Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 09 Mei 2012

Nirvana


Ia pun Merasa Perlu “Menemukan yang Tak Dilahirkan.”


Oleh : Muhammad Baran

Ada kisah yang termasyhur tentang Siddharta Gautama. Dia adalah putra makhkota Raja Suddhodhana dari kerajaan Kapilavastu. Istana, di sanalah hidupnya berawal mula. Para dayang adalah pelayannya yang setia mengabdi padanya. Hidupnya seperti di kahyangan, segala yang dibutuhkan ada di sana. Masa mudanya seakan tak tersentuh kekurangan. Demikian gambaran hidup Sidharta menurut cerita sejarah.

Bagi segelintir kita, mungkin kehidupan Sidharta adalah contoh atau gambarankehidupan yang sangat diidam-idamkan. Kehidupan di mana kadang kita jadikan takaran untuk mengukur dan menilai, setinggi apa pamor dan status sosial kita di mata sesama kita. Status sosial yang kerap dianggap sebagai prestise sekaligus prestasi yang mesti dibangga-banggakan. Kebanggaan yang pongah inilah yang tak jarang kemudian menciptakan jurang pemisah antara raja dan jelata, antara si kaya dan si papa. Padahal bila ada jurang yang memisah, yang ada hanyalah keterasingan dalam pergaulan, yang ada adalah ketakpedulian dalam hidup.

Namun tidak demikian dengan Sidharta, Sang Putra Mahkota itu. Ada hal yang kemudian total mengubah jalan dan sejarah hidup Sang Pangeran. Dan tak diduga, dalam sebuah perjalanan di luar istana, Siddharta melihat dunia yang selama ini tertutup darinya-dunia yang tak ia temukan dalam istana yang megah itu.Sang Pangeran melihat : seorang tua, seorang yang sakit, dan seorang yang mati. Ia terkejut dan tersadar. Ia kemudian merenung: ternyata manusia, termasuk dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan bila waktunya akan mati.
Bagi Sidharta, ternyata istana –dan barangkali dengan segala kesenangan, bukanlah dunia yang sebenarnya. Bukan dunia yang membuat manusia tetap muda, tetap sehat, dan tetap hidup. Dia mungki saja bertanya, sekiranya istana adalah dunia yang sesungguhnya, kenapa mesti ada yang sakit, menjadi tua dan akhirnya ada kematian? Dan bila setiap manusia mesti melewati setiap siklus yang telah digariskan itu, lalu untuk apa semua kemewahan jika akhirnya hanya untuk ditinggalkan?

“Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur Sang Pangeran kemudian. Sejak saat itu ia mencari jawab tentang kodrat; usia tua, sakit, kesediahan, dan ketakmurnian: keadaan yang tak mungkin dielakkan siapapun yang lahir ke dunia yang fana ini. Ia pun merasa perlu “menemukan yang tak dilahirkan.” Dan itu adalah puncak kedamain “Nirvana”.

Sampai di sini, kita barangkali memiliki kesimpulan yang sama dengan Sidharta-yang kemudian terkenal dengan Sang Budha itu- bahwa hidup kini di sini tak benar-benar murni, tak sungguh-sungguh abadi. Kita harus menemukan yang tak dilahirkan itu. Kehidupan yang dengannya, segala kelaliman dan ketakadilan dibalas setimpal, segala jerih payah terbayar lunas, juga segala derma bakti dan pengabdian yang tulus, kan beroleh cinta yang impas. (**)

Liyan


“Kita adalah Malaikat dengan Hanya Memiliki Satu Sayap……”


Oleh : Muhammad Baran

Kita mungkin jarang menyadari, selain keberadaan aku, ada pula keberadaan aku-aku yang lain (liyan) di luar sana. Ada diri yang lain di luar dari diri kita. Karena diri yang lain atau aku yang lain sesungguhnya adalah bagian yang luput atau mungkin lepas pergi dari kita . Yang mesti dan bisa kita lakukan hanyalah berusaha menemukan  yang lain itu agar kembali menjadi utuh. Menjadi diri yang purna.

