Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 24 April 2014

Penjajah itu bernama, rindu

Labala, telah menguning daun-daun diranting basah tepi pantai lukiono, dan pohon asam dekat rumah. Tapi mengapa tiap desah napas menjadi rindu?
Lewotanah, Bisakah kita bertemu untuk sekadar berbagi koda-kiri, seperti dulu kita begitu asyik seolah tak pernah berpisah?

Bala Lamaronga, ingin kubisikkan barang satu-dua kalimat sebagai pelipur lara, tapi bila kau tak berkenan, ke mana aku harus berpaling?

Maaf Dariku...

Kaulah masa kecilku

yang kukenal dengan rasa bersalah

:Teluk Labala dan laut sawu



Rabu, 23 April 2014

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Oleh Hamba Moehammad

Mengapa kita, manusia ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai pula mati?  Kenapa kita tidak sebagaimana yang dikatakan oleh kata Pramudya Ananta Toer," Ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati?."

Yah, mengapa kita mesti mati seorang diri, lahir pun seorang diri pula? Dan mengapa pula ketika kita mencintai seseorang, dan orang itu pun mencintai kita namun akhirnya kita mesti dipisahkan oleh kematian?

"Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam," kata Mas Pram dalam Novelnya, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007, hlm. 95). Di sana tidak ada kesendirian, kesunyian, dan kesepian.

Terkadang  saya merasa gamang.  Karena toh hidup ini, begitu kejam. Kita lahir sendiri, mati pun sendiri, tapi dalam hidup kau "dipaksa" bertemu begitu banyak orang. 

Dan karena Tuhan menganugerahi kita perasaan, maka kita menyayangi beberapa dari mereka: orangtua kita, saudara-saudara kita, , anak-anak kita, sahabat-sahabat kita, guru-guru kita, dan juga pasangan hidup, yang juga kita punya. 

Tapi apa boleh buat, kematian kemudian akan merenggut mereka. Satu per satu. Atau kematian merenggut kita dari hidup mereka. kalau begini,  lalu apa bedanya? Kesedihan selamanya menjadi  kesedihan yang sulit tertanggungkan.

Mungkin ada di antara kita yang bertnya, apa sebenarnya maunya hidup ini? Lebih senangkah kalau kita bisa hidup tanpa berperasaan, dan dengan demikian, kita tidak perlu bersedih hati kalau ditinggal mati orang yang kita cintai? 

Dan orang yang mencintai kita, juga tidak perlu bersedih ketika kita tinggalkan? Juga kita tak perlu mengatur perasaan dan  cukup berprinsip, "Bencilah sewajarnya dan cintai secukupnya," sebagaimana kata orang bijak?

Tapi, siapa  yang sanggup mencintai hanya secukupnya? Bukankah cinta selalu bergelora, dan kalau masih bisa dikendalikan berarti bukan cinta namanya?

Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, dan orang itu balas mencintai kita dengan sepenuh hati pula, rasanya hidup ini sudah lengkap. Ada rasa hangat di dalam dada, dan pikiran jadi tenang. Semua kegelisahan tentang menjalani hidup jadi terasa tak berarti.

Kalau begitu, mana yang lebih baik? Hidup dengan berperasaan atau tidak berperasaan? Maka untuk menyimpulkan aneka tanya di atas, saya lebih memilih untuk meminjam kesimpulan dari Andina Dwifatma yang mengatakan, mungkin punya perasaan itu salah satu survival skill kita dalam menjalani hidup. Dan merasa kehilangan orang yang kita cintai adalah risiko eksistensi kita di muka bumi ini. Risiko kesadaran. Toh hidup ini memang bukan pasarmalam, kan?

Makassar, 23 April 2014
=====================
*Tulisan ini terinspirasi dari Novel "Bukan Pasar Malam" karya Pramudya Ananta Toer.

Senin, 21 April 2014

Purnama di Pantai Losari

Purnama di Pantai Losari

Oleh Hamba Moehammad

20 Maret 2012 (Ketika hujan lebat mengguyur kota)

Tak kusangka aku mengenalmu di sini. Meski tak pernah bertemu langsung, keakraban kita terjalin via media sosial facebook ini. Meski awalnya aku malu, namun rasa penasaran membuatku memberanikan diri berkenalan denganmu.

