Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 November 2013

Potensio

Oleh Muhammad Baran

Manusia adalah manusia. Dia bukan malaikat yang seluruhnya patuh dan lurus semata. Karena Yang lurus dan yang patuh  mungkin tak sepenuhnya hadir di dunia ini. Di sini, “hadir”  berbeda dengan  “ada”. Yang ada tanpa perlu dihadirkan, pun dia telah ada. Yang hadir, semata karena dia sepenuhnya diper-ada-kan.

Manusia bukan pula iblis yang selamanya terkutuk semata. Yang terkutuk barangkali kesombongannya.-bukan peng-ingkar-an. Di sini pula ada beda  antara “sombong” dan “ingkar”. Kesombongan hanyalah reaksi protes-dia protes karena prasangka-eksistensinya lebih mulia dari pada manusia- sebagaimana kisah dalam kitab suci. Sedangkan ingkar lebih kepada ketakpercayaan akan eksistensi Tuhan-dan iblis tak berada dalam posisi ini. Dengan demikian sebenarnya iman iblis masih utuh untuk Tuhan dan dia tak meragukan itu. Sama dengan manusia-termasuk malaikat-iblis tak menemukan Tuhan yang lain. Dengan demikaian, dia tak punya Tuhan yang lain.

Manusia adalah manusia. Tak ada ke-baik-kan yang mutlak padanya, juga tak ada ke-jahat-an yang utuh padanya. Yang mutlak dan utuh barangkali hanyalah imannya kepada Tuhan. Iman yang diikatkan dalam janji ketika manusia memberi kesaksian sebelum dilahirkan ke dunia ini. Janji yang dengannya manusia beriktiar menemukan jalan kembali kepada-Nya suatu hari kelak jika hendak jumpa dengan Dia.

Dengan demikian, sejatinya tak ada manusia yang benar-benar baik. Juga tak ada manusia yang sungguh-sungguh jahat. Yang ada hanyalah potensi. Terserah pada manusia mengarahkan potensi itu. Ke jalan yang diridhai-Nya, atau jalan yang lain. Tentu berdasarkan pertimbangan akal dan nurani yang dibekalkan Tuhan kepadanya.

Tapi bukankah ada termaktub dalam kitab suci, “Telah kami cipta manusia dengan sebaik-baik bentuk”-yang artinya manusia adalah ciptaan pilihan dari ciptaan-ciptaan yang lain-termasuk malaikat dan iblis? Jawabannya bisa “ya”, tapi bisa juga “tidak” tergantung-sekali lagi-kemana dia mengarahkan potensi yang dibekalkan Tuhan itu.

Manusia bisa menjadi lebih baik –bahkan melebihi ciptaan lainnya-manakala dia memberdayakan potensi “baik” yang ada padanya. Demikian sebaliknya dia menjadi terhinakan manakala yang “jahat” menjadi pilihan lakunya.

Selamanya mungkin antara yang “baik” dan yang “jahat” menjadi samar-samar, dan tak benar-benar bisa dibedakan-karena keduanya adalah pilihan laku yang sama sekali tipis bedanya, bahkan abu-abu, dan selebihnya kabur.

 Lagi dan lagi, tak ada yang benar-benar baik, pula tak ada yang sungguh-sungguh jahat. Sebab yang “baik” bisa berpotensi menjadi petunjuk kapada yang “jahat”. Begitu pula sebaliknya yang “jahat” bisa berpotensi menjadi petunjuk kepada yang “baik”.

Mungkin itulah barangkali Tuhan dengan ke-adil-an , ke-bijaksana-an, dan kasih sayang-Nya, menyediakan taubat sebagai fasilitas untuk manusia kembali menemukan jalan yang diinginkan-Nya.  Karena Tuhan barangkali tak ingin hamba-Nya terlihat hina dengan pilihan jalannya sendiri.

Keadilan adala timbangan Tuhan untuk menimbang yang “baik” dan “jahat”. Karena yang terang dan jelas hanyalah Dia. Sayangnya, terkadang kita tak menggunakan timbangan yang sama untuk menimbang dengan pasti, mana yang benar-benar “baik” dan mana yang sungguh-sungguh “jahat”.  Bahkan kerap kita menjadikan “kedaifan” sebagai dalih untuk “khilaf” berlaku adil dan menegakkan ke-adil-an-Nya. Bukankah Dia sudah mengatakan, “Berlaku adil-lah. Karena adil itu lebih dekat kepada Takwa?” (**)

Maut

Oleh Muhammad Baran

Semua manusia akan bersua maut. Lalu untuk apa ada tangis air mata?

Teringat sebuahadegan film local (sayalupajudulfilmnya) yang mengisahkan kepahlawanan seorang pendekar wanita tua yang berusaha menolongs ebuah keluarga yang dirampok di tengah hutan.Dalam adegan itu sang pendekar tua akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh musuhnya yang kemudian pergi membawa hasil jarahan. Muridnya yang terlambat menolong, hanya bisa menangisi sang guru yang tengah sekarat itu.

Sebelum maut merenggutnya, ada pesan yang disampaikannya kepada sang murid dan pesan itu selalu terngiang: “Anakku, usa kautangisi aku. Simpan air matamu itu untuk mereka yang membutuhkannya. Mereka yang tertindas kelaliman.Toh semua orang akan mati tapi sampai kapan kelaliman ini berhenti dan siapa yang tinggal untuk menghentikannya?.“Sang Guru pun kemudian mengembuskan nafas terakhir dengan sunggingan senyum.

Begitu indah, teduh, damai kesudahanya dan juga mengharukan tentunya. Maut baginya adalah kebahagiaan, dimana sebagai manusia, ia mampu menjalankan tugas kemanusiaannya sebatas mampu dan sanggupnya.  Kebahagiaan dimana sebagai manusia, ia juga akhirnya terbebas purna dari kezaliman dan tindakan menzalimi sesame dan semesta.

Tapi ada paradoks di sini. Bagi yang mati ,maut barangkali adalah bahagia.  Tapi tidak bagi mereka yang ditinggalkan. Konon, ketika dilahirkan kedunia, bayi menangis merengek,  sementara keluarganya menyambutnya dengan penuh bahagia.  Sedangkan ketika sedang sekarat sebagaimana kisah pendekar wanita di atas, dia justru tersenyum bahagia, sementara keluarga  yang ditinggalkan justru menangis karena merasa kehilangan orang yang dicintai.  Menurut tafsiran riwayat itu, bayi yang  menangis kala dilahirkan adalah ekspresi ketaksanggupannya memikul amanah sebagai dutaTuhan (khalifah). Sedangkan ketika sekarat, dia tersenyum karena percaya akan kepastian janji karena amanah sebagai duta Tuhan, tuntas dijalankannya.

