Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 05 Agustus 2013

Embun di Pagi Idul Fitri

Menuju Kejernihan Embun di Pagi Idul Fitri*

Oleh Hamba Moehammad


Korupsi , berdebat dengan kata-kata keras, menghina-termasuk melakukan aksi atau serangan fisik-entah itu dengan mengejek kondisi tubuh lawan debat, melempar benda atau minuman-semua itu dilakukan di muka umum- apalagi itu dalam sebuah siaran televisi nasional adalah hal lumrah di negeri ini. Kita seperti sedang memamerkan kekuatan yang kita anggap sebagai kekuasaan. Tentu saja apa yang diilakukan itu adalah sebuah bentuk penghinaan kepada kecerdasan,  pikiran sehat,  atau intelektualitas, bahkan agama jika kita mengidentikkan diri dengan lembaga atau gelar keagamaan.

Bila ada seorang anak yang cukup umur membunuh ibu kandungnya sendiri hanya karena tidak dibelikan telepon genggam,  bila ada seorang ayah yang menyetubuhi anak kandungnya sendiri hingga hamil, bila ada seorang ibu membuang bayinya sendiri dengan tas plastiknya di kebun hingga ia dirubung  begitu banyak semut,  bila ada koruptor bangga dan dihormati tetangga karena sering menyumbang mesjid dan kegiatan sosial. Sebenarnya semua laku itu hanyalah sebentuk penghinaan secara sengaja pada semua tertib, adat-tradisi, agama, dan akhirnya diri kita sendiri.

Di tingkat mental dan spiritual apa, di tingkat kecerdasan intelektual mana sebenarnya kita, bangsa ini, berada? atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat, apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa ini, yang belum lagi genap satu abad usianya? Masih begitu pendek umurnya dari pada bangsa-bangsa besar lain, tetapi begitu degil perbuatannya, juga ketidakpedulian yang akut bahkan terhadap harkat dan martabat dirinya kita sendiri. Yah, mengapa? Tentu ini sebuah pertanyaan yang sangat besar.

Apa yang terjadi di negeri ini dalam tiga dekade  terakhir, sekurangnya, seperti dapat kita lihat dan rasakan, adalah diserangnya pertahanan kulturan (agama, adat, etika, dan hukum) oleh sebuah tsunami kebudayaan  yang membonceng atau diboncengkan  pada arus besar globalisasi berupa tsunami  logika yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir oksidental, sebagai cara/mekanisme berpikir yang positivis progresif, materialistis, dan pragmatis. Hal ini kemudian berkembang biak menjadi produk-produk logosentrisme ala Renaisans dan Aufklarung, dalam bentuk yang kemudian sistemik seperti demokrasi, kapitalisme, dan pasar bebas, hingga berujung pada terjadinya tsunami psikologis bahkan spiritual, dimana kita didesak, dipaksa (tanpa kita sadari) dan menerima dengan ikhlas sebagai sesuatu yang take for granted, kondisi mental yang akomodatif, permisif, bahkan konsumtif pada produk akhir dari sistem-sistem di atas.

Demokrasi dan kapitalisme, juga Hak Asasi Manusia (HAM) yang digembar-gemborkan itu, bukan lagi sebuah ketelanjuran yang kita terima, melainkan telah menjadi (atau kita anggap) prakondisi bagi tegaknya kemanusiaan atau eksistensi kita. Kita adalah pemamah biak yang baik dan penurut  dari semua sistem global saat ini. Tiap hari kita mengonsumsinya di meja makan, di jalan,  di restoran cepat saji, di ruang kantor, istana,  hingga tepi sawah dan hutan-hutan desa. Kita menerima semua itu tanpa keluh dan kesah, wajar seperti kita berkeringat dan buang angin. Keringat dan angin, bahkan darah  yang kita kucurkan  untuk semua sistem di atas, hanya untuk imbalan yang kemudian kita tukar dengan tawaran produk yang berganti jenis dan tipe setiap bulan bahkan tiap minggu itu.

Maka apa yang terjadi pada paparan pendek di atas, terjadilah. Dengan semua kenyataan itu, kita telah menyerahkan diri bulat-bulat pada sebuah permainan, pada sebuat realita ilusi yang tidak kita kuasai, bahkan tidak kita pahami. Jangankan pedagang kaki lima yang berjuang menyisihkan labanya untuk membeli blackberry atau TV layar datar, bahkan seorang presiden pun mungkin tidak mengerti mengapa sebuah kampung Sunni mengusir sesama warganya hanya karena mereka Syiah.

Mungkin presiden pun tak mengerti kenapa ia memperoleh penghargaan internasional untuk toleransi; tidak mengerti mengapa negara yang serba salah urus ini masih bisa tumbuh  lebih dari 6 persen; bahkan mungkin tidak mengerti mengapa harga cabai hingga jengkol melonjak luar biasa. Ia pun ternyata tidak mengerti  mengapa kabar bencana lebih cepat ia terima dari media massa/sosial ketimbang aparatus yang ratusan ribu itu.