"Assalamualaikum...!!!" Aku mencoba menulis kalimat pertama. Tak peduli akan mendapat tanggapanmu. Ah apa peduliku? Toh kita kan belum pernah bertemu.

"Wa alaikum salam" akhirnya kau membalasku. Mungkin saat itu kau menganggapku cowok iseng.


"Pakabar?"


"Baik"

"Salam kenal."


"Iye salam kenal juga"

Dan setelah itu perkenalan kita terputus, lebih tepatnya berakhir untuk sementara waktu. Mungkin beribu tanya berjibun di benak masing-masing kita malam itu. Entah penasaran lantaran kau dan aku secepat itu akrab. Dalam hati, aku berharap kita bisa berkenalan lebih jauh lagi di lain kesempatan.

*** *** ***

11 Juli 2012 (Awan berarak di langit kota  Daeng)

Siang yang terik. Bersama seorang teman, aku baru saja tiba di sekretariat Lembaga Pers Kampus. Tugas liputan. Di bawah pohon yang rindang, udara siang sedikit membuat perasaanku sedikit lebih tenang.

Sembari mengetik berita hasil liputan, saya mencoba browsing internet untuk mencari tambahan data liputan. Tidak lupa juga kubuka akun facebook-ku. Dan aku tiba-tiba mengingat sebuah nama. Purnama, yah Purnama Jelita. Nama yang entah mengapa menyita ingatanku. Nama seseorang yang seingatku beberapa minggu yang lalu sempat menjalin obrolan via Facebook. Penasaran, aku mengecek nama-nama yang aktif dalam obrolan. Dan Syukurlah nama yang hendak kucari, siang itu memang sedang aktif. Dan perkenalan lanjutan pun dimulai.

"Purnama?


"Iya"


"Salam kenal ndi"

Wah cilaka dua belas. Obrolan tiba-tiba berhenti. Lebih tepatnya terputus. Aku penasaran. Apakah jaringan yang putus-nyambung? Atau apakah ada kata-kata perkenalanku yang salah? Atau cewek yang kuajak ngobrol itu lagi tidak mempedulikan cowok malang di sini? Tapi aku tak putus asa. Kucoba lagi dengan prinsip, cewek itu memang susah dirayu. Butuh usaha ekstra untuk menaklukan cewek-cewek yang teguh.

"Hy," aku coba memulai.
"Hy juga" ternyata dia merespon
"Ikut demo tadi kak?"

Heran. Kok dia yang lebih berani yah. Hatiku bungah. Semangatku terpompa.

"Ikut, tapi untuk meliput." Aku mulai meladeni.
"Saya juga, tapi cuma numpang ikut dari belakang soalnya mau ke ramayana. Hehe"

Dia terkekeh. Itu tandanya, rambu lampu hijau (Boleh lanjut). Seakan ketiban durian runtuh, aku tak buang-buang waktu. Hasil liputan kuacuhkan. Dan perkenalan pun mengalir seperti aliran air terjun Bantimurung di musim hujan.

"Hehehe. Apa kita bikin sekarang ndi?"
"Mau masak" singkat saja dia menjawab.
"Coto Makassar, Sop Konro, atau?" Pertanyaanku menggantung. Sengaja memang.
"Ayam kecap pedas"
"Wow! Pedasnya sampai ke sini..."
"Hahaha. Ok saya masak dulu ya Kak.."
"Ok. Ditunggu."

Menanyakan aktifitasnya. Klise memang. Tapi apa pedulimu kawan?

Purnama. Aku membayangkan empunya nama ini adaalah seorang perempuan cantik dan tentu saja jagoan. Maksud saya, jagoan memasak. Menurutku, untuk ukuran jaman kita sekarang, amat sangat jarang ada perempuan muda apa lagi yang masih berstatus mahasisswa jago memasak. Seperti kebanyakan teman perempuan se-kampusku, mereka kebanyakan membeli makanan jadi.