Yang lepas dan pergi, tak selamanya benar-benar lepas dan pergi. Dia akan kembali ketika rindu menyadarkannya bahwa ada belahan jiwanya yang lain. Akan halnya diri kita, diri yang lain sejatinya juga adalah diri kita. Maka diri kita-mau dan tak mau-juga adalah kepunyaan diri yang lain. Kita sejatinya adalah satu jiwa, juga satu raga. Hanya mungkin terlahir dari rahim tubuh yang berbeda.

Tapi adakah yang benar-benar berbeda? Kalaupun ada,yang berbeda mungkin itu hanyalah persepsi belaka. Lagi pula persepsi bukanlah tafsiran final dari sebuah pencarian antara diri kita dan diri yang lain itu.  Persepsi hanyalah ikhtiar untuk mencari dan menyatukan diri yang lain itu, diri yang berbeda itu.
Hingga ketika aku menerima kenyataan bahwa  aku yang lain adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari aku itu sendiri. Aku yang dengan segenap ketaksempurnaannya kerap menganggap aku yang lain adala rival (lawan) yang mesti dienyahkan , yang mesti disingkirkan dengan cara apapun dari arena seteru dan tikai.

Diri kita, hakikat dan sejatinya adalah  bagian dari diri-diri yang lain itu. Dan hanya akan bisa mesra  dan harmonis ketika diri kita dan diri yang lain  dengan tulus saling menerima untuk bersama menemukan diri yang sejati, diri yang sesungguhnya. Sebagaimana sebuah ungkapan yang mengatakan, “Kita adala malaikat dengan hanya memiliki satu sayap. Untuk bisa terbang, maka kita harus saling merangkul.”

Siapa tak mengenal dirinya, bohong belaka bila mengaku mampu mengenal diri-diri yang lain, menghargainya, dan mampu dengan tulus mencintainya dengan segenap lebih dan kurang-nya. Karena cinta hanya bisa tumbuh dan megejawanta dalam tindak dan tanduk, manakala diri yang satu sanggup mengenal dan menerima diri-diri yag lain-dengan segenap kelebihan, juga kekurangan yang terkandung di dalamnya. (**)

Kamis, 03 Mei 2012

Puisi lagi


Robek Tak Dadamu


Generasiku,kemana lari
Pedulimu kini.
Hanya jejak-jejak kusut
Kau tinggalkan
Buram tertutup
Debuh zaman


Temaran senja jingga
Merona dipelupuk
Kian kusut
Menatap nasibmu
Yang entah pasti


Terusi perjuangan ku.
Pantang henti
Meski
Hingar pistol menggedor
niscaya
Robek tak dadamu.


Sambung nyawamu
Meski meradang nyali
Terkapar
Tak berbilang


Aku tetap didepanmu
Memimpin
Laskar


Usa gentar. 
Meski dengan hentak membentak.
Niscaya diakan
Gemetar nista.


Hatiku


Bergemuruh
Terombang di laut sepi


Terhempas membumbung
Mengawang sua dilangit hampa


Akhirnya,
Terjatuh
Kapar terlindas dipadang gersang
Kulai tak berdaya,


Kasihan !


Merana.meski dibuai 
Angin lembah.


Berangkat dari hulu kehidupan,
Hanyut bimbang
Bersama ranting harapan.
Sama bertutur keluh dan kesah
Hingga berlabuh ke hilir perjuangan
Berakhir muara di samodra kasih.


Aku Ingin


Seperti bunga idaman.


Berkuntum sama
Pelangi nan indah


Berdaun pada
Mentari yang hangat


Berbatang Cuma
Keteguhan utuh


Berakar dari
Kesetiaan sungguh


Biar kau tak memandang jemuh.
Juga
Tak menghirup
Bosan wewangihnya.
Dengan patokan nilai
Yang kau miliki.

Selain Uang (2)


Tiada “Tuhan” Selain Uang (2)



Oleh : Muhammad Baran

Betapa dunia ini terbatas. Pesan Mahatma Gandhi: bumi cikup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak cukup untuk ketamakan tiap orang. Di sini, tak adil mungkin jika kita hanya menjadikan uang sebagai kambing hitam , penyebab berubahnya pola pikir kita tentang kebahagian itu. Toh uang tak lebih hanyalah benda, hanyalah alat tukar menukar. Yang jadi pokok soal kita di sini-sebagaimana dikatakan Gandhi, adalah sikap atau perilaku tamak (serakah) kita.


