Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 16 November 2014

Yang Paling Jauh dan Yang Paling Dekat...

Yang Paling Jauh dan Yang Paling Dekat...

"Apakah gerangan yang paling jauh dari kita?"

"Adalah masa lalu.."

"Kenapa bisa?"

"Karena yang berlalu tak bisa diulang, dia hanya bisa dikenang."

"Lalu, apakah gerangan yang paling dekat dengan kita?"

"Adalah kematian, dialah maut."

"Apa sebab?"

"sebab dia tak terduga, datang dan pergi semau-maunya."

"Kalau begitu apa yang mesti dilakukan?"

"Lupakan masa lalu, dan mari sambut kematian yang mungkin sebentar lagi akan datang menjemput, suka atau tidak suka."

~HM~

Kamis, 23 Oktober 2014

Hidup untuk Mati, atau Mati untuk Hidup?


Hidup untuk Mati, atau Mati untuk Hidup?
(Lagi-lagi ini hanya dialog khayalan saya semata. Tak perlu diimani)

"Kenapa kita hidup?"

"Supaya kita bisa mati"

"Kenapa kita mesti mati?"

"Karena kalau hidup terus menerus, itu namanya kekal alias abadi."

"Tak bolehkah kita hidup kekal?"

"Boleh-boleh saja sih."

"Oya? Caranya?"

"Yah kalau Tuhan menghendaki."

"Apakah kita hidup karena kita punya ruh alias punya nyawa?"

"Bukan. Bukan karena punya nyawa lantas kita bisa hidup."

"Lantas karena apa?"

"Itu karena yang membuat kita hadup adalah kehendak Tuhan."

"Maksud loe?"

"Biar kau punya 1000 cadangan nyawa, tapi kalau Tuhan tak berkehendak, yah percuma."

"Jadi, kesimpulannya apa?"

"Kalau mau hidup kekal, silahkan suap atau sogok saja Tuhan."

"Edan. Memang Tuhan bisa disogok?"

"Yang bilang bisa itu siapa?"

"Yaaaah....."

~HM~

“Saya tidak berdoa kepada Tuhan"


Do'a dan Hal-hal yang Harus Diselesaikan
(Hati-hati..!  Ini hanya percakapan khayalan saya semata. Janga terkecoh)

"Perlukah Kita Berdo'a?"

"Berdo'a kepada siapa?"

"Yah berdo'a kepada Tuhan toh. Sama siapa lagi?"

"Untuk aaapa?"

"Untuk hajat atau kebutuhan kita"

"Hari gini masih berdo'a mengemis hajat dan kebutuhan? Apa kata nenek moyang?"

"Hehehe, kamu ini menghina atau menghibur?"

"Ah saya hanya menghibur dengan cara menghina. Tak usah diambil hati begitu"

Terus, bagaimana kau berdoa kepada Tuhan?"

"Berdo'a? Dengan tengadah tangan penuh harap itu?

"Yah. Yang seperti itu.." 

 “Saya tidak berdoa kepada Tuhan"

"Oya? Apa sebab?"

"Sebab saya tak memiliki apa pun untuk diminta"

"Karena sudah puas dengan apa yang sudah dimiliki?"

"Bukan. Bukan soal kepuasan yang membuat saya memilih untuk tak berdo'a. Tapi karena Tuhan sudah memberi semua yang saya butuhkan.”

(Demikianlah cerita omong kosong saya. Mohon maaf kalau anda merasa tertipu dengan cerita yang sekadar omong kosong saja ini. Toh hidup ini memang kebanyakan sekadar omongan kosong kan? heheh)

~HM~

Minggu, 05 Oktober 2014

Apalah Artinya Sebuah Nama...

Tadi pagi sebelum shalat idul adha, panitia mengumumkan ada 17 ekor sapi dan lima ekor kambing yang akan jadi korban. Di tengah hiruk pikuk itu, saya medengar dua ekor sapi yang akan disembelih tengah berbincang santai. Temanya, "Apalah artinya sebuah nama".
"Broow, boleh kenalan tidak?"

"Boleh-boleh saja. Siapa takut?"

"Namamu apa (bukan siapa)?"

"Namaku Tiada. Kalau kamu?

"Kalau saya, Tak Pernah Ada"

"Kalau boleh tahu, kenapa namamu Tiada?"

"Memangnya ada apa dengan namaku? Ada yang tak lucu?"

"Hahaha. Justru itu makanya saya mau tanya karena namamu lucu."

"Yah karena di kampungku, sayalah sapi satu-satunya yang ada dan dipelihara di sana. Selebihnya kambing, kuda, kucing dan sebangsanya."

"Oooooh... Begitu yah?"

"Ya iya laaaah, masa iya tooooong? Terus kenapa kok namamu, Tak Pernah Ada?"

"Itu juga nama pemberian majikanku waktu di kampung kemarin. Katanya, diantara sesama bangsa sapi, sayalah sapi unggul yang tak pernah ada duanya."

"Waaaaaooo kereeeen...!!"

"Ah santai saja broow. Toh nama hanyalah nama. Apalah artinya sebuah nama. Kalau sebentar kita di sembelih, nama tinggallah nama. Iya kan"

"Tapi menurut saya, nama adalah penanda bahwa kita pernah ada. Paling tidak sebagai kenangan buat majikan kita untuk mengenang kalau dia punya seekor sapi bernama Tiada, atau Tak Pernah Ada. Kalau harimau mati meninggalkan belang, maka kalau kita mati paling tidak kita meninggalkan nama."

"Yayaya... Tapi saya tak butuh dikenang, dan nama tak penting bagi saya. Kerena nama hanyalah penanda,  nama hanya dibutuhkan untuk membedakan satu sapi dengan sapi-sapi yang lain. Bukankah kalau di kampung itu hanya ada satu sapi, maka penamaan tak dibutuhkan lagi?"

"Hmm... saya mengerti alasanmu. Bahkan Tuhan pun sebenarnya tak membutuhkan nama.  Toh tak ada yang serupa dengan-Nya. Kitalah yang memberikan nama pada Tuhan dengan aneka sebutan seperti Allah, Yahwe, Sang Hyang widhi, Amon Ra, Zeus dan sebagainya."

"Benar sekali Mas Broow... Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut. Dan itu tak berlaku bagi yang Esa, yang Tunggal, yang Ahad atau sesuatu yang tak ada sama persisnya."

Dan kini tiba giliran kedua sapi itu, Si Tiada dan Si Tak Pernah ada digiring ke arena penjagalan. Dan tiba-tiba ada teriakan dari langit nun disana, "Apalah Artinya Sebuah Nama?".

(Lagi dan lagi, ini juga hanya cerita khayalan saya semata. Maaf bila ada yang tersinggung karena kemiripan nama. Toh ini juga hanya kebetulan semata).

~HM~

Kamis, 02 Oktober 2014

Cantik itu Fitnah, Katanya...

Cantik itu Fitnah, Katanya...


Diantara sadar dan lelapku, tiba-tiba saja saya mendengar perdebatan yang alot antara cicak dan nyamuk malam ini.Temanya tentang kecantikan.

"Kecantikan itu sebenarnya hanya menimbulkan fitnah."

"Maksudmu apa sodara?."

"Yaa banyak orang kemudian berdosa dan terjerumus dalam dosa karena kecantikan."

"Contohnya bos? Biar lebih realistis dan tak sekadar bombastis."

"Dalam sejarah, banyak orang-orang besar yang rusak namanya, jabatannya dan karirnya karena kecantikan"

"Ah mestinya yang dipersalahkan itu mereka yang tergoda. Siapa suru gampang tergoda dengan kecantikan. Kayak anak TK saja"

"Kan ada dikatakan bahwa, siapa yang menjadi penyebab orang berbuat dosa, maka dia juga berdosa broow... Makanya sekolah biar pintar sedikit"

Dan tiba-tiba saja masih di antara lelap dan sadar mendengar perdebatan itu, saya pun protes.