*** *** ***
18 September 2013 (Bulan malu-malu mengintip dari balik awan)

Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu hubungan kami semakin akrab. Bukan mau sombong kawan. Tidak hanya berhubungan di dunia maya, kami melanjutkan hubungan di dunia nyata. Yah dunia nyata. Oh jodoh memang tak jauh-jauh larinya, kata orang. Apalagi jodoh yang beratnya sudah 100 Kg. Saya jadi tak lagi ragu mengimani pepatah klasik, "Tak lari gunung walau dikejar".

Entah malam minggu yang kesekian, aku mengajaknya jalan-jalan. Biasanya kalau ingin mengajaknya pesiar, aku menawarkan tempat lain, seperti di Benteng Somba Opu supaya bisa jalan-jalan menikmati senja di sekitar sungai Jene Berang, atau ke benteng Ujung Pandang (Fort Roterdam) atau ke Pelabuhan Paotere biar bisa melihat perahu-perahu phinisi yang ramai bersandar di waktu sore. Tapi selalu ditolaknya.

"Ke Pantai Losari saja," katanya kepadaku saat aku hendak mengajaknya pesiar.
"Kita kan sering kesana. Apa nda bosan ndi?" tanyaku menimpali.
"Tidak ada kata bosan untuk sebuah kenangan,"
"Kenangan saat pertama jumpa?" Aku pura pura bertanya. Padahal dalam hati kagum bercampur senang dengan kata-katanya barusan. Wah "KENANGAN". (Harus ditulis semua dengan huruf kapital kawan)

Dia hanya mengangguk dan memandangku lekat. Tentu saja satu paket dengan senyum manisnya itu. Dia menggamit lenganku, dan kami pun pergi bersama.

Apel malam minggu di Pantai Kenangan itu selalu spesial. (Penyematan nama Pantai Losari dengan Pantai Kenangan adalah kesepakatan kami berdua. Alasannya? Ah tentu kau sudah paham kawan. Jadi tak perlulah aku jelaskan lagi). Bersama menghabiskan malam minggu dengan makan pisang epe, rebutan jangung bakar, singgah di penjual pisang hijau langganan dan rupa-rupa kenangan bersama.

Tak pernah kubayangkan kawan. Jalinan cintaku berawal dari obrolan via Facebook. Dan sudah berjalan dua bulan. Tak terasa memang. Masa-masa berdua adalah masa-masa indah bagi setiap muda-mudi seperti kami.

Selanjutnya hubungan kami mengalir seperti air sungai Jene Berang. Kadang beriak gelisah bila ada hal yang susah disepakati bersama, tapi tenang dan damai kala ada hal yang disenangi bersama. Lebay? Mungkin saja. Tapi apa peduliku? Lagi pula dalam kamus cinta, mana kenal kata lebay?

*** *** ***
1 Oktober 2012 (Bulan Berganti)

Tengah malam aku terbangun. Kutengok jam dinding di kamar kostku. Sudah pukul 01.30 Wita. Karena seharian menyelesaikan tugas liputan dan kuliah, aku kelelahan dan tidur lebih awal. Aku terbangun karena bunyi telepon selulerku merengek sedari tadi. Kubaca pesan yang tertera, rupanya tujuh kali panggilan tak terjawab. Dan ini nomor baru. Mataku masih berat karena kantuk. Ketika hendak tidur kembali, telepon selulerku tiba-tiba meraung kembali. Kulihat sebentar, ah nomor yang sama dan aku langsung menyambutnya.

"Benar ini dengan Arjuna?" Belum sempat aku bertanya, suara lelaki di seberang sana justru lebih dahulu bertanya. Bahkan menyebut-nyebut pula namaku. Kucoba mengenal baik-baik suara di seberang sana itu. Siapa tahu itu salah satu temanku atau orang yang mungkin aku kenal yang sedang ada perlu. Namun tetap nihil. Suara itu sama sekali tak aku kenal.

"Iya benar. Ini aku, Arjuna. Maaf, ini dengan siapa?" 