Maut sebagaimana literature semua agama dan kepercayaan adalah semata siklus  metamorphosis. Kita memang mesti melewati semua fase alam yang disediakan-Nya untuk berproses menemukan jati diri kita yang paripurna.Dalam tradisi kredo Ibrahimi (monoteisme: Yahudi, Kristiani, dan Islami) misalnya, kehidupan berawal dari alam arwah (ruhTuhan), alar mahim (kandungan ibu),alam sahadah (dunia), alam barza (penantian kubur), alam akhirat (pertimbangan amal) hingga mencapai fana (lebur)-yang dalam agama Budha disebut moksa atau kembali ke asal-Nya. Di garis finish ini kita mencapai nirvana (Nir:  meniadakan/menihilkan. Vana: lebur agar menjadi sempurna), mencapai purnabakti.

Bahkan Imam al-Gazhali pernah mengatakan, justru melalui kematian, cinta terbesar Tuhan tercurahkan kepada manusia. Dengan begini Tuhan dapat mencintai hamba-Nya lebih dalam lagi. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan cinta-Nya bila kematian selalu dianggap sebagai momok?
Mors est quies viatoris, finis est omnis laboris: kematian adalah istirahat musafir, akhir segala jerih payah.

Maka pesan kitab suci yang mengingatkan, bila diuji dengan musibah-termasuk kematian, maka ingatlah bahwa asal kita dari-Nya, dan kita akan kembali kepada-Nya. Disini, kita diberi setitik pengharapan bahwa maut tak akan pernah mengakhiri. Segalanya memang mesti kembali kepada-Nya untuk mendapat cinta-Nya, juga menjadi purna. (**)


Neraka, sejatinya adalah surga yang dilihat dari sisi yang lain.

Manivesto*

Oleh : Muhammad Baran

Hidup ini-menurut Justin Garder-adalah teka teki. Pun eksistensi kita, juga adalah teka teki. Dan karena dia menjadi teka teki, maka barangkali separuhnya, bahkan mungkin sepenuhnya- adalah menjadi misteri. Misteri yang entah sampai kapan terus menjadi misteri.

Siapakah yang sanggup menerka akhir perjalanan edar kosmos  ini? Bahkan siapakah yang bisa menjamin bahwa matahari akan  tetap terbit esok pagi? Jawabannya adalah “tiada” dan memang tak akan ada. Semuanya apik tercatat dan tersimpan rahasia di lauhmahfudz. Kitab catatan misterius itu.

Nafas yang berembus gelisah, akan sekejap diam bila memang waktunya dia berhenti. Denyut jantung yang berdegup resah, akan seketika senyap bila jatah waktunya berdenyut telah usai. Begitu juga semesta ini, tak bisa diduga sampai kapan dia tetap setia di garis edarnya.Semesta sepenuhnya memang menyimpan rahasianya sendiri. Kita dan juga hidup yang sementara kita arungi ini adalah teka teki yang tak terterka siapa pun jua.

Kita dilahirkan oleh sebuah anima (ruh) yang misterius, wujud hakiki  yang tak sepenuhnya kita kenal dengan benar. Dan ketika teka teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat dipecahkan, maka itulah giliran kita. Kita mencoba menguak -dengan kemampuan yang sebenarnya terbatas- dan berharap, di sudut lorong asing ini ada sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk.

Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, maka itulah kita. Itulah kita, yang dengan “kedaifan” iman kita, tak sepenuhnya mampu menemukan definisi yang tepat tentang misteri, apalagi dengan pongah ingin menguaknya. Sekali lagi kita dan juga hidup yang telah dilewati separu jalan ini, mungkin memang sepenuhnya adalah misteri bagi kita.

Sekali lagi kita adalah  teka teki yang terterka siapa pun. Akan halnya cerita dongeng atau legenda, kita selamanya terperangkap dalam khayalan sendiri. Kita bahkan mungkin tak pernah benar-benar sadar dan tahu bahwa yang pernah ada (yang dapat di lihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya) pada akhirnya tiada-meski bersumber dari yang Maha Ada. Kita benar-benar adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian yang tuntas.

Hingga ketika kita tiada (mati)-dimana yang pernah ada tak lagi dapat dilihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya)- maka saat adegan-adegan yang terekam dalam pita seluloid dan dekor panggung pementasan telah dilepas dan dibakar, maka tak lain kita hanyalah arwah yang hanya tinggal dalam sisa ingatan keturunan kita. Dan selebihnya kita adalah hantu-hantu yang bergentayangan dan berakhir sebagai mitos dalam sejarah.(**)


*Tulisan ini terinspirasi dari dua novel  filsafat: Dunia Shopie dan Maya: Misteri Dunia dan Cinta, karya Justin Garder.

Rabu, 20 November 2013

Purnama dan Sebuah Nama

Oleh Hamba Moehammad*


20 Maret 2012 (Ketika hujan lebat mengguyur kota)

Tak kusangka aku mengenalmu di sini. Meski tak pernah bertemu langsung, keakraban kita terjalin via media sosial facebook ini. Meski awalnya aku malu, namun rasa penasaran membuatku memberanikan diri berkenalan denganmu.

"Assalamualaikum...!!!" Aku mencoba menulis kalimat pertama. Tak peduli akan mendapat tanggapanmu. Ah apa peduliku? Toh kita kan belum pernah bertemu.

"Wa alaikum salam" akhirnya kau  membalasku. Mungkin saat itu kau menganggapku cowok iseng.

"Pakabar?"

"Baik"

"Salam lenal."

"Iye salam kenal juga"

Dan setelah itu perkenalan kita terputus, lebih tepatnya berakhir untuk sementara waktu. Mungkin beribu tanya berjibun di benak masing-masing kita malam itu. Entah penasaran lantaran kau dan aku secepat itu akrab. Dalam hati, aku berharap kita bisa berkenalan lebih jauh lagi di lain kesempatan.

*** *** ***

11 Juli 2012 (Awan berarak di langit kota)

Siang yang terik. Bersama seorang teman, aku baru saja tiba di sekretariat Lembaga Pers Kampus. Tugas liputan dari Redaktur ingin secepatnya kuselesaikan sebelum Dead Line.  Sabtu sore adalah batas Dead Line. Lepas istirahat sejenak, aku langsung meraih laptop dan mengambil pososi di teras depan sekretariat. Di bawah pohon yang rindang, udara siang sedikit membuat perasaanku sedikit lebih tenang.

Sembari mengetik berita hasil liputan, saya mencoba browsing internet untuk mencari tambahan data liputan. Tidak lupa juga kubuka akun facebook-ku. Dan aku tiba-tiba mengingat sebuah nama.  Purnama, yah Purnama Jelita. Nama yang entah mengapa menyita ingatanku. Nama seseorang yang seingatku beberapa minggu yang lalu sempat menjalin obrolan via Facebook. Penasaran, aku mengecek nama-nama yang aktif dalam obrolan. Dan Syukurlah nama yang hendak kucari, siang itu memang sedang aktif. Dan perkenalan lanjutan pun dimulai.

"Purnama?

"Iya"

"Salam kenal ndi"

Wah cilaka dua belas. Obrolan tiba-tiba berhenti. Lebih tepatnya terputus. Aku penasaran. Apakah jaringan  yang putus-nyambung? Atau apakah ada kata-kata perkenalanku yang salah? Atau cewek yang kuajak ngobrol itu lagi tidak  mempedulikan cowok malang di sini? Tapi aku tak putus asa. Kucoba lagi dengan prinsip, cewek itu memang susah dirayu. Butuh usaha ekstra untuk menaklukan cewek-cewek yang teguh.