"Terus siapa yang menjadikan kecantikan itu, yang punya ide menciptakan kecantikan?"

"Tuhan...!!" Cicak dan nyamuk menjawab nyaris bersamaan.

"Kalau begitu berhentilah berdebat. Toh Tuhan yang menjadi penyebab kecantikan itu."

Seketika si Cicak dan Nyamuk hanya saling berpandangan tanpa kata. Dan saya pun menutup muka dan telinga dengan bantal. Bosan mendengar debat kusir mereka berdua yang tak ubahnya seperti para anggota DPR yang tak lagi terhormat itu....

(Ini hanya cerita khayalan saya pribadi. Bila ada kesamaan cerita dan nama tokoh dalam cerita ini, yakinkan hati dan imanmu bahwa itu hanya kebetulan semata )..

~HM~

Sabtu, 13 September 2014

Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi




Sejarah Diubah Belanda, Majapahit Yang Islam Menjadi Hindu

Republik Madura - Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasisi pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara.

Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.

‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’.


Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.


Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat dimasa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut.

 
Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat.


Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:

1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.

2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini.

Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.


4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu.

Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo.


Di samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisanGajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’.

Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.


5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu.

Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari TimurTengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranak pinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaanNusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.


Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarahitu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Wallahu A’lam Bishshawab. Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.

BACA ini juga gan! ---------> Barbarossa Bersaudara, Bajak Laut Moslem Legendaris Yang Ditakuti Dunia Barat

Barbarossa Bersaudara, Bajak Laut Moslem Legendaris Yang Ditakuti Dunia Barat

Republik Madura - Anda yang gemar membaca komik Asterix dan anda yang pernah menonton film ‘Pirates of The Carribean’, tentu ingat karakter jahat ‘Barbarossa’ bukan? Sejak zaman pertengahan, aneka macam karya fiksi Eropa dan Amerika biasa menggunakan nama Barbarossa untuk menamai karakter seorang penjahat –biasanya seorang bajak laut jahat. Makna negatif Barbarossa terus dipropagandakan hingga zaman sekarang, meski di dalam setting-setting yang berbeda. Tak ada asap jika tak ada api, kebiasaan para penulis fiksi Eropa dan Amerika ini tentu ada sebabnya.

Pada abad ke-15 masehi, di Laut Mediterania ada dua bajak laut bersaudara yang disebut The Barbarossa Brothers. Kedua tokoh ini menjadi legenda dalam dunia ‘per-bajak-laut-an’ dan merupakan tokoh bahari yang sangat ditakuti orang-orang Eropa pada zamannya. Kebiasaannya ialah membajak barang-barang berharga yang diangkut oleh kapal-kapal milik kerajaan-kerajaan Eropa yang melintasi Laut Mediterania. Awak kapal yang dibajak biasanya diberi dua pilihan; mati karena melawan atau hidup dengan menyerah secara sukarela.

Siapakah sebenarnya Barbarossa yang sangat ditakuti oleh orang-orang Eropa selama berabad-abad itu? Mengapa hingga zaman sekarang nama itu terus menghantui benak dan pikiran mereka?
Barbarossa bukanlah sebuah nama. Barbarossa merupakan kata dalam bahasa Latin –gabungan dari kata barber (janggut) dan rossa (merah). Jadi Barbarrossa berarti janggut merah. Barbarossa merupakan julukan yang diberikan oleh para pelaut Eropa kepada kakak-beradik Aruj dan Khairuddin dari Turki. Kedua kakak beradik ini hanyalah pelaut-pelaut biasa yang rutin berlayar di wilayah perairan Yunani dan Turki.

Pada suatu hari, tanpa sebab yang jelas, kapal milik keluarga mereka diserang secara brutal oleh kapal militer Knight of Rhodes. Dalam peristiwa ini, adik bungsu Aruj dan Khairuddin tewas terbunuh. Aruj dan Khairuddin sangat terpukul dengan kematian adik bungsu mereka. Sejak saat itu, mereka melakukan aksi bajak laut kepada semua kapal-kapal militer milik kerajaan-kerajaan Kristen. Aksi-aksi mereka sangat menggemparkan dan membuat mereka ditakuti militer Kristen. Aruj dan Khairuddin pun kemudian dikenal sebagai The Barbarossa Brothers Pirates karena keduanya berjanggut merah.

Kaum Eropa menyebut Barbarossa sebagai bajak laut, meskipun tidak ada bendera hitam dan tengkorak yang menjadi simbol bajak laut. Bendera yang dipasang Aruj dan Khairuddin di kapal mereka adalah sebuah bendera berwarna hijau berisi kaligrafi doa Nashrun minallaah wa fathun qariib wa basysyiril mu’miniin, ya Muhammad, empat nama khulafaur rasyidin, pedang Zulfikar dan bintang segi enam Yahudi (Bintang David). Awak kapal yang dipimpin kedua bersaudara ini terdiri atas orang-orang Islam dari bangsa Moor, Turki, dan Spanyol, serta beberapa orang Yahudi.

Pada tahun 1492 M, Andalusia yang sejak tahun 756 M dikuasai oleh Daulah Khilafah Islamiyah, jatuh ke tangan Pasukan Salib yang terdiri atas pasukan gabungan Aragon & Spanyol. Dalam peristiwa penaklukan Andalusia ini, jutaan orang Islam dan Yahudi tewas dibantai pasukan yang dipimpin Raja Ferdinand II dari Aragon.

Peristiwa itu mengubah haluan misi dendam Aruj dan Khairuddin menjadi misi Jihad Islam. Bahu-membahu bersama sekelompok milisi bangsa Moor, mereka kemudian menyelamatkan puluhan ribu Umat Islam dari Spanyol ke Afrika utara (Maroko, Tunisia dan Aljazair). Kemudian mereka membangun basis pertahanan laut di Aljazair untuk menghadang gelombang serangan Pasukan Salib dari jalur Afrika Utara menuju Tanah Suci Palestina.

Khalifah Islam saat itu, Sulaiman I, mendengar cerita-cerita heroik Barbarossa bersaudara. Sulaiman I sangat kagum pada heroisme mereka. Karena prestasi mereka di lautan, akhirnya Sulaiman I mengangkat Aruj dan Khairuddin sebagai Kapudan Pasha (Panglima Angkatan Laut) Khilafah Islamiyyah untuk membenahi Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah yang amburadul.

Pada tahun 1518 Spanyol berhasil menghasut Amir kota Tlemcen (Tilmisan) untuk melancarkan pemberontakan kepada kepemimpinan Aruj. Aruj kemudian menyerahkan pemerintahan Aljazair kepada Khairuddin untuk sementara. Lalu ia memimpin pasukan untuk berangkat ke Tlemcen. Hati Aruj sangat pilu karena ia malah berperang dengan saudara sendiri sesama Muslim. Akibatnya ia kurang berkonsentrasi dan pasukannya kocar-kacir. Aruj sempat lolos, namun banyak pasukannya yang tertangkap. Karena hubungan emosionalnya dengan anak buahnya, Aruj kembali ke Tlemcen untuk bertempur dan ia gugur dalam pertempuran tersebut.

Dengan gugurnya Aruj, kepemimpinan Angkatan Laut Daulah Khilafah Islamiyah beralih ke tangan Khairuddin. Spanyol mengira bahwa era kejayaan Barbarossa di Laut Tengah telah berakhir. Lalu, dengan percaya dirinya, Spanyol mengirim 20.000 tentaranya ke Aljazair. Pertempuran hebat pun terjadi, namun Khairuddin berhasil menghajar pasukan laut tersebut.