"Saya Aldo. Kamu kenal dengan Purnama?" aku penasaran. Lebih tepatnya heran. Belum sempat kenalan, dia menyebut-nyebut nama Purnama. Apa-apaan ini.

"Purnama? Purnama yang mana?" Aku bertanya balik memastikan nama yang disebutnya. Bisa saja kan yang dia maksudkannya itu Purnama yang lain?

"Ah kau itu pura-pura bertanya lagi. Purnama Jelita yang kuliah di Kampus Hijau itu" Suaranya berat bernada tinggi. Sepertinya dia emosi. Tapi apa masalahnya?

"Ooh. Saya kenal. Memangnya kenapa?" Suara kutekan pelan. Berusaha menetralkan suasana yang sepertinya tiba-tiba terasa tegang.

"Kamu berpacaran dengan Purnama?" Suara di seberang balik bertanya. Lebih tepatnya menginterogasi.

"Iya. Saya pacarnya Purnama," Aku menjawap pertanyaannya apa adanya. Tak ingin suasana semakin memanas.

"Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Sudah berjalan sekitar satu semester."

"Ooo jadi begitu yah. Kamu tahu tidak, kalau Purnama itu sudah punya pacar?"

Entah kenapa, aku tiba-tiba memutuskan pembicaraan di telepon selulerku. Sejenak berpikir kalau-kalau yang meneleponku tadi itu pria iseng. Selain itu, mungkin aku belum siap dan bisa menerima kenyataan kalau benar Purnama memang punya pacar yang lain.

Belum habis kegusaraan yang menggelayut dalam pikiranku, tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulerku. Masih dari nomor yang sama.

"Asal kau tahu, saya ini pacarnya Purnama. Dia itu pacar saya. Kami sudah lama menjalin hubungan. Kalau kau tidak percaya, tanyakan langsung sama dia." demikian pesan singkat yang kubaca.

"Saya minta, kau tinggalkan dia sekarang juga," Tiba-tiba dia mengirim sms kedua. Senaknya saja memintaku meniggalkan Purnama. Tapi aku tak membalas sms itu. 

"Dasar orang reseh. Memangnya kamu itu siapa?" Gumamku dalam hati. Jengkel.

Dan aku melewati sisa malam dengan menerka-nerka siapa gerangan lelaki yang tiba-tiba menelepon dan mengirim sms memintaku meninggalkan Purnama. Apakah dia mantan pacar Purnama, atau pengagum rahasianya Purnama, atau memang orang iseng yang ingin mengganggu hubunganku dengan Purnama yang telah berjalan selama ini?

*** *** ***
18 Oktober (Di atas pembaringan malamku)

Akhir-akhir ini aku sibuk. Agenda kegiatan di kampus begitu padat. Selain mengurus kuliah, kegiatan di Lembaga Pers tempat aku belajar menjadi seorang Jurnalis juga begitu padat. Nyaris waktuku tersita. 

"Kok nda pernah lagi ada kabar??? Masih sibuk ya????" Dia bertanya via chattingan Facebook. Aku tahu kalau dia lagi marah. Ini terbukti dengan menuliskan tanda tanya sampai beberapa deret.

Aku baru sadar kalau ini malam minggu. Dan sudah beberapa minggu ini aku jarang bertemu. Seringkali dia meneleponku untuk mengajakku sekadar jalan-jalan. Mengirimkan sms untuk sekadar ketemuan. Aku hanya bisa menjelaskan bahwa aku belum punya waktu untuk bertemu, sekalian meminta pengertiannya. Entah kenapa, selain sibuk, aku juga merasa tidak ingin bertemu dengannya semenjak si Aldo meneleponku malam itu.

"Iya. Ini masih banyak pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau sudah selesai nanti kita bisa ketemu," Aku berusaha memberikan alasan supaya dia bisa mengerti.
"Ya sudah. Urus saja pekerjaanmu itu." Itu balasannya. Dan kulihat jejaknya menghilang dari obrolan. 