"Hy," aku coba memulai. 

"Hy juga" ternyata dia merespon

"Ikut demo tadi kak?"

Heran. Kok dia yang lebih berani yah. Hatiku bungah. Semangatku terpompa.

"Ikut, tapi untuk meliput." Aku mulai meladeni.

"Saya juga, tapi cuma numpang ikut dari belakang soalnya mau ke ramayana. Hehe"

Dia terkekeh. Itu tandanya, rambu lampu hijau. Boleh lanjut. Seakan ketiban durian runtuh, aku tak buang-buang waktu. Hasil liputan kuacuhkan. Dan perkenalan pun mengalir seperti aliran air terjun Bantimurung di musim hujan.

"Hehehe. Apa kita bikin sekarang ndi?"

"Mau masak" singkat saja dia menjawab.

"Coto Makassar, Sop Konro, atau?" Pertanyaanku menggantung. Sengaja memang.

"Ayam kecap pedas"

"Wow! Pedasnya sampai ke sini..."

"Hahaha. Ok saya masak dulu ya Kak.."

"Ok. Ditunggu."

Menanyakan aktifitasnya. Klise memang. Tapi apa pedulimu kawan?

Purnama. Aku membayangkan empunya nama ini adaalah seorang perempuan cantik dan tentu saja jagoan. Maksud saya, jagoan memasak. Menurutku, untuk ukuran jaman kita sekarang, amat sangat jarang ada perempuan muda apa lagi yang masih berstatus mahasisswa jago memasak. Seperti kebanyakan teman perempuan se-kampusku, mereka kebanyakan membeli makanan jadi.*** *** ***

18 September 2013 (Bulan malu-malu mengintip dari balik awan)

Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu hubungan kami semakin akrab. Bukan mau sombong kawan. Tidak hanya berhubungan di dunia maya, kami melanjutkan hubungan di dunia nyata. Yah dunia nyata. Oh jodoh memang tak jauh-jauh larinya, kata orang. Apalagi jodoh yang beratnya sudah 100 Kg. Saya jadi tak lagi ragu mengimani pepatah klasik, "Tak lari gunung walau dikejar".

Entah malam minggu yang kesekian, aku mengajaknya jalan-jalan. Biasanya kalau ingin mengajaknya pesiar, aku menawarkan tempat lain, seperti di Benteng Somba Opu supaya bisa jalan-kalan menikmati senja di sekitar sungai Jene Berang, atau ke benteng Ujung Pandang (Fort Roterdam) atau ke Pelabuhan Paotere biar bisa melihat perahu-perahu phinisi yang ramai bersandar di waktu sore. Tapi selalu ditolaknya.

"Ke Pantai Losari saja," katanya kepadaku saat aku hendak mengajaknya pesiar.

"Kita kan sering kesana. Apa nda bosan ndi?" tanyaku menimpali.

"Tidak ada kata bosan untuk sebuah kenangan,"

"Kenangan saat pertama jumpa?" Aku pura pura bertanya. Padahal dalam hati kagum bercampur senang dengan kata-katanya barusan. Wah "KENANGAN". (Harus ditulis semua dengan huruf kapital kawan)

Dia hanya mengangguk dan memandangku lekat. Tentu saja satu paket dengan senyum manisnya itu. Dia menggamit lenganku, dan kami pun pergi bersama.

Apel malam minggu di Pantai Kenangan itu selalu spesial. (Penyematan nama Pantai Losari dengan Pantai Kenangan adalah kesepakatan kami berdua. Alasannya? Ah tentu kau sudah paham kawan. Jadi tak perlulah aku jelaskan lagi). Bersama menghabiskan malam minggu dengan makan pisang epe, rebutan jangung bakar, singgah di penjual pisang hijau langganan dan rupa-rupa kenangan bersama.

Tak pernah kubayangkan kawan. Jalinan cintaku berawal dari obrolan via Facebook. Dan sudah berjalan dua bulan. Tak terasa memang. Masa-masa berdua adalah masa-masa indah bagi setiap muda-mudi seperti kami. 

Selanjutnya hubungan kami mengalir seperti air sungai. Kadang beriak gelisah bila ada hal yang susah disepakati bersama, tapi tenang dan damai kala ada hal yang disenangi bersama. Lebay? Mungkin saja. Tapi apa peduliku? Lagi pula dalam kamus cinta mana kenal kata lebay? 

*** *** ***

1 Oktober 2012 (Bulan Berganti)

Tengah malam aku terbangun. Kutengok jam dinding di kamar kostku. Sudah pukul 01.30 Wita. Karena seharian menyelesaikan tugas liputan dan kuliah, aku kelelahan dan tidur lebih awal. Aku terbangun karena bunyi telepon selulerku merengek sedari tadi. Sebelum tidur tadi aku memang lupa mematikan telepon selulerku. Kubaca pesan yang tertera, rupanya sudah tujuh kali panggilan tak terjawab. Dan ini nomor baru. Mataku masih berat karena kantuk. Ketika hendak tidur kembali, telepon selulerku tiba-tiba meraung kembali. Kulihat sebentar, ah nomor yang sama dan aku langsung menyambutnya.

"Benar ini dengan Arjuna?" Belum sempat aku bertanya, suara lelaki di seberang sana justru lebih dahulu bertanya. Bahkan menyebut-nyebut pula namaku. Kucoba mengenal baik-baik suara di seberang sana itu. Siapa tahu itu salah satu temanku atau orang yang mungkin aku kenal yang sedang ada perlu. Namun tetap nihil. Suara itu sama sekali tak aku kenal.

"Iya benar. Ini aku, Arjuna. Maaf, ini dengan siapa?" Aku balik bertanya.

"Saya Aldo. Kamu kenal dengan Purnama?" aku penasaran. Lebih tepatnya heran. Belum sempat kenalan, dia menyebut-nyebut nama Purnama. Apa-apaan ini.

"Purnama? Purnama yang mana?" Aku bertanya balik memastikan nama yang disebutnya. Bisa saja kan yang dia maksudkannya itu Purnama yang lain?

"Ah kau itu pura-pura bertanya lagi. Purnama Jelita yang kuliah di Kampus Hijau itu" Suaranya berat bernada tinggi. Sepertinya dia emosi. Tapi apa masalahnya?

"Ooh. Saya kenal. Memangnya kenapa?" Suara kutekan pelan. Berusaha menetralkan suasana yang sepertinya tiba-tiba terasa tegang.

"Kamu berpacaran dengan Purnama?" Suara di seberang balik bertanya. Lebih tepatnya menginterogasi.

"Iya. Saya pacarnya Purnama," Aku menjawap pertanyaannya apa adanya. Tak ingin suasana semakin memanas.

"Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Sudah berjalan sekitar satu semester."

"Ooo jadi  begitu yah. Kamu tahu tidak, kalau Purnama itu sudah punya pacar?"