Guna meminimalisir ancaman dari negeri sekitar Aljazair, selain ancaman utama Spanyol, Khairuddin kemudian meminta kepada Khalifah Sulaiman I agar kekuasaan Amir Tunisia dan Tlemcen dialihkan kepadanya. Sulaiman I pun setuju. Pada 1519, Khalifah mengangkat Khairuddin sebagai beylerbey (Bakhlair Baik) atau wakil Khalifah untuk wilayah Aljazair dan sekitarnya. Kemudian Khairuddin juga ditugasi memimpin pasukan pasukan elit Daulah Khilafah Islamiyah, Pasukan Janissary.

Dalam masa kepemimpinan Khairuddin, Pasukan Janissary berhasil melakukan banyak penyelamatan Umat Islam di Andalusia. Tercatat mereka melakukan 7 kali pelayaran dengan 36 buah kapal untuk mengangkut Umat Islam Spanyol yang diburu bagai hewan oleh Ferdinand II dan Pasukan Salib Iblisnya.
Pertengahan dekade 1520-an, Pasukan Darat Janissary yang dipimpin langsung Khalifah Sulaiman I berhasil memenangkan semua pertempuran darat. Pada saat bersamaan, Pasukan Laut Janissary di bawah pimpinan Khairuddin juga berhasil mengontrol lalu lintas pelayaran di Laut Tengah sepenuhnya. Kondisi ini membuat Pasukan Salib Kristen Eropa menjadi pusing tujuh keliling.

Dalam suasana putus asa, pada tahun 1529 di pulau Penon, Spanyol menembakkan meriam ke menara masjid saat Adzan sedang berkumandang. Maka terjadilah peperangan hebat di Penon dan setelah 20 hari pulau tersebut berhasil dikuasai kembali oleh Khairuddin. Sementara di daratan, Sulaiman I membombardir Wina (Ibukota Austria) dengan dua kali serangan namun keduanya gagal. Pasukan Islam yang mundur dari pertempuran meninggalkan beberapa karung kopi yang kemudian mengubah aturan Paus Roma yang sebelumnya mengharamkan minuman yang biasa diminum kaum muslim itu. Kemudian mereka menyebut minuman itu sebagai dengan nama cappuccino.


Tiga tahun kemudian, Pasukan Salib Gabungan Spanyol-Genoa kembali menyerang Aljazair dengan kekuatan 200 kapal. Mereka sengaja melancarkan serangan di luar musim berlayar, untuk menghindari pertemuan dengan Pasukan Barbarossa. Rakyat Aljazair di bawah komando Hasan Agha berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan Aljazair. Charles V dan Andrea Doria yang memimpin serangan tak mengira bahwa pertahanan dan strategi perang Hasan Agha sangat matang, sehingga armadanya pun kacau-balau. Ketika itu pula tiba-tiba badai laut dahsyat menghantam Laut Mediterania. Andrea Doria dan Charles V berhasil selamat, dan kembali ke negerinya dengan kekalahan pahit.
Tahun 1565, dalam usia senja, Khairuddin Barbarossa memimpin pasukan untuk merebut Malta dari tangan Knight of St. John. Namun dalam pertempuran itu, Khairuddin gugur. Kemudian Khairuddin dimakamkan di Istanbul. Di dekat kuburannya didirikan masjid dan madrasah untuk mengenangnya. Hingga kini makam tersebut masih terawat untuk menjadi bukti kepahlawanan Khairuddin alias Barbarossa yang namanya masih ditakuti bangsa Eropa hingga zaman sekarang.

Inilah yang membuat kita (kaum muslim) sekarang kalah. Dunia barat memang menguasai hampir semua lini media baik media cetak (koran), media elektronik (televisi) hingga media lewat film. Padahal media-media tersebut menjadi tombak paling depan membentuk opini publik. Membuat baik atau membuat buruk nama a seseorang tergantung dari media-media itu. Akhirnya, apa yang kita konsumsi ya apa yang media-media itu sajikan.

Otak kita, pikiran kita dan opini kita akhirnya pula terbentuk dari apa yang disajikan oleh media-media barat yang memang menguasai dunia saat ini. Padahal belum tentu berita yang disajikan jelek atau bagus oleh media-media barat itu benar adanya. Mulai berita hingga kasus yang sedang kita baca ini, Khairuddin Barbarossa. Pasti dari kita kaum muslim banyak yang belum tahu, betapa peran nya begitu hebat di dunia Islam di masa lalu. Semoga kejayaan tetap bersama Islam. Amien! (Mad Topek)
=====================================

Sumber: http://republikmadura.blogspot.com

Sabtu, 06 September 2014

Labala, Apa Kabarmu? **

Labala, Apa Kabarmu? **

Apakah kita saling merindu? Entahlah! Meski kadang menyiksa, kerinduan itu pasti ada. Tapi seberapa besar kadarnya, aku tak tahu. Lebih tepatnya tak tahu mengukur kadar kerinduan itu. Toh bagiku, rindu adalah semacam alamat rumah untuk berkirim surat cinta.

Aku meninggalkanmu beserta segenap kenangan masa kanak-kanakku yang indah. Meninggalkan tanjung leworaja-mu dengan debur ombak yang tak pernah berhenti, nyanyian burung camar yang tak ingin berlalu, juga ingatan masa kanakku yang tak hendak pergi.

Labala, adakah kau rasakan rindu yang bermekaran seperti bunga jambu mente yang lagi musim di situ? Adakah riang dihatimu seperti dulu saat bersama di musim panen jagung dan kacang tanah? Oya, sekarang harga jambu mente dan kacang tanah sekilo berapa? Cukupkah untuk beli bensin buat amak-amak kami pergi melaut kalau malam hari? Cukupkah untuk ongkos naik ojek inak-inak kami untuk pergi jual ikan keliling?

Labala, Kita berpisah sudah begitu lama bukan? Kuharap, meski rentang waktu yang cukup lama sejak kita pisah, semoga kau tak lekas melupakanku, sebagaimana aku yang juga enggan untuk melupakan. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Sebahagian besar masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan menjelajahi jengkal demi jengkal Pantai Lukiono-mu, menyelami hasta demi hasta Laut Sawumu, menelusuri langkah demi langkah Bukit Wolo, padang sabana Lewo Lolon dan pohon-pohon kelapamu. Bagiku melupakan berarti menyingkirkan. Dari hati, juga ingatan. Dan aku tak hendak melupakan, apa lagi menyingkirkan. Sungguh…

Labala, kuharap kau masih seperti dulu…

Masihkah kau secantik dan seanggun dulu? Atau jangan-jangan barangkali banyak hal yang sudah membuatmu berubah? Jika iya, betapa sedihnya aku. Tak bisa lagi kunikmati pantaimu yang landai, lautmu yang jernih, juga aneka warna-warni terumbu karanngmu, ikan-ikanmu yang berseliwerang, juga keramahtamahan masyarakatmu yang memagang teguh adat dan budaya ata Lamaholot..

Aku dengar selentingan kabar angin; listrik PLN sudah masuk, jalanan pun sudah diaspal, signal handphoe pun sudah bisa dijangkau. Bahkan akses internet pun sudah bisa. Ah aku bayangkan nulu moe geha kae (kau memang benar-benar sudah berubah). Dulu kampung kecil, kini sudah menjadi kota kecil. Dan sebagai anak kampung, paling tidak ada kemajuan yang bisa kubanggakan darimu di hadapan teman-teman kuliahku di kota yang sombong itu.

Ada sedikit kebanggaan memang mendengar kabar kemajuanmu, namun sekaligus terselip rasa was-was. Jangan-jangan Labala yang sekarang, sama sekali berbeda dengan Labala yang kukenal masa kecilku dulu. Masa kecilku dulu, Labala yang kukenal dengan segenap keramahan adat dan budaya lamaholotnya. Dulu, Labala kukenal sebagai Tanah watan nen gelara, tanah timu te pelate. Tanah orang-orang yang diberkati, kampung orang-orang pemberani.