*** *** ***
18 Mei 2013 (Tepat di Hari Ulang Tahunku)

Entah dia yang salah, atau aku yang khilaf, hubungan kami belakangan ini berlaku surut. Apa lagi semenjak kuberi tahu kalau seseorang bernama Aldo pernah menelepon dan menanyakan hubungan kami. Aku berusaha selalu memintanya untuk menjelaskan baik-baik duduk persoalan itu.

"Aku hanya ingin yang terbaik dari hubungan kita. Itu saja. Entah kemudian kita tetap bersama atau harus berpisah." Aku pernah meneleponnya, dan mengatakan demikian. Meminta pengertiannya dan memberinya pahaman. Namun dia hanya diam. Paling banter dia menangis sesenggukan. Air mata buayakah? Entahlah kawan.

Belakangan dia sering menghindar bila aku punya waktu luang, dan ingin mengajaknya jalan-jalan ke pantai kenangan itu. Pantai di mana pertama kali aku bertemu dengannya. Ah entah mengapa, kenangan sewaktu bersamanya kembali mengusik.

Hingga suatu ketika aku bersama seorang temaan ditugaskan meliput suasana malam minggu di Pantai Losari. Sebagai icon Kota Anging Mammiri, pantai ini memang menjadi tempat vaforit muda mudi untuk menghabiskan malam minggu bersama pasangan.

Beberapa saat mengelilingi anjungan pantai, deretan gerobak para penjual pisang epe, juga penjual mainan yang ramai memadati Pantai Losari, aku jadi teringat kenangan bersama Purnama. Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke penjual pisang epe lengganan kami. Hitung-hitung aku bisa mengenang kebersamaan saat berdua. Sementara temanku sibuk mengambil gambar.

Belum sempat duduk dan memesan menu pisang epe kesukaanku, pandanganku tertumbuk pada dua sosok pasangan muda-mudi yang tengah duduk bermesraan sembari menikmati menu pisang epe. Aku berjalan mendekati keduanya. Salah seorang di antaranya sangat kukenali. Seorang cewek berambut panjang tergerai, mengenakan baju kemeja yang dibalut jaket biru langit dipadu celana jeans. Senyum dan tawanya itu sangat aku kenal. Senyum dan tawa yang kadang membuatku rindu. Sementara di sampingnya duduk seorang cowok yang sama sekali tidak aku kenal. Berambut cepak dengan kaus oblong hitam, dipadu celana jeans biru.

"Selamat malam Purnama! Sudah lama di sini?" Yang kutanya tampak kaget. Berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba, dengan melempar senyum. Senyum yang dipaksakan. Dia mungkin tak menyangka kalau aku mampir di gerobak penjual pisang epe lengganan kami.

"Eh Arrr.. Arjuna? Baru datang?" Suaranya tercekat. Bibirnya tampak bergetar tak karuan. Karena tak tega melihatnya wajah pucat dan kegelisa di samping cowok itu, aku buru-buru (lebih tepatnya berpura-pura) memperkenalkan diri kepada cowok di sampingnya itu. Belakangan baru kutahu cowok itu bernama Aldo. Nama yang tempo itu meneleponku malam-malam. Menanyakan hubunganku dengan Purnama, dan memintaku meninggalkannya. Aku seperti pria bodo yang merayakan kebahagiaan mereka malam minggu ini. Bukan main.

"Oh ini yang namanya Arjuna ya. Makasih atas pengertiannya. Berkenan merelakan kembali hubungan saya dengan Purnama," Aku kaget mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian hanya bisa tersenyum getir. Berusaha menahan perasaan agar tidak terjadi keributan malam itu. Ternyata ini alasannya menghindar dariku selama ini. Dia telah kembali kepada kekasih lamanya. Sementara kulihat dia hanya duduk mematung.

"Juna! Arjuna! Ayo pulang! Ada panggilan penting dari redaktur. Katanya ada keributan di kampus," tiba tiba Arif, fotografer yang menemaniku meliput malam itu menggamit lenganku dan memintaku segera pulang. Aku segera mohon pamit kepada keduanya dan meminta kepada penjual pisang epe untuk membungkus menu pesanan pisang epe-ku.