Entah kenapa, aku tiba-tiba memutuskan pembicaraan di telepon selulerku. Sejenak berpikir kalau-kalau yang meneleponku tadi itu pria iseng. Selain itu, mungkin aku belum siap dan bisa menerima kenyataan kalau benar Purnama memang punya pacar yang lain.

Belum habis kegusaraan yang menggelayut dalam pikiranku, tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulerku. Masih dari nomor yang sama.

"Asal kau tahu, saya ini pacarnya Purnama. Dia itu pacar saya. Kami sudah lama menjalin hubungan. Kalau kau tidak percaya, tanyakan langsung sama dia." demikian pesan singkat yang kubaca.

"Saya minta, kau tinggalkan dia sekarang juga," Tiba-tiba dia mengirim sms kedua. Senaknya saja memintaku meniggalkan Purnama. Tapi aku tak membalas sms itu. 

"Dasar orang reseh. Memangnya kamu itu siapa?" Gumamku dalam hati.  Jengkel.

Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Seperti ada beban berat yang tertumbuk di kepalaku. Dan aku melewati sisa malam dengan aneka pikiran. Menerka-nerka siapa gerangan lelaki yang tiba-tiba menelepon dan mengirim sms memintaku meninggalkan Purnama. Apakah dia mantan pacar Purnama, atau pengagum rahasianya Purnama, atau memang orang iseng yang ingin mengganggu hubunganku dengan Purnama yang telah berjalan selama ini?

*** *** ***
18 Oktober (Di atas pembaringan malamku)

Akhir-akhir ini aku sibuk. Agenda kegiatan di kampus begitu padat. Selain mengurus kuliah, kegiatan di Lembaga Pers tempat aku belajar menjadi seorang Jurnalis juga begitu padat. Nyaris waktuku tersita. Sebagian waktu kuhabiskan bersama teman-teman di seretariat lembaga kemahasiswaan. Meliput dan menulis berita merupakan pekerjaan rutin setiap minggu. Apa lagi menjelang kegiatan Diklat Jurnalistik untuk merekrut anggota baru yang berminat menjadi Jurnalis Kampus.

"Kok nda pernah lagi ada kabar??? Masih sibuk ya????" Dia bertanya via chattingan Facebook. Aku tahu kalau dia lagi marah. Ini terbukti dengan menuliskan tanda tanya sampai beberapa deret.

Aku baru sadar kalau ini malam minggu. Dan sudah beberapa minggu ini aku jarang bertemu. Seringkali dia meneleponku untuk mengajakku sekadar jalan-jalan. Mengirimkan sms untuk sekadar ketemuan. Aku hanya bisa menjelaskan bahwa aku belum punya waktu untuk bertemu, sekalian meminta pengertiannya. Entah kenapa, selain sibuk, aku juga merasa tidak ingin bertemu dengannya semenjak  si Aldo meneleponku malam itu.

"Iya. Ini masih banyak pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau sudah selesai nanti kita bisa ketemu," Aku berusaha memberikan alasan supaya dia bisa mengerti.

"Ya sudah. Urus saja pekerjaanmu itu." Itu balasannya. Dan kulihat jejaknya menghilang dari obrolan. 

Kubayangkan seperti apa ekspresinya kalau marah. Sebenarnya selama menjalin hubungan dengannya, bila ada persoalan, aku tak pernah melihatnya marah seperti muda-mudi lain yang sedang pacaran. Sudah menjadi kesepakatan, bila ada hal yang tidak berkenan, kami hanya saling diam. Tidak boleh ada kata-kata kasar, apa lagi sampai ribut-ribut.

Esoknya aku minta ijin kepada pengurus lembaga pers kampus dengan alasan ada urusan keluarga. Padahal aku sudah ada janji bertemu dengannya. Semalam selepas obrolan via facebook yang tiba-tiba terputus itu, aku mengirim sms minta untuk ketemu dengannya di tempat favorit kami. Ada persoalan yang mesti aku selesaikan, terutama tentang si Aldo yang mengaku-ngaku sebagai pacarnya itu.

*** *** ***

18 Mei 2013 (Tepat di Hari Ulang Tahunku) 

Entah dia yang salah, atau aku yang khilaf, hubungan kami belakangan ini berlaku surut. Apa lagi semenjak kuberi tahu kalau seseorang bernama Aldo pernah menelepon dan menanyakan hubungan kami. Aku berusaha selalu memintanya untuk menjelaskan baik-baik duduk persoalan itu. 

"Aku hanya ingin yang terbaik dari hubungan kita. Itu saja. Entah kemudian kita tetap bersama atau harus berpisah." Aku pernah meneleponnya, dan mengatakan demikian. Meminta pengertiannya dan memberinya pahaman. Namun dia hanya diam. Paling banter  dia menangis sesenggukan. Air mata buayakah? Entahlah kawan.

Belakangan dia sering menghindar bila aku punya waktu luang, dan ingin mengajaknya jalan-jalan ke pantai kenangan itu. Pantai di mana pertama kali aku bertemu dengannya. Ah entah mengapa, kenangan sewaktu bersamanya kembali mengusik.

Hingga suatu ketika aku bersama seorang temaan ditugaskan meliput suasana malam minggu di Pantai Losari. Sebagai icon Kota  Anging Mammiri, pantai ini memang menjadi tempat vaforit muda mudi untuk menghabiskan malam minggu bersama pasangannya.

Beberapa saat mengelilingi anjungan pantai, deretan gerobak para penjual pisang epe, juga penjual mainan yang ramai memadati Pantai Losari, aku jadi teringat kenangan bersama Purnama. Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke penjual pisang epe lengganan kami. Hitung-hitung aku bisa mengenang kebersamaan saat berdua. Sementara temanku sibuk mengambil gambar.

Belum sempat duduk dan memesan menu pisang epe kesukaanku, pandanganku tertumbuk pada dua sosok pasangan muda-mudi yang tengah duduk bermesraan sembari menikmati menu pisang epe. Aku berjalan mendekati keduanya. Salah seorang di antaranya sangat kukenali. Seorang cewek berambut panjang tergerai, mengenakan baju kemeja yang dibalut jaket biru langit dipadu celana jeans. Senyum dan tawanya itu sangat aku kenal. Senyum dan tawa yang kadang membuatku rindu. Sementara di sampingnya duduk seorang cowok yang sama sekali tidak aku kenal. Berambut cepak dengan kaus oblong hitam, dipadu celana jeans biru.

"Selamat malam Purnama! Sudah lama di sini?" Yang kutanya tampak kaget. Berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba, dengan melempar senyum. Senyum yang dipaksakan. Dia mungkin tak menyangka kalau aku mampir di gerobak penjual pisang epe lengganan kami.

"Eh Arrr.. Arjuna? Baru datang?" Suaranya tercekat. Bibirnya tampak bergetar tak karuan. Karena tak tega melihatnya wajah pucat dan kegelisa di samping cowok itu, aku buru-buru (lebih tepatnya berpura-pura) memperkenalkan diri kepada cowok di sampingnya itu. Belakangan baru kutahu cowok itu bernama Aldo yang tempo itu meneleponku malam-malam. Menanyakan hubunganku dengannya, dan memintaku meninggalkannya. Aku seperti pria bodo yang merayakan kebahagiaan mereka malam minggu ini. Bukan main.