Air mata Tobat

Apa yang terjadi saat ini, tampaknya bangsa kita  tidak sedang mengijuti zaman, tapi kita terseret arus zaman. Seperti pesakitan atau jagoan yang seluruh kekuatan dan kekebalannya berhasil dilumpuhkan . Semua itu terjadi ketika seorang manusia Indonesia memasuki wilayah psikis dan fisik bernama remaja.  Tepatnya setelah ia  mengalami sejumlah pendidikan dan mendapat pengaruh moderenitas sedemikian rupa dari pergaulan lingkungan yang katanya maju dan moderen itu.

Saat dia memasuki dunia riil, nyata-nyata, sontak-sadar atau atau tidak-ia mendapatkan dirinya sudah kecemplung dalam sebuah sistem: semacam sarang laba-laba yang tak  memberinya peluang melepaskan diri. Sebagai anak muda, ia tak dapat berbuat, bahkan tak berkata apa-apa, kecuali mengikuti logika dan cara kerja sistem yang kapitalis itu, hanya agar survive. Lalu berfoya-foya menggadaikan nafsunya jika ia ingin dikenal dan dipandang. Menjadi budak nafsunya untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan "sukses".

Kita: saya, anda, dan yang lainnya harus tersenyum, karena-tentu-sebagian  dari kita menolak konstatasi itu. Namun coba tengoklah kedalam cermin, dan jujurlah seluruh indra, pikiran,  dan hati kita: apa yang terlihat? Air mata! Kita akan menangis melihat diri kita sendiri yang sudah kita zalimi ini, yang sudah kita hina sepanjang usia ini.

Sampai bilakah air mata itu bergulir,  hingga menjadi arus dan sungai ke samudra air mata-Nya? Dalam bulan suci ini, jadikanlah air mata itu sebagai bekal tobat. Memerangi nafsu adalah memerangi diri sendiri. Itulah jihad terbesar yang kita lakukan dalam  puasa,  terlebih dalam Ramadhan ini. Dan, berubahlah, mulai dari cara berpikir kita dengan kembali kepada kearifan, perangkat lunak dalam adat, agama, hukum dan segenap kearifan lokal yang kita miliki sebagai bangsa indonesia. Perubahan itulah yang akan menghapus air mata kita. Sekaligus mengangkat harkat yang telah kita hina, menuju kejernihan embun di pagi Idul Fitri nanti. (**)
============================
*
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan seorang Budayawan, Radhadar Panca Dahana yang berjudul "Menipu Diri Sendiri

Sabtu, 03 Agustus 2013

Mengenal Adat-istiadat Orang Labala

Berkah-Keramah*

Oleh Hamba Moehammad

Sebagai orang labala, ketika membaca judul tulisan goen di atas, atau ketika mendengar kedua kata (Berkah-Keramah) di atas disebutkan, apa yang terlintas di benak kita?

Sebagai orang labala, yang lahir dan menghabiskan hampir separuh hidup saya (masa kanak-kanak) di lewotanah, maka saya tidak asing dengan istilah "Berkah-Keramah".

Kedua kata tersebut lebih dikenal oleh orang labala sebagai istilah adat. Berkah-keramah menjadi idiom sakral dalam tata laksana adat istiadat orang labala yang memegang teguh tradisi/kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek-moyang.

Secara umum, dalam pahaman adat orang labala, berkah-keramah adalah sebutan lain dari nuba-nara (altar persembahan) yang memiliki makna simbolik yang mendalam dan memiliki rangkaian hubungan historis tradisi sebagai orang lamaholot pra islam yang memiliki keyakinan akan kuasa Ina-ama lera-wulan tanah ekan (Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi). Dengan adanya sinkretisme antara adat dan agama islam yang menjadi keyakinan baru orang labala, istilah nuba-nara perlahan digantikan dengan istilah yang populer sekarang yaitu berkah-keramah.

Dalam perspektif yang lebih lokal terkhusus orang labala, berkah-keramah bukan sekadar kepercayaan tradisionil,  tapi lebih kepada simbol yang dikonkritkan melalui benda-benda pusaka yang dianggap keramat dan mewakili kekukatan penghubng antara kuasa langit dan bumi yang diyakini bisa menaungi lewotanah dari bala bencana, penyakit, dan nalan (dosa).

Selain dalam bentuk atau wujud benda, berkah-keramah juga berwujud keyakinan akan adanya ruh makhluk yang dikeramatkan. Dari semua klan/suku yang ada di labala hampir semuanya memiliki berkah-keramah entah dalam bentuk benda-benda pusaka peninggalan leluhur lewotanah atau keyakinan adanya kekuatan di luar kasat mata. Berkah-kerama dalam bentuk simbol benda pusaka, biasanya disimpan di rumah adat dan boleh dikeluarkan atau diperlihatkan ketika ada upacara adat seperti trasidisi makan jagung masing-masing kepala suku atau acara tolak-bala.