Aku dan arif melangkah menjauh dari gerobak penjual pisang epe langganan kami itu. Sebelum benar-be nar jauh dari gerobak penjual itu, aku membalik badan dan memandangnya dengan senyum. Itulah senyum terakhirku untuknya. Dia hanya mematung dikursinya dan balas memandangku dengan tatapan dingin, sedingin hawa angin laut Selat Makassar yang berembus malam itu. Dan entah kenapa seketika badanku menggigil. Dingin yang tak bisa kujelaskan, merasuk hingga ketulang-tulangku. (**)

Makassar, Oktober-November2013.

Surealisme Sepakbola Amerika Latin

Obituari Gabriel Garcia Marquez

Surealisme Sepakbola Amerika Latin 

Oleh Zen Rachmat Sugito - detikSport

Segala hal ajaib dan sukar dipercaya dalam karya Gabriel Garcia Marquez bukan berasal dari khayalan dan fantasi. Semua hal sureal itu, kata pemenang Nobel Sastra yang meninggal 17 April kemarin, berasal dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh subur di Amerika Latin.

Saya ingat Rene Higuita. 6 September 1995, Rene Higuita melahirkan salah satu momen paling sureal dalam sejarah sepakbola.

Pada laga persahabatan antara Kolombia vs tuan rumah Inggris, di Stadion Wembley, Jamie Redknapp mengirim tendangan keras dan tepat lurus menghunjam ke arah gawang Kolombia. Alih-alih menggunakan tangannya untuk menangkap, Higuita tiba-tiba melompat ke depan. Tubuhnya melayang di udara secara horizontal, bukan melayang ke atas secara vertikal. Tepat saat bola tendangan Jamie itu melayang di atas kepalanya, Higuita mengangkat kakinya ke atas, tubuhnya melengkung sedemikian rupa, dan kakinya itulah yang menghalau laju bola dengan tumitnya.

Tidak ada kiper lain yang berpikir untuk melakukan penyelamatan dengan cara sureal macam itu selain Higuita.

Aksi heroik Gordon Banks menyelamatkan gawang Inggris dari sundulan Pele di Piala Dunia 1970 sesungguhnya tak kalah menakjubkan. Ketakjuban pada aksi Banks lahir dari kemustahilan yang diubah menjadi mungkin: sundulan yang hampir semua orang berpikir itu akan jadi gol ternyata berhasil digagalkan. Banks berhasil mengatasi sebuah situasi yang sangat sulit dengan cara yang terlihat mudah. Itu aksi yang pastilah merupakan kombinasi banyak hal dalam bentuknya yang paling sempurna: refleks yang hebat, kewaspadaan yang tinggi, dan atletisisme fisikal yang prima.

Pada aksi Higuita, itu menjadi momen sureal karena dia melakukan hal yang sebaliknya dari yang dilakukan Banks.

Bola tendangan Redknapp memang keras dan sangat akurat mengarah ke gawang, tapi saking akuratnya, bola itu sebenarnya mengarah ke posisi berdiri Higuita. Dia tak perlu menerbangkan tubuhnya ke sudut atas gawang. Dia bahkan tak perlu menggeser tubuhnya untuk mengamankan bola tendangan Redknapp. Dia bisa langsung menangkapnya dengan tangan atau jika dirasa terlalu keras bisa saja meninjunya dengan kedua tangan. Selesai perkara. Aman.

Tapi, Higuita tidak memilih cara itu. Jika yang mudah bisa dibuat sulit, kenapa tak pakai cara yang sulit? Jika bisa membawa kita pada petualangan berbahaya, untuk apa menggunakan cara-cara yang aman? Jika hal luar biasa bisa dilakukan, untuk apa pakai cara-cara yang biasa?

Higuita pernah mengakui kesalahan saat menjadi penyebab gol Kamerun gara-gara nekat membawa bola jauh dari gawangnya. Simaklah cara Higuita mengungkapkan penyesalanannya: Itu sebuah kesalahan besar, kesalahan yang sebesar rumah.