"Oh ini yang namanya Arjuna ya. Makasih atas pengertiannya. Berkenan merelakan kembali hubungan saya dengan Purnama," Aku kaget mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian hanya bisa tersenyum getir. Berusaha menahan perasaan agar tidak terjadi keributan malam itu. Ternyata ini alasannya menghindar dariku selama ini. Dia telah kembali kepada kekasih lamanya. Sementara kulihat dia hanya duduk mematung.

"Juna! Arjuna! Ayo pulang! Ada panggilan penting dari redaktur. Katanya ada keributan di kampus," tiba tiba Arif, fotografer yang menemaniku meliput malam itu menggamit lenganku dan memintaku segera pulang. Aku segera mohon pamit kepada keduanya dan meminta kepada penjual pisang epe untuk membungkus menu pesanan pisang epe-ku.

Aku dan Arif melangkah menjauh dari gerobak penjual pisang epe langganan kami itu. Sebelum benar-be nar jauh dari gerobak penjual itu, aku membalik badan dan memandangnya dengan senyum. Itulah senyum terakhirku untuknya. Dia hanya mematung dikursinya dan balas memandangku dengan tatapan dingin, sedingin hawa angin laut Selat Makassar yang berembus malam itu. Dan entah kenapa seketika baddanku menggigil. Dingin yang tak bisa kujelaskan, merasuk hingga ketulang-tulangku. (**)

Makassar, Oktober-november2013. Untuk temanku Alfito. Bila waktunya, bahagia itu akan tiba. Kita hanya butuh sabar, sedikit ikhtiar dan doa.

Minggu, 17 November 2013

Tuhan Dalam Khayalan Kita*



rasifirdani.blogspot.com
Oleh Hamba Moehammad

Terkadang saya tersenyum geli bila mendengar perdebatan teman-teman mahasiswa  atau membaca aneka tulisan yang memperdebatkan dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Dan mungkin seperti saya, Tuhan  pun tersenyum sumringah bahkan tertawa lebar akan tingkah konyol kita para  hamba-Nya yang ribut memperdebatkan-Nya dan sibuk menulis tentang eksistensi-Nya.

Meski secara pribadi saya bukanlah termasuk hamba-Nya yang taat dan penganut agama-Nya yang fanatik (saya bersyukur meski kerap lalai menjalankan perintah-Nya, tapi saya masih percaya pada-Nya hingga saat ini. hehehe), namun terkadang saya miris hati bila ada pertanyaan-pertanyaan konyol dalam perdebatan yang saya anggap cederung menghina dan melecehkan wibawa Tuhan. 

Para pendebat ini seakan-akan menggugat Tuhan yang mengklaim diri sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahasegala, Mahasempurna dan Maha-maha yang lainnya. Menurut mereka, Tuhan justru sebaliknya. Hal itu diperkuat dengan argumen dari pertanyaan-pertanyaan mereka yang terkesan logis dan ilmiah.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dapatkan di antaranya: Jika Tuhan memang Mahaperkasa, bisakah Tuhan menciptakan batu yang sangat besar dan berat sehingga Tuhan sendiri  pun tak sanggup mengangkatnya? Atau pertanyaan, ika memang Tuhan itu Mahakuasa, sanggupkah Tuhan menciptakan sebuah tombak yang paling tajam yang bisa menembus perisai yang paling ampuh, dan sanggupkah Tuhan menciptakan sebuah perisai yang paling ampuh yang tidak bisa ditembus oleh mata tombak yang paling tajam sekalipun? Dan masih banyak pertanyaan dilematis lainnya

Sepintas, pertanyaan-pertanyaan di atas terkesan cerdas dan logis. Bagi mereka yang berpikir dengan hanya  mengandalkan logika semata, mereka akan tertumbuk pada pertanyaan itu sendiri dan mesti merenung dalam-dalam untuk mencari dan menemukan jawabannya.

Saya tak tahu motif dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apakah pertanyaan-pertanyaan murni dengan niat untuk melatih berpikir kritis dalam berdialektika, atau hanya sekadar menguji kadar intelektual lawan debat atau sekadar ingin terlihat intelek di mata sesama teman debat atau memang dengan niat benar-benaar ingin menggugat eksistensi Tuhan. 

Saya teringat salah seorang junior saya di kampus yang saya kenal taat beribadah pernah tersungut-sungut datang menemui saya. Dia marah-mara, dan jengkel karena merasa disesatkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas oleh para seniornya di salah satu kegiatan organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. Cukup prihatin dan kasihan juga juga saya melihat ekspresi junior saya yang masih polos dan rada-rada lugu ini. Maklum, selain masih mahasiswa baru (maba), dia juga orang baru, baru dari kampung dan masih botak-botak pula.

Sepertinya junior saya ini (mungkin karena baru dari kampung) tak sudi Tuhan yang diimani dan ditaatinya selama ini, dihina dan dilecehkan. Makanya dia ingin mencari jawaban untuk mematahkan argumentasi konyol para seniornya itu. Namun saya hanya mengatakan, barangkali maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya untuk memancing nalar kritis kita agar senantiasa berpikir kritis, tidak menerima mentah-mentah setiap argumen dan pendapat.

Tapi jika pertanyaan-pertanyaan di atas, motifnya menggugat eksistensi Tuhan, maka perlu bahkan harus diluruskan. Pertama yanng mesti diluruskan adalah pemaknaan kita akan kata "maha" yang dilekatkan pada Tuhan. Dalam berbagai literatur keagamaan, kata "maha" memiliki beberapa sebutan di antarannya, "Sang" (Sang Hyang Widhi-dalam bahasa hindi/urdhu-Hindu), "al" (al-Malik-dalam bahasa arab-Islam), "the" (The Lord-dalam bahasa inggris-Kristen) d.l.l. 

Semua kata "maha" dalam contoh di atas memiliki makna yang sama yaitu yang paling, yang super, yang ter-dan entah apa lagi standar kata dan bahasa yang bisa kita gunakan untuk mendefinisikan kemahaan-Nya. Maha-menjadi kata yang paling tidak, bisa mewakili segenap penggambaran kita terhadap kuasa-Nya. Karena tak ada yang setara atau serupa (dalam hal apapun) dengan Dia. Tuhanlah tempat bergantung segala asa dan  hajat makhluk, tempat berharap pertolongan, muara segala tujuan. Demikian simpulan yang termaktub dalam kitab suci-Nya.

Dalam ilmu matematika, kata "maha"  bisa disebut dengan sesuatu yang  "tak terhingga". Dengan demikian Tuhan itu tak terdefinisikan. Dia tak terpermanai. Dia tak sanggup dijangkau oleh akal yang butut dan logika material yang buntu. Karena Tuhan tak menempati ruang dan waktu, pula tak tercipta dari materi (apa pun bentuk dan unsur dari materi itu). Dia tak terdiri dari unsur, senyawa, campuran dan entah apalah itu. Intinya Tuhan tak tercipta dari materi, ruang dan waktu yang terbaras ini. 