Labala yang kukenal masa kanak adalah lewotanah (tanah air) yang menjunjung tinggi budaya pohe (menolong) dan gemohin (gotong royong) sebagai warisan luhur para leluhur. Aku mengenalmu sebagai kampung di mana masyarkatnya yang bermukim di pesisir selatan Kabupaten Lembata, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai berkah-keramah (kehormatan dan harga diri), juga sebagai Ata Watan (Muslim Pesisir) yang taat dan fanatik.

Labala yang kukenal tempo itu, meski musim kemaraunya lebih panjang dari pada musim hujan, bahkan kerap nyaris gagal panen karena hujan yang lama tak kunjung turun, tapi nuba-nara-nya (putra-putrinya) tak pernah semaput karena kehausan, dan mati karena kelaparan. Makanan selalu ada meski tak harus secukupnya, air selalu ada meski tak selalu memuaskan.

Orang-orang sederhana ini hidup dengan keyakinan teguh, Tuan Lera wulan – Alap Tanah ekan , yaitu Sang Pemilik langit dan bumi mate mete noi, tilu mete denga, Maha melihat dan maha mendengar. Dia tak akan pernah mencampakkan, apa lagi meninggalkan orang-orang bersahaja ini. Ah dulu, siapa yang tak kenal dengan orang-orang ini? Tapi kini, masih adakah yang mengenal orang-orang ini?

Labala, lela onek sama sudi…

Bersabarlah dan tunggu aku pulang. Jangan tidak. Dan kenang-kenanglah aku yang pernah begitu mengakrabimu. Kenang-kenanglah kami ana-opu-mu di tanah rantau ini. Kame nuba murin-nara baran, mai doan seba ilmu, balik ola gelekat lewotanah suku ekan.

Makassar, Agustus 2014

Ana opu-mu

Ttd

Hamba Moehammad
---------------------------
**Dari Kumpulan Cerpenku “Surat Rindu Untuk Lewotanah”.

Adakah yang bisa?

Di dunia ini tempat mesin dan sistem adalah hidup sehari-hari, adakah yang bisa menghalau atau paling tidak menunda kematian barang sekedip mata pun?

Juga Di dunia ini, tempat kecantikan diproduksi sebagai komoditas tanpa henti adalah laku sehari-hari, adakah yang bisa menghilangkan ketuaan dari kamus hidup manusia?

Jawabannya adala tiada dan memang tidak ada...

~HM~

Interupsi



Interupsi


Oleh Hamba Moehammad
Tuhanku,
 jika aku menghujatmu,
aku menghujatmu dengan keyakinan
bahwa engkau yang maha, tak akan terhina
hanya karena hujatan seorang hamba.

Tuhanku,
Apakah aku hanya bisa menghadap padamu
Di saat-saat aku cinta padamu?
Bagaimana jika aku tak lagi cinta
Dan tak mengerti tentang dirimu?

Tuhanku,
Benarkah kitab suci adalah kalam-mu?
Sekira iya, betapa hina diri-mu
Betapa rendah diri-mu
Dan kehendak-kehendak-mu

Tuhanku,
Bagiku, engkau adalah “yang tak terucap”
Engkau dan kalam-mu
adalah engkau yang tersembunyi
bagi potensi dan ekspresi akal budi hamba.

Tuhanku,
Bukankah engkau menemui hamba
Dalam iman dan akal budi hamba?
Tapi engkau sendiri jauh lebih agung
Dari pada akal budi dan iman itu sendiri.

Tuhanku,
Bukankah iman sekadar medium pertemuan?
Jika iya, maka konsep iman bisa berubah
Sesuai dataran pengalaman hamba
Yang akan mempergunakannya.
Tuhanku,
Bukankah iman bisa berubah?
Jika iya, maka agama pun tak tunggal
Dan kitab suci senantiasa ditafsirkan.
Dengan kata lain, tak ada yang sudah selesai.

Tuhanku,
Bisakah dalam keterbatasanku sebagai hamba,
Adakah sebuah kebenaran yang tak usah dicari
Dan di rindukan lagi?

Kamis, 24 April 2014

Penjajah itu bernama, rindu

Labala, telah menguning daun-daun diranting basah tepi pantai lukiono, dan pohon asam dekat rumah. Tapi mengapa tiap desah napas menjadi rindu?
Lewotanah, Bisakah kita bertemu untuk sekadar berbagi koda-kiri, seperti dulu kita begitu asyik seolah tak pernah berpisah?

Bala Lamaronga, ingin kubisikkan barang satu-dua kalimat sebagai pelipur lara, tapi bila kau tak berkenan, ke mana aku harus berpaling?

Maaf Dariku...

Kaulah masa kecilku

yang kukenal dengan rasa bersalah

:Teluk Labala dan laut sawu



Rabu, 23 April 2014

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Oleh Hamba Moehammad

Mengapa kita, manusia ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai pula mati?  Kenapa kita tidak sebagaimana yang dikatakan oleh kata Pramudya Ananta Toer," Ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati?."

Yah, mengapa kita mesti mati seorang diri, lahir pun seorang diri pula? Dan mengapa pula ketika kita mencintai seseorang, dan orang itu pun mencintai kita namun akhirnya kita mesti dipisahkan oleh kematian?

"Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam," kata Mas Pram dalam Novelnya, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007, hlm. 95). Di sana tidak ada kesendirian, kesunyian, dan kesepian.

Terkadang  saya merasa gamang.  Karena toh hidup ini, begitu kejam. Kita lahir sendiri, mati pun sendiri, tapi dalam hidup kau "dipaksa" bertemu begitu banyak orang. 

Dan karena Tuhan menganugerahi kita perasaan, maka kita menyayangi beberapa dari mereka: orangtua kita, saudara-saudara kita, , anak-anak kita, sahabat-sahabat kita, guru-guru kita, dan juga pasangan hidup, yang juga kita punya. 

Tapi apa boleh buat, kematian kemudian akan merenggut mereka. Satu per satu. Atau kematian merenggut kita dari hidup mereka. kalau begini,  lalu apa bedanya? Kesedihan selamanya menjadi  kesedihan yang sulit tertanggungkan.

Mungkin ada di antara kita yang bertnya, apa sebenarnya maunya hidup ini? Lebih senangkah kalau kita bisa hidup tanpa berperasaan, dan dengan demikian, kita tidak perlu bersedih hati kalau ditinggal mati orang yang kita cintai? 

Dan orang yang mencintai kita, juga tidak perlu bersedih ketika kita tinggalkan? Juga kita tak perlu mengatur perasaan dan  cukup berprinsip, "Bencilah sewajarnya dan cintai secukupnya," sebagaimana kata orang bijak?

Tapi, siapa  yang sanggup mencintai hanya secukupnya? Bukankah cinta selalu bergelora, dan kalau masih bisa dikendalikan berarti bukan cinta namanya?

Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, dan orang itu balas mencintai kita dengan sepenuh hati pula, rasanya hidup ini sudah lengkap. Ada rasa hangat di dalam dada, dan pikiran jadi tenang. Semua kegelisahan tentang menjalani hidup jadi terasa tak berarti.

Kalau begitu, mana yang lebih baik? Hidup dengan berperasaan atau tidak berperasaan? Maka untuk menyimpulkan aneka tanya di atas, saya lebih memilih untuk meminjam kesimpulan dari Andina Dwifatma yang mengatakan, mungkin punya perasaan itu salah satu survival skill kita dalam menjalani hidup. Dan merasa kehilangan orang yang kita cintai adalah risiko eksistensi kita di muka bumi ini. Risiko kesadaran. Toh hidup ini memang bukan pasarmalam, kan?