Itu analogi yang rasanya absurd. Kesalahan sebesar rumah? Saya teringat neneknya Erendira, dalam cerpen Marquez berjudul "Innocent Erendira", yang digambarkan sangat gendut, sampai harus ditandu ke mana-mana. Saya bayangkan kesalahan Higuita itu tidak sebesar rumah, tapi sebesar ukuran badan neneknya Erendira yang super gendut.

Higuita, dalam cita rasa saya, rasanya cukup pantas untuk menjadi salah satu pemain bola yang layak menjadi keturunan Jose Arcadia Buendia, tokoh pertama dari trah Buendia yang menjadi pusat novel terbaik Marquez, "Seratus Tahun Kesunyian".

"Seratus Tahun Kesunyian" berkisah tentang trah Buendia yang tinggal di sebuah kota bernama Macondo. Masterpiece ini dengan brilian menggabungkan, mengacak, mengocok, memplesetkan, sekaligus mempermainkan fiksi dan fakta, mimpi dan kenyataan, mitos dan realitas, sejarah dan dongeng, khotbah dan igauan. Untuk semua kecakapannya mengacak-acak berbagai hal itu, Marquez dianggap sebagai penubuh terbesar genre kesusastraan yang disebut "realisme magis".

Dalam pidatonya di depan Komite Nobel pada 1982, Marquez mengisahkan berbagai kejadian faktual dalam sejarah Amerika Latin yang terlihat seperti fiksi. Salah satunya, kejadian di abad 19, ketika Jenderal Antonio Lopez de Santana, diktator Meksiko, menggelar pemakaman yang sangat megah dan dahsyat hanya untuk menguburkan kaki kanannya yang harus diamputasi.

Itulah kenapa, masih dalam pidato yang sama, El Gabo, demikian ia biasa dipanggil, merasa perlu untuk menjelaskan bahwa kisah-kisah atau karakter-karakter yang ditulisnya bukan hasil olahan imajinasi dan fantasi semata. Segala hal ajaib, sureal, aneh, dan sukar dipercaya yang dia tulis, katanya, semua berasal dari kenyataan-kenyataan yang dilihat, didengar, dan dirasakannya di Amerika Latin.

Sepakbola, kita tahu, adalah elemen penting dalam kebudayaan Amerika Latin. Dan seperti yang dikatakan Marquez, penulis berkebangsaan Kolombia, negeri yang gawang timnasnya pernah diselamatkan dan dihancurkan dengan aksi-aksi sureal Higuita, sepakbola Amerika Latin juga mengandung banyak elemen sureal yang sukar dipercaya.

Jika Marquez mengambil dongeng-dongeng neneknya untuk menyusun karya-karyanya, para pecinta sepakbola bisa menyimak dongeng-dongeng ajaib yang muncul dari lapangan hijau ala Amerika Latin.

Misalnya: Garrincha. Adakah pemain di dunia ini yang kemampuan dan libidonya dalam menggiring bola melebihi Garrincha? Fiksi atau fakta jika seorang pemain yang sepasang kakinya "rusak" (salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain, kaki satunya melengkung ke luar, kaki lainnya melengkung ke dalam) bisa mengobrak-abrik Piala Dunia 1958 dan 1962? Cuma Garrincha, orang Brazil yang setelah main bola akan pergi menemui teman-temannya untuk mabuk sampai pagi, yang bisa melakukannya.

Ketika Garrincha meninggal dalam kemiskinan yang mematikan, jenazahnya diarak dan diratapi puluhan ribu orang di Rio de Jeneiro yang merasa kalau mereka telah bergabung dalam tindakan sewenang-wenang membiarkan sang pahlawan mati dengan menyedihkan. Mobil dan orang yang mengantarkan jenazah Garrincha tak ubahnya sebuah parade, atau bahkan sebuah karnaval.

Saya pernah membaca laporan dan analisis prosesi pemakaman Garrincha yang disusun oleh antropolog Jose Sergio Leite Lopes. Membaca laporan berjudul "The People's Joy Vanishes", saya seperti sedang membaca prosesi pemakaman Dr. Juvenal Urbino dalam novel Marquez yang berjudul "Love in the Time of Cholera".