Sebagaimana lazimnya, berkah-keramah di labala memiliki nama atau julukan yang memiliki makna khusus bagi masing-masing suku. Sebagai contoh, disini saya menyebut beberapa nama berkah-kerama yang dimiliki suku/klan yang ada di labala di antaranya; Nuba laga doni-Wato peni dan Demon gede-Srikati (Suku Labala), Ata jawa gadak (suku Mayeli atulolon), dan Jotena arakian-lima letu naragawa (Suku Mayeli atulangun), serta masih banyak lagi nama berkah-kerama yang dimiliki masing-masing suku di labala.

Meski berkah-kerama merupakan produk tradisi dan budaya orang labala (dan mungkin juga masyarakat lamaholot lainnya), namun dalam perjalanan sejarahnya berkah-keramah mengalami degradasi pemaknaan. Degradasi pemaknaan ini berjalan seiring dengan semakin berkembangnya pengaruh agama islam di labala.

Dengan sendiriya pemaknaan akan makna kata berkah-keramah menjadi lebih netral dimana masyarakat labala kemudian memadukan tradisi dengan agama atau lebih dikenal dengan; adat yang disesuaikan dengan agama, dan agama yang disesuaikan dengan adat dan kearifan lokal . Tujuannya adalah agar antara adat dan agama bisa berjalan berbarengan dan bisa menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarakat labala.

Asal kata berkah-keramah

Bila ditelisik lebih dalam, kedua kata (berkah-keramah) tersebut merupakan istilah agama islam yang terambil dari kata "Barakah" dan "Karamah". Barakah yang artinya "Karunia/nikmat Tuhan" dan  Karamah artinya "Martabat /kehormatan/gengsi".

Pemilihan kata dari istilah adat nuba-nara menjadi berkah-kerama untuk orang labala menurut goe adala pemilihan yang sangat kompromistis dan sangat tepat. Mengingat penyebaran agama islam di labala memang di lakukan denga pendekatan persuasif (kekeluargaan) dan damai, bukan dengan cara infasi atau penaklukan. Sebagaimana jamaknya, penyebaran agama dengan pendekatan persuasif dan damai cenderung berusaha mengakomodir (merangkul) kearifan lokal yang  sudah menjadi tradisi yang mapan dan mendarah daging.

Seiring berjalannya waktu, pemaknaan akan makna kata berkah-keramah mengalami transformasi atau bentuk penyempurnaan dalam laku kehidupan orang labala. Orang labala tidak hanya memaknai berkah-kerama sebagai warisan kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan dalam perspektif adat guna menjaga persatuan dan keutuhan sebagai ana-opu ata labala, tapi juga sebagai manifestasi paradigma pikir dalam membangun kehidupan yang lebih beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan sebagai ata watan, nilai-nilai martabat sebagai masyarakat muslim yang religius, juga nilai-nilai gengsi (dalam perspektif positif) sebagai komunitas sebuah Kerajaan Islam solor watan lema di kabupaten lembata.

Nilai-nilai positif dari pemaknaan kata berkah (karunia/anugerah Tuhan), dan  keramah (kehormatan/martabat/gengsi) menjadikan orang labala dikenal sebagai manusia yang berwatak keras dan memiliki ego yang tinggi dalam mempertahankan nama besar lewotanahnya. Bahkan untuk nama besar lewotanahnya, orang labala akan sangat tersinggung harga dirinya bila nama labala dan segenap atribut ke-labala-annya dilecehkan. Bagi mereka, Labala adalah harga diri dan kehormatannya.

Meski tak bisa dipungkiri nilai-nilai  berkah-keramah terkadang dimaknai secara '"over dosis" alias melampaui batas oleh orang labala ,sehingga  terkadang pemaknaan yang melampaui batas ini, kerap menimbulkan pergesekan kepentingan di antara orang labala sendiri. Hal inilah yang membuat orang labala secara internal sulit bersepakat, tidak hanya dalam hal-hal prinsip, tapi merembes pada hal-hal yang menyangkut maslahat umum, baik di bidang kemasyarakatan, politik dan pemerintahan, dan meluber ke bidang-bidang lainnya.

Satu-satunya yang bisa membuat orang labala tetap bersatu hingga kini adalah masih kuatnya pengaruh adat yang dijunjung tinggi, meski berbeda bendera partai, baju politik dan kepentingan sektarian. Dengan adat, sebenarnya orang labala masih mau saling menghargai karena merasa sebagai opu-maki, kaka-ari, naan-bine, dan sebagai ana-opu labala. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur berkah-keramah kiranya tetap dilestarikan sepanjang memberi manfaat untuk mengikat dan menyatukan orang labala dalam bingkai kebersamaan sebagai sesama orang labala.(**)
=================

*Tulisan ini adalah persepsi saya sendiri sebagai orang labala