Makassar, 23 April 2014
=====================
*Tulisan ini terinspirasi dari Novel "Bukan Pasar Malam" karya Pramudya Ananta Toer.

Senin, 21 April 2014

Purnama di Pantai Losari

Purnama di Pantai Losari

Oleh Hamba Moehammad

20 Maret 2012 (Ketika hujan lebat mengguyur kota)

Tak kusangka aku mengenalmu di sini. Meski tak pernah bertemu langsung, keakraban kita terjalin via media sosial facebook ini. Meski awalnya aku malu, namun rasa penasaran membuatku memberanikan diri berkenalan denganmu.

"Assalamualaikum...!!!" Aku mencoba menulis kalimat pertama. Tak peduli akan mendapat tanggapanmu. Ah apa peduliku? Toh kita kan belum pernah bertemu.

"Wa alaikum salam" akhirnya kau membalasku. Mungkin saat itu kau menganggapku cowok iseng.


"Pakabar?"


"Baik"

"Salam kenal."


"Iye salam kenal juga"

Dan setelah itu perkenalan kita terputus, lebih tepatnya berakhir untuk sementara waktu. Mungkin beribu tanya berjibun di benak masing-masing kita malam itu. Entah penasaran lantaran kau dan aku secepat itu akrab. Dalam hati, aku berharap kita bisa berkenalan lebih jauh lagi di lain kesempatan.

*** *** ***

11 Juli 2012 (Awan berarak di langit kota  Daeng)

Siang yang terik. Bersama seorang teman, aku baru saja tiba di sekretariat Lembaga Pers Kampus. Tugas liputan. Di bawah pohon yang rindang, udara siang sedikit membuat perasaanku sedikit lebih tenang.

Sembari mengetik berita hasil liputan, saya mencoba browsing internet untuk mencari tambahan data liputan. Tidak lupa juga kubuka akun facebook-ku. Dan aku tiba-tiba mengingat sebuah nama. Purnama, yah Purnama Jelita. Nama yang entah mengapa menyita ingatanku. Nama seseorang yang seingatku beberapa minggu yang lalu sempat menjalin obrolan via Facebook. Penasaran, aku mengecek nama-nama yang aktif dalam obrolan. Dan Syukurlah nama yang hendak kucari, siang itu memang sedang aktif. Dan perkenalan lanjutan pun dimulai.

"Purnama?


"Iya"


"Salam kenal ndi"

Wah cilaka dua belas. Obrolan tiba-tiba berhenti. Lebih tepatnya terputus. Aku penasaran. Apakah jaringan yang putus-nyambung? Atau apakah ada kata-kata perkenalanku yang salah? Atau cewek yang kuajak ngobrol itu lagi tidak mempedulikan cowok malang di sini? Tapi aku tak putus asa. Kucoba lagi dengan prinsip, cewek itu memang susah dirayu. Butuh usaha ekstra untuk menaklukan cewek-cewek yang teguh.

"Hy," aku coba memulai.
"Hy juga" ternyata dia merespon
"Ikut demo tadi kak?"

Heran. Kok dia yang lebih berani yah. Hatiku bungah. Semangatku terpompa.

"Ikut, tapi untuk meliput." Aku mulai meladeni.
"Saya juga, tapi cuma numpang ikut dari belakang soalnya mau ke ramayana. Hehe"

Dia terkekeh. Itu tandanya, rambu lampu hijau (Boleh lanjut). Seakan ketiban durian runtuh, aku tak buang-buang waktu. Hasil liputan kuacuhkan. Dan perkenalan pun mengalir seperti aliran air terjun Bantimurung di musim hujan.

"Hehehe. Apa kita bikin sekarang ndi?"
"Mau masak" singkat saja dia menjawab.
"Coto Makassar, Sop Konro, atau?" Pertanyaanku menggantung. Sengaja memang.
"Ayam kecap pedas"
"Wow! Pedasnya sampai ke sini..."
"Hahaha. Ok saya masak dulu ya Kak.."
"Ok. Ditunggu."

Menanyakan aktifitasnya. Klise memang. Tapi apa pedulimu kawan?

Purnama. Aku membayangkan empunya nama ini adaalah seorang perempuan cantik dan tentu saja jagoan. Maksud saya, jagoan memasak. Menurutku, untuk ukuran jaman kita sekarang, amat sangat jarang ada perempuan muda apa lagi yang masih berstatus mahasisswa jago memasak. Seperti kebanyakan teman perempuan se-kampusku, mereka kebanyakan membeli makanan jadi.

*** *** ***
18 September 2013 (Bulan malu-malu mengintip dari balik awan)

Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu hubungan kami semakin akrab. Bukan mau sombong kawan. Tidak hanya berhubungan di dunia maya, kami melanjutkan hubungan di dunia nyata. Yah dunia nyata. Oh jodoh memang tak jauh-jauh larinya, kata orang. Apalagi jodoh yang beratnya sudah 100 Kg. Saya jadi tak lagi ragu mengimani pepatah klasik, "Tak lari gunung walau dikejar".

Entah malam minggu yang kesekian, aku mengajaknya jalan-jalan. Biasanya kalau ingin mengajaknya pesiar, aku menawarkan tempat lain, seperti di Benteng Somba Opu supaya bisa jalan-jalan menikmati senja di sekitar sungai Jene Berang, atau ke benteng Ujung Pandang (Fort Roterdam) atau ke Pelabuhan Paotere biar bisa melihat perahu-perahu phinisi yang ramai bersandar di waktu sore. Tapi selalu ditolaknya.

"Ke Pantai Losari saja," katanya kepadaku saat aku hendak mengajaknya pesiar.
"Kita kan sering kesana. Apa nda bosan ndi?" tanyaku menimpali.
"Tidak ada kata bosan untuk sebuah kenangan,"
"Kenangan saat pertama jumpa?" Aku pura pura bertanya. Padahal dalam hati kagum bercampur senang dengan kata-katanya barusan. Wah "KENANGAN". (Harus ditulis semua dengan huruf kapital kawan)

Dia hanya mengangguk dan memandangku lekat. Tentu saja satu paket dengan senyum manisnya itu. Dia menggamit lenganku, dan kami pun pergi bersama.

Apel malam minggu di Pantai Kenangan itu selalu spesial. (Penyematan nama Pantai Losari dengan Pantai Kenangan adalah kesepakatan kami berdua. Alasannya? Ah tentu kau sudah paham kawan. Jadi tak perlulah aku jelaskan lagi). Bersama menghabiskan malam minggu dengan makan pisang epe, rebutan jangung bakar, singgah di penjual pisang hijau langganan dan rupa-rupa kenangan bersama.

Tak pernah kubayangkan kawan. Jalinan cintaku berawal dari obrolan via Facebook. Dan sudah berjalan dua bulan. Tak terasa memang. Masa-masa berdua adalah masa-masa indah bagi setiap muda-mudi seperti kami.

Selanjutnya hubungan kami mengalir seperti air sungai Jene Berang. Kadang beriak gelisah bila ada hal yang susah disepakati bersama, tapi tenang dan damai kala ada hal yang disenangi bersama. Lebay? Mungkin saja. Tapi apa peduliku? Lagi pula dalam kamus cinta, mana kenal kata lebay?

*** *** ***
1 Oktober 2012 (Bulan Berganti)

Tengah malam aku terbangun. Kutengok jam dinding di kamar kostku. Sudah pukul 01.30 Wita. Karena seharian menyelesaikan tugas liputan dan kuliah, aku kelelahan dan tidur lebih awal. Aku terbangun karena bunyi telepon selulerku merengek sedari tadi. Kubaca pesan yang tertera, rupanya tujuh kali panggilan tak terjawab. Dan ini nomor baru. Mataku masih berat karena kantuk. Ketika hendak tidur kembali, telepon selulerku tiba-tiba meraung kembali. Kulihat sebentar, ah nomor yang sama dan aku langsung menyambutnya.