Ketamakan ini pula barangkali yang mengilhami munculnya teori ekonomi kapitalis yang selama ini kita imani - teori yang mengatakan: Kebutuhan manusia itu tak terbatas , sementara alat pemuas kebutuhan itu terbatas. Yang jadi pertanyaan di sini, apa yang terbatas dan apa yang tak terbatas? Ternyata ketika kita berpikir lebih waras, kita menemukan jawaban sebagaimana yang dikatakan Gandhi di atas: Yang terbatas adalah minimnya rasa syukur kita atas karunia (nikma) Tuhan,dan yang tak terbatas adalah melonjaknya keserakahan (ketamakan) kita-bahkan pada tataran tertentu, kadang kita tak sudi membaginya meski secuil dengan tetangga sebelah rumah. 

Sampai di sini, perlahan tapi pasti akan timbul pergeseran persepsi kita tentang nilai dan paradigm pikir kita tentang apa hakikatnya kebahagiaan itu. Akan tiba suatu masa di mana kita memiliki persepsi bahwa segala sesuatu hanya bisa bernilai dan berharga jika ditakar atau diukur dengan nilai uang. Dan gejala ini tak bisa lagi dipingkiri tengah mewabah, menjangkiti masyarakat dan bangsa kita yang tercinta ini.

Saya teringat sebuah tulisan status di media sosial yang barangkali patut kita renungkan bersama: “ Jika kita ingin merasakan bahagia, hitunglah semua yang tak dapat dibeli dengan uang. Dengan uang , kita mungkin bisa membeli tempat tidur, tapi tidak tidur yang nyenyak. Dengan uang kita dapat membeli rumah yang indah, tapi belum tentu rumah tangga yang bahagia. Dengan uang, kita dapat membeli obat yang mahal sekalipun, tapi bukan kesehatan. Dengan uang mungkin kita bisa membeli aneka kesenangan hidup, tapi bukan kedamaian dan kesejahteraan.”

Selamanya mungkin kita tak cukup-bahkan tak mungkin-membeli tidur yang nyenyak, rumah tangga yang bahagia, kesehatan yang prima, juga tak mampu membeli kedamaian dan kesejahteraan dengan uang. Sebesar dan setinggi apapun nilai uang itu. 

Leonardo da Vinci pernah mengatakan, “Chi non puo quel che voul, quel che puo vaglia: Siapa yang tak sanggup meraih apa yang diinginkan, sebaiknya menginginkan apa yang disanggupinya.” Mungkin inilah pilihan laku yang lebih bijak ketika kita mempersepsikan kebahagiaan. Meski tak berarti kita tak boleh menginginkan sesuatu yang lebih, termasuk kebahagiaan lahir, juga kebahagiaan batin dengan memiliki uang yang banyak, tapi juga semakin membuat kita mensyukuri apa yang ada dan peka untuk memiliki rasa peduli kepada sesama.(**)

Selain Uang (1)


Siti oh Siti


Fenomena Siti: Apa yang Besar Sebanarnya? Apa yang Kecil?



Oleh : Muhammad Baran

Beberapa hari yang lalu, saya dan salah seorang teman sedang asyik menonton TV di Sekretariat Lembaga Kemahasiswaan kampus kami. Sembari menenggak teh panas di gelas masing-masing sore itu, tangan teman saya sibuk memencet tombol remote control mencari kanal siaran TV.

Dia tiba-tiba berhenti di salah satu kanal TV yang tengah menayangkan  profil hidup seorang bocah perempuan yatim  yang masih sangat belia. Umurnya baru 7 tahun namun dia rela membagi waktu sekolah dan kerja demi membantu ibunya yang berprofesi sebagai buruh sawah untuk mencari nafkah. Saya dan teman saya tertarik dan semakin larut mengikuti jalan kisah hidup si bocah perempuan yang dramatis itu. Teman saya serius mengamati. Sesekali mengerutu sambil mengutuk. Dia kelihatan begitu emosional. Dia tak tega menyaksikan kenyataan hidup yang menimpa bocah perempuan itu.