Pola Pikir yang Masih Manual

Kedua, kita harus meluruskan kembali cara atau pola berpikir kita, terutama cara berpikir kita tentang Tuhan. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan perdebatan di atas, muncul lantaran pola pikir kita yang masih manual. Kita menganggap (lebih tepatnya menghayal) bahwa mekanisme atau cara kerja Tuhan sama seperti mekanisme atau tata kerja makhluk, khususnya cara kerja manusia. Dan ironisnya, kita membayangkan cara kerja Tuhan itu seperti cara kerja bapak-bapak kita di rumah. Bahkan mungkin kita berpikir, Tuhan pun berperilaku layaknya bapak-bapak kita berperilaku  sehari-hari di rumah. Mungkin dalam pikiran kita, Tuhan itu memiliki otot-otot kekar dan liat yang bisa mengangkat beban yang berat seperti batu dan pekerjaan manusiawi lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas selain sia-sia, juga bila ditelisik lebih mendalam tidaklah sepenuhnya logis. Pertanyaan pertama tentang sanggupkan tuhan menciptakan batu yang Dia sendiri tak sanggup mengangkatnya, bisa dipatahkan dengan memahami kembali definisi dari kata "maha". Jika Tuhan itu "maha" maka perbuatan menciptakan batu yang tidak bisa diangkatnya sendiri adalah perbuatan sia-sia, konyol dan menghina Tuhan. Jika hanya menciptakan sesuatu yang tak bisa dipikulnya, manusia pun bisa menciptakan bangunan atau lemari yang dia sendiri tidak bisa memikulnya atau menggotongnya seorang diri. 

Pertanyaan kedua tentang tombak dan perisai bisa dijawab dengan rumus matematika sederhana yang pernah saya perlajari waktu kecil dulu di Sekolah Dasar Inpres Luki (di kampung saya, Labala-Lembata NTT) yaitu menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat positif (+) dan bilangan bulat negatif (-). Misalnya, bila kita mengurangi jumlah bilangan yang sama misalnya 5 maka hasil pengurangannya akan kembali menjadi nol (0). Sama saja kita menyuruh seseorang maju 5  langka ke depan kemudian menyuruhnya mundur lima langkah ke belakang, maka dia akan kembali ke posisinya semula. Sama saja anda menyuruh orang itu tidak melangkah, tidak bergerak kemana-mana, tetap ditemnpat. Hal yang sama juga terjadi pada pertanyaan-pertanyaan yang diperdebatkan di atas. 

Jadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bukan sanggup atau tidaknya Tuhan menciptakan batu, perisai dan tombak itu. Tapi jawabannya adalah "tidak ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas" alias pertanyaan-pertanyaan di atas tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah omong kosong, bodoh. dan hanya mempermain-mainkan Tuhan. 

Ketiga, saran saya, bila kita ingin menggambarkan atau melogika eksistensi Tuhan, maka kita harus keluar dari kungkungan materi, ruang dan waktu yang fana ini. Maksud saya kita  harus berada di alam lain. Karena selama kita masih terkungkung materi, ruang dan waktu, maka selamanya kita mempersepsikan Tuhan itu seperti materi, seperti makhluk yang memang terdiri dari materi, ruang dan waktu. Tidak bisa tidak.

Menurut saya, manusia yang hanya semata berpikir logis dengan logikanya (apa lagi ingin melogika Tuhan yang tak bisa terlogikakan),  adalah manusia primitif, yaitu manusia yang belum mencapai taraf kematangan psikologis dan spiritual sebagai insan. Insan yang saya maksudkan adalah manusia yang berpikir atau berlogika tidak hanya mengandalkan potensi akal jasmaninya saja, tapi juga melibatkan semua potensi yang ada pada dirinya, baik jasmani maupun rohani.

Manusia yang hanya berpikir dengan mengandalkan logika atau akal semata sebenarnya mereka  baru mencapai  taraf perkembangan evolusi berpikir sebagai homosapiens (manusia cerdas dengan semata mengandalkan  logika). Jika demikian, pada taraf ini kita  baru dikatakan binatang yang berpikir. Kita masih butuh waktu yang lama untuk mencapai taraf puncak berpikir sebagai insan kamil yaitu tingkatan berpikir yang sudah memiliki taraf perkembangan psikologis dan spiritual yang matang.

Akal dan segala kemampuan yang kita miliki tak cukup memberikan penggambaran tentang  Tuhan secara holistic. Maka sekadar membayangkan, apa lagi menganggap Tuhan berperilaku atau berbuat seperti layaknya makhluk, itu merupakan pola pikir yang teramat absurd dan sebuah konsep yang teramat konyol. Kita bukannya memuji Tuhan atas segenap kebesaran dan kuasanya, tapi kita malah menghina dan merendahkan-Nya. Siapa sih kita ini, sehingga begitu berani dan lancangnya kepada Tuhan Sang penguasa dan pencipta semesta, termasuk kita manusia yang tidak tahu diri dan tidak tahu adab dan sopan santun ini? Yah siapasih kita?

Mungkin satu-satunya pintu masuk menuju pemahaman kita akan kemahaan-Nya hanyalah dengan pendekatan iman. Iman yang senantiasa mencari dan menemukan eksistensi-Nya sampai ke batas yang tak kita sanggupi lagi. Memang, selalu ada yang tak sempurna di semesta jagad raya ini, kecuali Dia. Yah Dia.(**)

Makassar , 18 November 2013 

*Tulisan ini hanyalah persepsi penulis sendiri. Tidak harus diikuti.

Tulisan terkait: http://www.catatan-hambamoe.blogspot.com/2012/03/maha-oleh-muhammad-baran-tuhan-adalah.html 

Kau Bilang, Jadilah Pantai Yang Setia

www.indonesia.travel

Kau Bilang, Jadilah Pantai Yang Setia

Oleh Hamba Moehammad

Ingatanku kini kembali ke masa lalu. Di siang yang getir itu. Kau masih ingat Purnama?

"Apa yang mesti kulakukan bila kita dipisahkan jarak dan waktu?" Itu pertanyaanku di atas jembatan yang menjadi saksi jumpa kita terakhir kali.

"Jadilah pantai yang setia pada deburan ombak." jawabmu dengan berurai airmata. Dan semenjak itu kita tak lagi jumpa. Entah sampai kapan.

Langit muram. Dan angin berembus gelisah. 

Makassar, 17 November 2013

Sabtu, 16 November 2013

Negeri Para Maniak Gosip

delbloggolo.blogspot.com
Oleh Hamba Moehammad

Anda pernah menggosip, atau paling tidak anda pernah menonton tayangan gosip di tv-tv itu kan? Ah anda jangan coba-coba mengatakan tidak. Anda akan dianggap manusia primitif alias manusia prasejarah yang nyasar di zaman kini. Anda bahkan akan ditertawai karena dianggap manusia yang tidak up to date dengan perkembangan gosip terkini di republik ini.