"Benar ini dengan Arjuna?" Belum sempat aku bertanya, suara lelaki di seberang sana justru lebih dahulu bertanya. Bahkan menyebut-nyebut pula namaku. Kucoba mengenal baik-baik suara di seberang sana itu. Siapa tahu itu salah satu temanku atau orang yang mungkin aku kenal yang sedang ada perlu. Namun tetap nihil. Suara itu sama sekali tak aku kenal.

"Iya benar. Ini aku, Arjuna. Maaf, ini dengan siapa?" 

"Saya Aldo. Kamu kenal dengan Purnama?" aku penasaran. Lebih tepatnya heran. Belum sempat kenalan, dia menyebut-nyebut nama Purnama. Apa-apaan ini.

"Purnama? Purnama yang mana?" Aku bertanya balik memastikan nama yang disebutnya. Bisa saja kan yang dia maksudkannya itu Purnama yang lain?

"Ah kau itu pura-pura bertanya lagi. Purnama Jelita yang kuliah di Kampus Hijau itu" Suaranya berat bernada tinggi. Sepertinya dia emosi. Tapi apa masalahnya?

"Ooh. Saya kenal. Memangnya kenapa?" Suara kutekan pelan. Berusaha menetralkan suasana yang sepertinya tiba-tiba terasa tegang.

"Kamu berpacaran dengan Purnama?" Suara di seberang balik bertanya. Lebih tepatnya menginterogasi.

"Iya. Saya pacarnya Purnama," Aku menjawap pertanyaannya apa adanya. Tak ingin suasana semakin memanas.

"Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Sudah berjalan sekitar satu semester."

"Ooo jadi begitu yah. Kamu tahu tidak, kalau Purnama itu sudah punya pacar?"

Entah kenapa, aku tiba-tiba memutuskan pembicaraan di telepon selulerku. Sejenak berpikir kalau-kalau yang meneleponku tadi itu pria iseng. Selain itu, mungkin aku belum siap dan bisa menerima kenyataan kalau benar Purnama memang punya pacar yang lain.

Belum habis kegusaraan yang menggelayut dalam pikiranku, tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulerku. Masih dari nomor yang sama.

"Asal kau tahu, saya ini pacarnya Purnama. Dia itu pacar saya. Kami sudah lama menjalin hubungan. Kalau kau tidak percaya, tanyakan langsung sama dia." demikian pesan singkat yang kubaca.

"Saya minta, kau tinggalkan dia sekarang juga," Tiba-tiba dia mengirim sms kedua. Senaknya saja memintaku meniggalkan Purnama. Tapi aku tak membalas sms itu. 

"Dasar orang reseh. Memangnya kamu itu siapa?" Gumamku dalam hati. Jengkel.

Dan aku melewati sisa malam dengan menerka-nerka siapa gerangan lelaki yang tiba-tiba menelepon dan mengirim sms memintaku meninggalkan Purnama. Apakah dia mantan pacar Purnama, atau pengagum rahasianya Purnama, atau memang orang iseng yang ingin mengganggu hubunganku dengan Purnama yang telah berjalan selama ini?

*** *** ***
18 Oktober (Di atas pembaringan malamku)

Akhir-akhir ini aku sibuk. Agenda kegiatan di kampus begitu padat. Selain mengurus kuliah, kegiatan di Lembaga Pers tempat aku belajar menjadi seorang Jurnalis juga begitu padat. Nyaris waktuku tersita. 

"Kok nda pernah lagi ada kabar??? Masih sibuk ya????" Dia bertanya via chattingan Facebook. Aku tahu kalau dia lagi marah. Ini terbukti dengan menuliskan tanda tanya sampai beberapa deret.

Aku baru sadar kalau ini malam minggu. Dan sudah beberapa minggu ini aku jarang bertemu. Seringkali dia meneleponku untuk mengajakku sekadar jalan-jalan. Mengirimkan sms untuk sekadar ketemuan. Aku hanya bisa menjelaskan bahwa aku belum punya waktu untuk bertemu, sekalian meminta pengertiannya. Entah kenapa, selain sibuk, aku juga merasa tidak ingin bertemu dengannya semenjak si Aldo meneleponku malam itu.

"Iya. Ini masih banyak pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau sudah selesai nanti kita bisa ketemu," Aku berusaha memberikan alasan supaya dia bisa mengerti.
"Ya sudah. Urus saja pekerjaanmu itu." Itu balasannya. Dan kulihat jejaknya menghilang dari obrolan. 

*** *** ***
18 Mei 2013 (Tepat di Hari Ulang Tahunku)

Entah dia yang salah, atau aku yang khilaf, hubungan kami belakangan ini berlaku surut. Apa lagi semenjak kuberi tahu kalau seseorang bernama Aldo pernah menelepon dan menanyakan hubungan kami. Aku berusaha selalu memintanya untuk menjelaskan baik-baik duduk persoalan itu.

"Aku hanya ingin yang terbaik dari hubungan kita. Itu saja. Entah kemudian kita tetap bersama atau harus berpisah." Aku pernah meneleponnya, dan mengatakan demikian. Meminta pengertiannya dan memberinya pahaman. Namun dia hanya diam. Paling banter dia menangis sesenggukan. Air mata buayakah? Entahlah kawan.

Belakangan dia sering menghindar bila aku punya waktu luang, dan ingin mengajaknya jalan-jalan ke pantai kenangan itu. Pantai di mana pertama kali aku bertemu dengannya. Ah entah mengapa, kenangan sewaktu bersamanya kembali mengusik.

Hingga suatu ketika aku bersama seorang temaan ditugaskan meliput suasana malam minggu di Pantai Losari. Sebagai icon Kota Anging Mammiri, pantai ini memang menjadi tempat vaforit muda mudi untuk menghabiskan malam minggu bersama pasangan.

Beberapa saat mengelilingi anjungan pantai, deretan gerobak para penjual pisang epe, juga penjual mainan yang ramai memadati Pantai Losari, aku jadi teringat kenangan bersama Purnama. Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke penjual pisang epe lengganan kami. Hitung-hitung aku bisa mengenang kebersamaan saat berdua. Sementara temanku sibuk mengambil gambar.

Belum sempat duduk dan memesan menu pisang epe kesukaanku, pandanganku tertumbuk pada dua sosok pasangan muda-mudi yang tengah duduk bermesraan sembari menikmati menu pisang epe. Aku berjalan mendekati keduanya. Salah seorang di antaranya sangat kukenali. Seorang cewek berambut panjang tergerai, mengenakan baju kemeja yang dibalut jaket biru langit dipadu celana jeans. Senyum dan tawanya itu sangat aku kenal. Senyum dan tawa yang kadang membuatku rindu. Sementara di sampingnya duduk seorang cowok yang sama sekali tidak aku kenal. Berambut cepak dengan kaus oblong hitam, dipadu celana jeans biru.

"Selamat malam Purnama! Sudah lama di sini?" Yang kutanya tampak kaget. Berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba, dengan melempar senyum. Senyum yang dipaksakan. Dia mungkin tak menyangka kalau aku mampir di gerobak penjual pisang epe lengganan kami.

"Eh Arrr.. Arjuna? Baru datang?" Suaranya tercekat. Bibirnya tampak bergetar tak karuan. Karena tak tega melihatnya wajah pucat dan kegelisa di samping cowok itu, aku buru-buru (lebih tepatnya berpura-pura) memperkenalkan diri kepada cowok di sampingnya itu. Belakangan baru kutahu cowok itu bernama Aldo. Nama yang tempo itu meneleponku malam-malam. Menanyakan hubunganku dengan Purnama, dan memintaku meninggalkannya. Aku seperti pria bodo yang merayakan kebahagiaan mereka malam minggu ini. Bukan main.