Siti, demikian nama gadis kecil itu. Dengan berpakaian rapi, sembari  tangan mungilnya menenteng termos plastic yang berisi jajanan bakso, tangan kirinya menenteng ember hitam yang bereisi mangkuk dan peralatan untuk menyajikan jajanannya kepada pembeli. Dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya 4 jam sehari. Hal itu dia lakukan rutin setiap hari sepulang sekolah.  Bila dagangannya laku, Siti baru bisa pulang menyetor hasil yang didapatnya ke tetangga yang menggunakan jasanya. Dari hasil kerja kerasnya, Siti mendapat upah Rp2000.

Apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil? Uang Rp2000 bagi sebahagian kita mungkin adalah hal yang kecil. Bahkan bilangan sepuluh kali lipat bisa kita keluarkan hanya untuk belanja barang-barang impor bermerek luar negeri dengan tanpa sesal. Tapi Siti adalah orang kecil, dan orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering terlupakan oleh kebanyakan kita.

Tapi ada yang lebih memiluhkan lagi. Bila dagangannya tak semuanya laku, Siti hanya kebagian upah Rp1000 dari kerja kerasnya. Nilai yang teramat sangat kecil. Bahkan menurut cerita Guru mengajinya, karena mengetahui kehidupan Siti yang sangat sederhana itulah,  Sang guru memberikan keistimewaan kepadanya untuk tidak membayar biaya mengaji yang hanya Rp3000 sekali sebulan itu. Meski pendapatannya minim, Siti  mengaku bahagia bisa membantu sang ibu mencari nafkah.

Apa yang besar sebanarnya? Apa yang kecil? Seorang bocah perempuan yang baru berumur 7 tahun bagi Sang Ibu adalah hal yang besar. Dialah yang melengkapi kebahagiaan hidup Sang Ibu, membantunya mencari nafkah. Uang Rp2000 yang dikumpulkannya setiap hari untuk bisa mewujudkan mimpinya membeli sepatu baru, bagi Siti adalah hal yang besar. Sepasang sepatu untuk terus meneruskan sekolah guna menggapai cita-cita. Penderitaan manusia itu seperti ombak yang tak bisa dielakkan dari sejarah manusia.

Seperti masyarakat kebanyakan di negeri tercinta ini, Siti mungkin tidak terlalu tahu apa itu hidup berkelimpahan, apa itu gelimang harta, apa itu makan yang enak. Bahkan hanya untuk menonton acara lawakan aktris dan aktor favoritnya di TV, dia harus menumpang di rumah tetangganya. Sekali lagi apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil?

Siti kecil telah mencoba pahit getirnya menjalani hidup bersama Sang Ibu. Seperti yang dikatakannya, Ia bahagia bisa membantu ibunya mencari nafkah menyambung hidup, meski dengan penghasilan seadanya. Keinginannya tidak muluk-muluk. Satu-satunya impian Siti hanyalah memiliki sepatu baru agar tetap sekolah. Untuk itu sebahagian dari upah yang didapatnya, dia sisihkan untuk mewujudkan keinginannya memiliki sepatu baru itu.

Bocah perempuan itu telah mencoba menjalani hidup dengan bermodalkan semangat baja. Dia mengajarkan kita, bahwa hidup memang mesti dijalani meski dalam keterbatasan, tanpa perlu mengharap uluran tangan orang lain. Sikap dan pilihan hidup yang paradoks denga gaya hidup para pejabat dan pembesar di negeri tercinta ini. Di tengah himpitan ekonomi yang mendera rakyatnya, kebanyakan mereka justru mencari kesempatan dalam kesempitan untuk mengeruk uang rakyat demi kepentingan kroni dan koleganya.

Siti adalah salah satu potret kehidupan nyata masyarakat kecil di negeri ini. Masyarakat yang kerap luput dari perhatian dan peduli kita, terkhusus mereka yang dipercayakan untuk memanggul tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Dari potret kehidupan Siti inilah seharusnya kita bisa belajar untuk peduli. Bahwa tak selamanya kebahagiaan hidup hanya bisa direngkuh dengan uang  yang bertumpuk dan materi yang melimpah. Tapi kebahagiaan hidup bisa diraih dengan mensyukuri apa yang dikaruniakan Tuhan,  meskipun sedikit, dan tak lupa memiliki kepedulian sosial dengan menyisihkan sebahagian dari kelebihan rejeki untuk diberikan kepada sesama yang  kurang mampu. (**)