauh dan Yang Paling Dekat...

Yang Paling Jauh dan Yang Paling Dekat...

"Apakah gerangan yang paling jauh dari kita?"

"Adalah masa lalu.."

"Kenapa bisa?"

"Karena yang berlalu tak bisa diulang, dia hanya bisa dikenang."

"Lalu, apakah gerangan yang paling dekat dengan kita?"

"Adalah kematian, dialah maut."

"Apa sebab?"

"sebab dia tak terduga, datang dan pergi semau-maunya."

"Kalau begitu apa yang mesti dilakukan?"

"Lupakan masa lalu, dan mari sambut kematian yang mungkin sebentar lagi akan datang menjemput, suka atau tidak suka."

~HM~

Kamis, 23 Oktober 2014

Hidup untuk Mati, atau Mati untuk Hidup?


Hidup untuk Mati, atau Mati untuk Hidup?
(Lagi-lagi ini hanya dialog khayalan saya semata. Tak perlu diimani)

"Kenapa kita hidup?"

"Supaya kita bisa mati"

"Kenapa kita mesti mati?"

"Karena kalau hidup terus menerus, itu namanya kekal alias abadi."

"Tak bolehkah kita hidup kekal?"

"Boleh-boleh saja sih."

"Oya? Caranya?"

"Yah kalau Tuhan menghendaki."

"Apakah kita hidup karena kita punya ruh alias punya nyawa?"

"Bukan. Bukan karena punya nyawa lantas kita bisa hidup."

"Lantas karena apa?"

"Itu karena yang membuat kita hadup adalah kehendak Tuhan."

"Maksud loe?"

"Biar kau punya 1000 cadangan nyawa, tapi kalau Tuhan tak berkehendak, yah percuma."

"Jadi, kesimpulannya apa?"

"Kalau mau hidup kekal, silahkan suap atau sogok saja Tuhan."

"Edan. Memang Tuhan bisa disogok?"

"Yang bilang bisa itu siapa?"

"Yaaaah....."

~HM~

“Saya tidak berdoa kepada Tuhan"


Do'a dan Hal-hal yang Harus Diselesaikan
(Hati-hati..!  Ini hanya percakapan khayalan saya semata. Janga terkecoh)

"Perlukah Kita Berdo'a?"

"Berdo'a kepada siapa?"

"Yah berdo'a kepada Tuhan toh. Sama siapa lagi?"

"Untuk aaapa?"

"Untuk hajat atau kebutuhan kita"

"Hari gini masih berdo'a mengemis hajat dan kebutuhan? Apa kata nenek moyang?"

"Hehehe, kamu ini menghina atau menghibur?"

"Ah saya hanya menghibur dengan cara menghina. Tak usah diambil hati begitu"

Terus, bagaimana kau berdoa kepada Tuhan?"

"Berdo'a? Dengan tengadah tangan penuh harap itu?

"Yah. Yang seperti itu.." 

 “Saya tidak berdoa kepada Tuhan"

"Oya? Apa sebab?"

"Sebab saya tak memiliki apa pun untuk diminta"

"Karena sudah puas dengan apa yang sudah dimiliki?"

"Bukan. Bukan soal kepuasan yang membuat saya memilih untuk tak berdo'a. Tapi karena Tuhan sudah memberi semua yang saya butuhkan.”

(Demikianlah cerita omong kosong saya. Mohon maaf kalau anda merasa tertipu dengan cerita yang sekadar omong kosong saja ini. Toh hidup ini memang kebanyakan sekadar omongan kosong kan? heheh)

~HM~

Minggu, 05 Oktober 2014

Apalah Artinya Sebuah Nama...

Tadi pagi sebelum shalat idul adha, panitia mengumumkan ada 17 ekor sapi dan lima ekor kambing yang akan jadi korban. Di tengah hiruk pikuk itu, saya medengar dua ekor sapi yang akan disembelih tengah berbincang santai. Temanya, "Apalah artinya sebuah nama".
"Broow, boleh kenalan tidak?"

"Boleh-boleh saja. Siapa takut?"

"Namamu apa (bukan siapa)?"

"Namaku Tiada. Kalau kamu?

"Kalau saya, Tak Pernah Ada"

"Kalau boleh tahu, kenapa namamu Tiada?"

"Memangnya ada apa dengan namaku? Ada yang tak lucu?"

"Hahaha. Justru itu makanya saya mau tanya karena namamu lucu."