"Oh ini yang namanya Arjuna ya. Makasih atas pengertiannya. Berkenan merelakan kembali hubungan saya dengan Purnama," Aku kaget mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian hanya bisa tersenyum getir. Berusaha menahan perasaan agar tidak terjadi keributan malam itu. Ternyata ini alasannya menghindar dariku selama ini. Dia telah kembali kepada kekasih lamanya. Sementara kulihat dia hanya duduk mematung.

"Juna! Arjuna! Ayo pulang! Ada panggilan penting dari redaktur. Katanya ada keributan di kampus," tiba tiba Arif, fotografer yang menemaniku meliput malam itu menggamit lenganku dan memintaku segera pulang. Aku segera mohon pamit kepada keduanya dan meminta kepada penjual pisang epe untuk membungkus menu pesanan pisang epe-ku.

Aku dan arif melangkah menjauh dari gerobak penjual pisang epe langganan kami itu. Sebelum benar-be nar jauh dari gerobak penjual itu, aku membalik badan dan memandangnya dengan senyum. Itulah senyum terakhirku untuknya. Dia hanya mematung dikursinya dan balas memandangku dengan tatapan dingin, sedingin hawa angin laut Selat Makassar yang berembus malam itu. Dan entah kenapa seketika badanku menggigil. Dingin yang tak bisa kujelaskan, merasuk hingga ketulang-tulangku. (**)

Makassar, Oktober-November2013.

Surealisme Sepakbola Amerika Latin

Obituari Gabriel Garcia Marquez

Surealisme Sepakbola Amerika Latin 

Oleh Zen Rachmat Sugito - detikSport

Segala hal ajaib dan sukar dipercaya dalam karya Gabriel Garcia Marquez bukan berasal dari khayalan dan fantasi. Semua hal sureal itu, kata pemenang Nobel Sastra yang meninggal 17 April kemarin, berasal dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh subur di Amerika Latin.

Saya ingat Rene Higuita. 6 September 1995, Rene Higuita melahirkan salah satu momen paling sureal dalam sejarah sepakbola.

Pada laga persahabatan antara Kolombia vs tuan rumah Inggris, di Stadion Wembley, Jamie Redknapp mengirim tendangan keras dan tepat lurus menghunjam ke arah gawang Kolombia. Alih-alih menggunakan tangannya untuk menangkap, Higuita tiba-tiba melompat ke depan. Tubuhnya melayang di udara secara horizontal, bukan melayang ke atas secara vertikal. Tepat saat bola tendangan Jamie itu melayang di atas kepalanya, Higuita mengangkat kakinya ke atas, tubuhnya melengkung sedemikian rupa, dan kakinya itulah yang menghalau laju bola dengan tumitnya.

Tidak ada kiper lain yang berpikir untuk melakukan penyelamatan dengan cara sureal macam itu selain Higuita.

Aksi heroik Gordon Banks menyelamatkan gawang Inggris dari sundulan Pele di Piala Dunia 1970 sesungguhnya tak kalah menakjubkan. Ketakjuban pada aksi Banks lahir dari kemustahilan yang diubah menjadi mungkin: sundulan yang hampir semua orang berpikir itu akan jadi gol ternyata berhasil digagalkan. Banks berhasil mengatasi sebuah situasi yang sangat sulit dengan cara yang terlihat mudah. Itu aksi yang pastilah merupakan kombinasi banyak hal dalam bentuknya yang paling sempurna: refleks yang hebat, kewaspadaan yang tinggi, dan atletisisme fisikal yang prima.

Pada aksi Higuita, itu menjadi momen sureal karena dia melakukan hal yang sebaliknya dari yang dilakukan Banks.

Bola tendangan Redknapp memang keras dan sangat akurat mengarah ke gawang, tapi saking akuratnya, bola itu sebenarnya mengarah ke posisi berdiri Higuita. Dia tak perlu menerbangkan tubuhnya ke sudut atas gawang. Dia bahkan tak perlu menggeser tubuhnya untuk mengamankan bola tendangan Redknapp. Dia bisa langsung menangkapnya dengan tangan atau jika dirasa terlalu keras bisa saja meninjunya dengan kedua tangan. Selesai perkara. Aman.

Tapi, Higuita tidak memilih cara itu. Jika yang mudah bisa dibuat sulit, kenapa tak pakai cara yang sulit? Jika bisa membawa kita pada petualangan berbahaya, untuk apa menggunakan cara-cara yang aman? Jika hal luar biasa bisa dilakukan, untuk apa pakai cara-cara yang biasa?

Higuita pernah mengakui kesalahan saat menjadi penyebab gol Kamerun gara-gara nekat membawa bola jauh dari gawangnya. Simaklah cara Higuita mengungkapkan penyesalanannya: Itu sebuah kesalahan besar, kesalahan yang sebesar rumah.

Itu analogi yang rasanya absurd. Kesalahan sebesar rumah? Saya teringat neneknya Erendira, dalam cerpen Marquez berjudul "Innocent Erendira", yang digambarkan sangat gendut, sampai harus ditandu ke mana-mana. Saya bayangkan kesalahan Higuita itu tidak sebesar rumah, tapi sebesar ukuran badan neneknya Erendira yang super gendut.

Higuita, dalam cita rasa saya, rasanya cukup pantas untuk menjadi salah satu pemain bola yang layak menjadi keturunan Jose Arcadia Buendia, tokoh pertama dari trah Buendia yang menjadi pusat novel terbaik Marquez, "Seratus Tahun Kesunyian".

"Seratus Tahun Kesunyian" berkisah tentang trah Buendia yang tinggal di sebuah kota bernama Macondo. Masterpiece ini dengan brilian menggabungkan, mengacak, mengocok, memplesetkan, sekaligus mempermainkan fiksi dan fakta, mimpi dan kenyataan, mitos dan realitas, sejarah dan dongeng, khotbah dan igauan. Untuk semua kecakapannya mengacak-acak berbagai hal itu, Marquez dianggap sebagai penubuh terbesar genre kesusastraan yang disebut "realisme magis".

Dalam pidatonya di depan Komite Nobel pada 1982, Marquez mengisahkan berbagai kejadian faktual dalam sejarah Amerika Latin yang terlihat seperti fiksi. Salah satunya, kejadian di abad 19, ketika Jenderal Antonio Lopez de Santana, diktator Meksiko, menggelar pemakaman yang sangat megah dan dahsyat hanya untuk menguburkan kaki kanannya yang harus diamputasi.

Itulah kenapa, masih dalam pidato yang sama, El Gabo, demikian ia biasa dipanggil, merasa perlu untuk menjelaskan bahwa kisah-kisah atau karakter-karakter yang ditulisnya bukan hasil olahan imajinasi dan fantasi semata. Segala hal ajaib, sureal, aneh, dan sukar dipercaya yang dia tulis, katanya, semua berasal dari kenyataan-kenyataan yang dilihat, didengar, dan dirasakannya di Amerika Latin.

Sepakbola, kita tahu, adalah elemen penting dalam kebudayaan Amerika Latin. Dan seperti yang dikatakan Marquez, penulis berkebangsaan Kolombia, negeri yang gawang timnasnya pernah diselamatkan dan dihancurkan dengan aksi-aksi sureal Higuita, sepakbola Amerika Latin juga mengandung banyak elemen sureal yang sukar dipercaya.

Jika Marquez mengambil dongeng-dongeng neneknya untuk menyusun karya-karyanya, para pecinta sepakbola bisa menyimak dongeng-dongeng ajaib yang muncul dari lapangan hijau ala Amerika Latin.