Yah kita adalah makhluk unik di negeri yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin yang juga unik. Di negeri yang dihuni spesies manusia langka yang nyaris punah. Manusia penggosip dan penikmat gosip yang andal. lebih tepatnya maniak gosip.

Tidak usa malu-malu. Akui sajalah. dari pejabat negara, sampai rakyat yang paling miskin di pelosok dusun, hampir semuanya punya kebiasaan dan kelihaian menggosip. Untuk yang satu ini sepertinya kita memang dikaruniai bakat alami oleh Tuhan.

"Hari gini, tidak kenal apa itu gosip? tTdak tahu perkembangan gosip terkini? Apa kata nenek?" begitulah barangkali nada meremehkan spesies manusia unik di negeri yang terlanjur menjadikan acara gosip sebagai menu favorit sarapan pagi dan mengidolakan para pelaku gosip sebagai panutan hidupnya ini.

Tapi biar bagai manapun gosip tetaplah gosip. Terkadang meski tanpa menggunakan menu bumbu dan resep andalan, dia selalu punya penggemar sendiri. Memang selalu ada segmentasi penikmat terhadap apa-apa yang bisa dinikmati . Misalnya, ada penikmat olahraga, ada penikmat film. ada juga penikmat rokok, penikmat narkoba, atau penikmat seks.

Anda tidak perlu malu-malu bila termasuk salah satu diantara kategori maniak. apa lagi sampai marah-marah, berunjuk rasa ke kantor DPR atau lapor polisi dengan alasan pencemaran nama baik. Lagian di negeri ini masikah tersisa nama baik?

Begitu juga dengan para maniak gosip. Ada yang menyukai rasa yang pedas bombastis. Ada juga rasa melankoli dengan drama isak tangis. ada juga yang menyukai aneka rasa; manis, asam, asin. Yang terakhir ini mungkin terpengaruh iklan permen di tv. Katanya, biar lebih rame rasanya.

Ada rupa-rupa merek gosip. Ada gosip politik. gosip kehidupan selebriti yang katanya lagi musim kawin-cerai. Ada juga gosip rumah tangga dan masih banyak lagi ragam gosip

Mereka yang punya tv dan punya uang, membuat acara sarapan gosip. Kita hanyalah penonton. Menonton geratis di layar tv. Itu pun kalau kita punya tv. Tapi dengan bakat alami yang dikaruniai Tuhan, kita bisa meniru mereka membuat acara gosip. Kadang rasa gosip kita bahkan bisa bersaing dengan para pemilik acara gosip di tv itu.

Tapi apakah menjadi maniak gosip alias pehobi gosip itu hal yang tercela? Untuk menjawab "ya" atau "tidak", mari kita harus kompromi dulu kawan. Kita harus duduk bersama untuk berembuk guna menyepakati jawabannya.

Di negeri ini (silahkan anda menghitung) jumlah maniak gosip barangkali jauh lebih banyak dari pada maniak narkoba, atau maniak seks. Artinya, prospek masa depan maniak gosip sangat cerah. Anda mungkin bisa mempertimbangkan untuk beralih profesi menjadi tukang gosip.

Berbeda dengan para maniak narkoba atau maniak seks yang cenderung mendapat stigma negatif dari masyarakat yang sok suci di negeri ini, maniak gosip praktis tak menuai kecaman berarti. Bahkan fatwa MUI yang mengharamkan tayangan gosip dan sejenisnya, kalah telak. Fatwa ini ditentang habis-habisan oleh para maniak gosip. Siapa yang bisa mengalahkan selera yang terjajah? Sispa yang mampu membungkam kekuasaan uang dan media?

Persoalan gosip, selain soal life stile atau gaya hidup, gosip juga menyangkut bisnis. Ketika berbicara bisnis, erat kaitannya dengan kebutuhan hidup. Dengan gencarnya bisnis gosip, nilai komersialisasi dari gosip bahkan menyamai (kalau enggan mengatakan melampaui) kebutuhan pokok sehari-hari.

Kadang kita rela atap rumah dibiarkan bocor atau baju sekolah anak dibiarkan sobek asal tidak ketinggalan gosip. Uang deposito di bank nyaris terkuras habis demi mengikuti perkembangan gosip terkini.

Anda tidak percaya? Itu urusan anda. Tapi ini beritanya: ada ibu rumah tangga yang kedapatan selingkuh oleh suaminya setelah menonton gosip selebriti yang lagi kawin cerai. Ada seorang pemudi yang rela lari rumah orangtuanya setelah mendapat ole-ole gosip dari kekasihnya. Ada pemuda di kampung yang rela merantau ke kota tanpa bekal skill memadai, setelah menerima kiriman paket gosip dari kenalannya.

Cukup? Ternyata tidak. ada juga pejabat pemerintah yang kepicut menilep anggaran negara hanya untuk mencari sensasi biar menjadi objek gosip. Katanya, untuk menaikkan popularitasnya.

Ah jadi maniak gosip memang punya sensasi rasa tersendiri. Masih banyak fakta lain yang membuktikan, gosip merupakan menu pokok setiap pagi masyarakat di negeri ini.

Bagi anda yang merasa bukan maniak gosip (saya ragu kalau ada yang mengaku bukan maniak gosip), jangan protes dulu. Saya hanya mau menunjukkan fakta supaya anda tidak asal menuduh, saya atau para maniak gosip ini sudah gila atau rada-rada aneh dan nyeleneh.

Ketika anda yang merasa bukan maniak gosip menemukan terlalu banyak penganan gosip yang dijajakan di warung atau pasar-pasar di dusun dan kampung, atau yang berseliwerang di super market di kota-kota besar, anda tak perlu berteriak, apa lagi marah-marah. Nanti anda dikira stres atau gila.

Cukuplah kalau tak suka gosip dan tak mau jadi objek gosip, anda cukup melarang keluarga, agar tidak berlangganan menu gosip setiap pagi. Atau jangan memberikan anak anda uang, untuk jajan gosip di sekolah atau di kampus. Begitu juga ingatkan istri anda, untuk tidak menghambur uang hanya untuk berbelanja gosip.

Tapi bila anda tak sanggup melarang keluarga anda, mungkin sebaiknya anda harus legawa dengan keadaan. Jalan kompromi barangkali menjadi pilihan yang lebih bijak untuk melihat realita bahwa, gosip telahmenjadi bagian penting bagi masyarakat di negeri ini. Hidup memeng tak nikmat rasanya tanpa bumbu-bumbu gosip.

Kita juga harus menerima kenyataan, bahwa hidup kita sudah digempur dengan aneka jajanan gosip yang memikat mata dan mengundang selera rasa. Harganya pun sudah semakin terjangkau. Tak perlu anda capek-capek mencarinya. Dia akan datang menawarkan diri. Langsung ke rumah anda, ke kantor, atau dimanapun tempat anda singgah.