"Yah karena di kampungku, sayalah sapi satu-satunya yang ada dan dipelihara di sana. Selebihnya kambing, kuda, kucing dan sebangsanya."

"Oooooh... Begitu yah?"

"Ya iya laaaah, masa iya tooooong? Terus kenapa kok namamu, Tak Pernah Ada?"

"Itu juga nama pemberian majikanku waktu di kampung kemarin. Katanya, diantara sesama bangsa sapi, sayalah sapi unggul yang tak pernah ada duanya."

"Waaaaaooo kereeeen...!!"

"Ah santai saja broow. Toh nama hanyalah nama. Apalah artinya sebuah nama. Kalau sebentar kita di sembelih, nama tinggallah nama. Iya kan"

"Tapi menurut saya, nama adalah penanda bahwa kita pernah ada. Paling tidak sebagai kenangan buat majikan kita untuk mengenang kalau dia punya seekor sapi bernama Tiada, atau Tak Pernah Ada. Kalau harimau mati meninggalkan belang, maka kalau kita mati paling tidak kita meninggalkan nama."

"Yayaya... Tapi saya tak butuh dikenang, dan nama tak penting bagi saya. Kerena nama hanyalah penanda,  nama hanya dibutuhkan untuk membedakan satu sapi dengan sapi-sapi yang lain. Bukankah kalau di kampung itu hanya ada satu sapi, maka penamaan tak dibutuhkan lagi?"

"Hmm... saya mengerti alasanmu. Bahkan Tuhan pun sebenarnya tak membutuhkan nama.  Toh tak ada yang serupa dengan-Nya. Kitalah yang memberikan nama pada Tuhan dengan aneka sebutan seperti Allah, Yahwe, Sang Hyang widhi, Amon Ra, Zeus dan sebagainya."

"Benar sekali Mas Broow... Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut. Dan itu tak berlaku bagi yang Esa, yang Tunggal, yang Ahad atau sesuatu yang tak ada sama persisnya."

Dan kini tiba giliran kedua sapi itu, Si Tiada dan Si Tak Pernah ada digiring ke arena penjagalan. Dan tiba-tiba ada teriakan dari langit nun disana, "Apalah Artinya Sebuah Nama?".

(Lagi dan lagi, ini juga hanya cerita khayalan saya semata. Maaf bila ada yang tersinggung karena kemiripan nama. Toh ini juga hanya kebetulan semata).

~HM~

Kamis, 02 Oktober 2014

Cantik itu Fitnah, Katanya...

Cantik itu Fitnah, Katanya...


Diantara sadar dan lelapku, tiba-tiba saja saya mendengar perdebatan yang alot antara cicak dan nyamuk malam ini.Temanya tentang kecantikan.

"Kecantikan itu sebenarnya hanya menimbulkan fitnah."

"Maksudmu apa sodara?."

"Yaa banyak orang kemudian berdosa dan terjerumus dalam dosa karena kecantikan."

"Contohnya bos? Biar lebih realistis dan tak sekadar bombastis."

"Dalam sejarah, banyak orang-orang besar yang rusak namanya, jabatannya dan karirnya karena kecantikan"

"Ah mestinya yang dipersalahkan itu mereka yang tergoda. Siapa suru gampang tergoda dengan kecantikan. Kayak anak TK saja"

"Kan ada dikatakan bahwa, siapa yang menjadi penyebab orang berbuat dosa, maka dia juga berdosa broow... Makanya sekolah biar pintar sedikit"

Dan tiba-tiba saja masih di antara lelap dan sadar mendengar perdebatan itu, saya pun protes.

"Terus siapa yang menjadikan kecantikan itu, yang punya ide menciptakan kecantikan?"

"Tuhan...!!" Cicak dan nyamuk menjawab nyaris bersamaan.

"Kalau begitu berhentilah berdebat. Toh Tuhan yang menjadi penyebab kecantikan itu."

Seketika si Cicak dan Nyamuk hanya saling berpandangan tanpa kata. Dan saya pun menutup muka dan telinga dengan bantal. Bosan mendengar debat kusir mereka berdua yang tak ubahnya seperti para anggota DPR yang tak lagi terhormat itu....

(Ini hanya cerita khayalan saya pribadi. Bila ada kesamaan cerita dan nama tokoh dalam cerita ini, yakinkan hati dan imanmu bahwa itu hanya kebetulan semata )..

~HM~