Misalnya: Garrincha. Adakah pemain di dunia ini yang kemampuan dan libidonya dalam menggiring bola melebihi Garrincha? Fiksi atau fakta jika seorang pemain yang sepasang kakinya "rusak" (salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain, kaki satunya melengkung ke luar, kaki lainnya melengkung ke dalam) bisa mengobrak-abrik Piala Dunia 1958 dan 1962? Cuma Garrincha, orang Brazil yang setelah main bola akan pergi menemui teman-temannya untuk mabuk sampai pagi, yang bisa melakukannya.

Ketika Garrincha meninggal dalam kemiskinan yang mematikan, jenazahnya diarak dan diratapi puluhan ribu orang di Rio de Jeneiro yang merasa kalau mereka telah bergabung dalam tindakan sewenang-wenang membiarkan sang pahlawan mati dengan menyedihkan. Mobil dan orang yang mengantarkan jenazah Garrincha tak ubahnya sebuah parade, atau bahkan sebuah karnaval.

Saya pernah membaca laporan dan analisis prosesi pemakaman Garrincha yang disusun oleh antropolog Jose Sergio Leite Lopes. Membaca laporan berjudul "The People's Joy Vanishes", saya seperti sedang membaca prosesi pemakaman Dr. Juvenal Urbino dalam novel Marquez yang berjudul "Love in the Time of Cholera".

Garrincha adalah orang Brasil. Negeri dan bangsa mana selain Brasil yang selalu menghadapi kejadian di mana ada rakyatnya yang bunuh diri tiap kali timnasnya tersingkir dari Piala Dunia?

Bayangkan juga seorang pemain yang tak sengaja melakukan tindakan gol bunuh diri di atas lapangan hijau, akhirnya kemudian benar-bener terbunuh di kehidupan yang sebenarnya? Cuma Andres Escobar yang pernah mengalami betapa tipisnya batas antara pertunjukkan sepakbola dengan kehidupan yang sebenarnya. Di mana kejadiannya? Di Kolombia, tanah kelahiran Marquez, di Amerika Latin.

Atau simak kisah Moacir Barbosa, kiper Brasil yang gagal menjaga gawangnya dari pemain Uruguay pada final Piala Dunia 1950. Gara-gara itu, Moacir Barbosa dihukum oleh rakyat Brasil dengan dijauhi, diasingkan, dan dimusuhi sampai masa tuanya. Sejak itu, gawang Brasil tak pernah selamat dari kehancuran tiap kali memasuki Piala Dunia dengan seorang kulit hitam yang menjaga gawangnya. Mitos pun lahir: Brasil tak akan pernah juara jika kipernya bukan kulit putih.

Maka ketika Barbosa meninggal dalam keadaan menyedihkan sebagai kambing hitam, penghukumannya seperti sebuah kesakralan yang aneh: dari seorang kiper berubah menjadi kambing/domba hitam, scapegoat, yang dikorbankan dalam Hari Raya Grafirat seperti diwedarkan Kitab Perjanjian Lama.

Atau simak kejadian yang melibatkan pemain jenius Brasil lainnya, Rivellino. Pada Agustus 1974, pemain kidal yang menjadi idola Maradona ini (Maradona bilang: dia pemain kidal terhebat) pernah mencetak gol spektakuler saat tim yang diperkuatnya, Corinthians, mengalahkan America Rio Preto di Liga Brasil. Gol dicetak pada detik ketiga.

Rivellino melakukan tendangan jarak jauh saat dia melihat kiper lawan, namanya Pirangi, masih berlutut untuk berdoa. Ketika Pirangi selesai berdoa, dia kebingungan sendiri mencari bola yang tidak ada di lapangan. Dia tak sadar bola sudah mendarat di jala gawang yang dijaganya.

Esoknya, surat kabar lokal, Folha de Sao Paolo, melaporkan kejadian itu dengan kalimat bersayap yang rasanya cukup surealis dan menggemakan teknik menulis Marquez dalam mengacak dan mempermainkan batas antara fantasi dan kenyataan: "Banyak penonton yang kebingungan....Kiper butuh waktu lebih lama dari orang lain yang ada di stadion untuk tahu bahwa ia telah kebobolan."

Simak juga dua kisah yang saya baca dari buku "The Beautiful Game: A Journey Through Latin American Football" karya Chris Taylor. Dua kisah ini rasanya cocok untuk menjadi fragmen dalam sebuah novel:

Pada 1980, sekelompok gerilyawan berhasil merebut Kedutaan Republik Dominika di Bogota, ibukota Kolombia, tanah kelahiran Marquez. Mereka menggunakan taktik yang hanya bisa dipahami dalam kerangka surealisme Amerika Latin: mereka menyuruh anak-anak main bola, lalu bola ditendang ke dalam kedutaan, lantas mereka minta petugas keamanan kedutaan untuk mengambil bola, dan saat itulah, ketika pintu kedutaan dibuka oleh petugas keamanan, para gerilyawan menyerbu masuk.

Lalu simaklah bagaimana tentara Peru menghancurkan para gerilyawan Tupac Amaru yang menyandera orang-orang di rumah Duta Besar Jepang di Lima. Tentara Peru bisa membebaskan 71 orang yang disandera selama 126 hari dengan cara yang cocok dengan kerangka surealisme Amerika Latin: para gerilyawan itu selalu berkumpul untuk bermain bola setiap sore, dan saat itulah, saat para gerilyawan dimabuk keriangan bermain bola seperti anak-anak, tentara Peru menyerbu masuk dan membunuh mereka semua.

Tentu tak lengkap tanpa mengisahkan Maradona. Cuma orang Argentina ini yang dalam waktu kurang dari 10 menit, dalam pertandingan yang sama, sanggup mencetak dua gol dengan cara yang luar biasa kontrasnya: gol pertama dicetak dengan luar biasa culas lewat tangannya, gol kedua dicetak dengan cara yang luar biasa indah dengan melewati hampir setengah jumlah pemain lawan.

Ketika Maradona mengatakan bahwa bukan tangan dia yang mencetak gol, melainkan itu tangan Tuhan, maka lagi-lagi orang dari Amerika Latin yang dalam sekali pukul (melalui tindakan dan kata-kata sekaligus) mencampuradukkan batas antara kenyataan dengan khayalan, antara fakta dan fiksi, antara yang realis dengan yang magis.

Mestikah diherankan jika para pemuja Maradona sampai membuat gereja khusus untuknya? Sebagaimana umat Kristiani membagi sejarah ke dalam dua fase yaitu Before Christ/Sebelum (kelahiran) Masehi dan After Christ/Setelah (kelahiran) Masehi, umat gereja Maradona ini juga membagi waktu ke dalam dua periode berdasar tanggal kelahiran Maradona: Before Diego dan After Diego.

Gereja Maradona atau Iglessia Maradoniana ini didirikan di Rosario, Argentina. Mereka juga punya 10 Perintah, sebagaimana Perjanjian Lama mengajarkan "The Ten Commandment". Dan sebagaimana umat Kristiani punya "Doa Bapak Kami", mereka juga punya doa yang liriknya berbunyi:

Diego kami di lapangan/ dikuduskanlah tangan kirimu/ datanglah keajaibanmu./ jadilah gol-golmu dikenang di dunia ini seperti halnya di surga/ Berikanlah kami pada hari ini, keajaiban kami yang secukupnya/ Ampunilah kesalahan orang-orang Inggris/ sebagaimana kami mengampuni para mafia Napoli/ dan janganlah membawa dirimu ke dalam perangkap offside/ tetapi bebaskan dari kami dari Havelange dan Pele//

Inilah realisme-magis yang diejawantahkan bukan oleh para sastrawan Amerika Latin melalui novel, tapi oleh orang-orang Amerika Latin melalui dan dengan sepakbola.

RIP, Gabriel Garcia Marquez. Gracias. Muchas gracias!

===

* Penulis adalah editor Pandit Football Indonesia. Akun Twitter @zenrs