Ah mungkin kita memang harus lebih keras berteriak. Atau barangkali diam mungkin menjadi pilihan yang lebih realistis, ketika sudah tak lagi ada kewarasan. tapi antara teriak dan diam, terkadang terselip juga banyak ketakwarasan yang samar. apa lagi hanya memilih untuk berteriak atau sebaliknya hanya diam. seperti buah simalakama. serba dilematis memang. (**)

Kamis, 07 November 2013

Memaafkanmu bukan berarti....

Memaafkanmu bukan berarti melupakan kesalahanmu.
Keadilan hanya mungkin bila kesalahan tidak hanya dimaafkan.


catat itu sayang...!

Kuterima nikahmu dengan...

kuterima nikahmu
dengan dengan seperangkat cinta
sebungkus kesetiaan
sekarung rindu
dan sekeranjang cemburu.

semuanya dibayar di muka.. (HM)

Kenapa diam sayang?

kenapa diam sayang?
kau tahu sunyi adalah cermin?
disini kita bugil dan berpihak

kenapa diam sayang?
kata memenjara makna
bunyi membelenggu arti

kenapa diam sayang? (HM)

purnama (3)

PURNAMA...

Oleh Hamba Moehammad

purnama, mungkin seminggu, sebulan (sambil menatap bulan) kita berpagut di antara kebun anggur yang rimbun. juga bunga yang rimbun.

purnama, kulambaikan segenap kenangan tentang kita, ketika lagu perpisahan hampir selesai kau nyanyikan.

purnama, haruskah kubawa harapan di antara debu terbang di jalanan, yg hampir terang oleh fajar?

purnama, tak ada saputangan untuk sekadar menyapu airmata karena karena tangis sudah percuma.

purnama, setelah mengarungi sejuta kota, mungkin aku akan sekarat, lalu membuat surat untuk sekadar kau ingat.

purnama, kini aku makin basah dalam deras yang kian menjadi, dan berharap sua denganmu di laut yg mungkin telah menjadi pemisah.

purnama, ingin benar aku menjadi ombak yg mengarungi pepantai, sembari mencatat kisah kita di lembar diari.

purnama, masihkah merah pipimu dan lembut jemarimu seperti terakhir kita bertemu?

purnama, aku rindu. sungguh.(HM)

Karpet mesjid menjadi saksi

Bekas airmata
di karpet mesjid 
menjadi saksi
betapa semua pinta
terasa sia-sia
meski lafaz dan tangisku
berterbangan ke angkasa

jutaan kata-kata melayang
masih menunggu jawaban
dan aku masih saja merasa bersalah... (HM)

purnama (2)

Purnama!

tawamu,
masihkah renyah seperti saat pertama kita jumpa?
Tawa yang membuat sudut hatiku riang.
Atau jangan-jangan,
kehidupan tega membuatnya kusut?


Purnama,
akulah bintang.
Masihkah kau ingat aku?
Atau jangan-jangan
hingar bingar kota membuatmu
lupa akan kenangan kita? (HM)

purnama (1)

Purnama,
apa kabarmu kini?
Pendar senyummu,
masihkah rekah seperti dulu?
Senyum yg membuatku kerasan berada di sampingmu.
Atau jangan-jangan, waktu kejam membuatnya cemberut? (HM)

dan kita hanya bisa tercengang

Kita kerap alpa membilang hari.
Tak sadar waktu berputar.
Hingga tiba-tiba ajal mengetuk pintu kealpaan kita.
Dan kita hanya bisa tercengang... (HM)

Hidup tak melulu perkalian

Hidup tak melulu perkalian
atau hitungan angka-angka
di layar kalkulator pedagang

kau paham kan sayang? (HM)

ketika lagu hampir habis kau nyanyikan

Kulambaikan kenangan
ketika lagu hampir habis kau nyanyikan. (HM)

dendam rindu

Sebuah peluk, atau ciuman di pipi, mungkin sudah cukup melunasi dendam rindu. (HM)

Belum selesai disimpulkan

Begitu banyak omongan yang belum selesai disimpulkan. (HM)

di antara debu terbang di jalanan

Haruskah kubawa harapan, di antara debu terbang di jalanan, yang hampir terang oleh fajar? (HM)

Laut yang telah menjadi pemisah

Aku makin basah dalam deras yang kian menjadi.
Dan berharap sua denganmu di laut yang mungkin telah menjadi pemisah. (HM)

Masihkah mereh pipimu...

Masihkah merah pipimu, dan lembut jemarimu seperti terakhir kita bertemu? (HM)

Pada sebuah kerinduan

Pada sebuah pesan kerinduan
apa yang hendak kau tuliskan
bila kepergianmu adalah sebuah kehilangan sayang?  (HM)

Imajinasi lebih berharga dari pada ilmu

Imajinasi lebih berharga dari pada ilmu pengetahuan. 
Logika akan membawa anda dari A ke B. 
tapi Imajinasi akan membawa anda kemana mana.!!
Maka penuhi dirimu dalam hidup dng kreatifitas... (dari berbagai sumber)

ah betapa sulit berpasrah diri

Ah Ramadhan ini begitu sunyi
dan betapa sulit berpasrah diri... (HM)

Karena yang manis-manis...

Berbuka puasalah dengan yang sayang-sayang. 
Karena yang manis-manis, belum tentu disayang-sayang.. (HM)

Karena tangis sudah percuma

Tak ada saputangan
untuk sekedar menyapu airmata
karena tangis sudah percuma.. (HM)

Ketuklah pintuku

Ketuklah pintuku
agar kutahu kau selalu disitu...(HM)

Pagi ini kubuat puisi

Pagi ini kubuat puisi
untuk mengingat segenap hati
(walau mungkin tak lagi berarti)

Kau selau cantik di mataku

meski ada karut garis di matamu
kau selalu cantik di mataku
dan asal kau selalu ada
usia bukan persoalan lagi.. (HM)

Tak perlu risau

aku tak perku risau
ada kau, ada taman, ada akasia, ada tawa
ada semua....(HM)

Ke batas di luar mimpi

Aku tertidur
dan mendapatimu telah pergi
ke batas di luar mimpi.. (HM)

lalu kita bercakap tentang apa saja

Saat meneguk hangat kopi
asap seperti membentuk wajahmu
dengan senyum atau tawa
lalu kita bercakap tentang apa saja.. (HM)

Telah menguning daun-daun

Telah menguning daun-dau direranting basah
tapi mengapa tiap desah napas menjadi rindu? (HM)

Akan tiba saatnya

akan tiba saat kita pisah
meski sejak awal
kita cuma bicara tentang indahnya pertemuan... (HM)

Karena

Hanya orang yang lemah yang merasa perlu menindas orang lain, karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa ia kuat. 

Hanya orang yang merasa dirinya tidak aman yang berbuat lalim kepada orang lain, karena ia meyakini bahwa orang yang berhasil dilaliminya pastilah tidak mampu membuatnya tidak aman.

Maafkanlah

Maafkanlah bila hati tak sempurna mencinta-Mu...
Namun cinta dalam jiwa hanyalah untuk-Mu 

Maafkanla bila hati tak sempurna mencintai-Mu 
dalam dada kuharap hanya dirimu yang bertahta... ('Ainurrafiq Lilfirdausi)