Garrincha adalah orang Brasil. Negeri dan bangsa mana selain Brasil yang selalu menghadapi kejadian di mana ada rakyatnya yang bunuh diri tiap kali timnasnya tersingkir dari Piala Dunia?

Bayangkan juga seorang pemain yang tak sengaja melakukan tindakan gol bunuh diri di atas lapangan hijau, akhirnya kemudian benar-bener terbunuh di kehidupan yang sebenarnya? Cuma Andres Escobar yang pernah mengalami betapa tipisnya batas antara pertunjukkan sepakbola dengan kehidupan yang sebenarnya. Di mana kejadiannya? Di Kolombia, tanah kelahiran Marquez, di Amerika Latin.

Atau simak kisah Moacir Barbosa, kiper Brasil yang gagal menjaga gawangnya dari pemain Uruguay pada final Piala Dunia 1950. Gara-gara itu, Moacir Barbosa dihukum oleh rakyat Brasil dengan dijauhi, diasingkan, dan dimusuhi sampai masa tuanya. Sejak itu, gawang Brasil tak pernah selamat dari kehancuran tiap kali memasuki Piala Dunia dengan seorang kulit hitam yang menjaga gawangnya. Mitos pun lahir: Brasil tak akan pernah juara jika kipernya bukan kulit putih.

Maka ketika Barbosa meninggal dalam keadaan menyedihkan sebagai kambing hitam, penghukumannya seperti sebuah kesakralan yang aneh: dari seorang kiper berubah menjadi kambing/domba hitam, scapegoat, yang dikorbankan dalam Hari Raya Grafirat seperti diwedarkan Kitab Perjanjian Lama.

Atau simak kejadian yang melibatkan pemain jenius Brasil lainnya, Rivellino. Pada Agustus 1974, pemain kidal yang menjadi idola Maradona ini (Maradona bilang: dia pemain kidal terhebat) pernah mencetak gol spektakuler saat tim yang diperkuatnya, Corinthians, mengalahkan America Rio Preto di Liga Brasil. Gol dicetak pada detik ketiga.

Rivellino melakukan tendangan jarak jauh saat dia melihat kiper lawan, namanya Pirangi, masih berlutut untuk berdoa. Ketika Pirangi selesai berdoa, dia kebingungan sendiri mencari bola yang tidak ada di lapangan. Dia tak sadar bola sudah mendarat di jala gawang yang dijaganya.

Esoknya, surat kabar lokal, Folha de Sao Paolo, melaporkan kejadian itu dengan kalimat bersayap yang rasanya cukup surealis dan menggemakan teknik menulis Marquez dalam mengacak dan mempermainkan batas antara fantasi dan kenyataan: "Banyak penonton yang kebingungan....Kiper butuh waktu lebih lama dari orang lain yang ada di stadion untuk tahu bahwa ia telah kebobolan."

Simak juga dua kisah yang saya baca dari buku "The Beautiful Game: A Journey Through Latin American Football" karya Chris Taylor. Dua kisah ini rasanya cocok untuk menjadi fragmen dalam sebuah novel:

Pada 1980, sekelompok gerilyawan berhasil merebut Kedutaan Republik Dominika di Bogota, ibukota Kolombia, tanah kelahiran Marquez. Mereka menggunakan taktik yang hanya bisa dipahami dalam kerangka surealisme Amerika Latin: mereka menyuruh anak-anak main bola, lalu bola ditendang ke dalam kedutaan, lantas mereka minta petugas keamanan kedutaan untuk mengambil bola, dan saat itulah, ketika pintu kedutaan dibuka oleh petugas keamanan, para gerilyawan menyerbu masuk.

Lalu simaklah bagaimana tentara Peru menghancurkan para gerilyawan Tupac Amaru yang menyandera orang-orang di rumah Duta Besar Jepang di Lima. Tentara Peru bisa membebaskan 71 orang yang disandera selama 126 hari dengan cara yang cocok dengan kerangka surealisme Amerika Latin: para gerilyawan itu selalu berkumpul untuk bermain bola setiap sore, dan saat itulah, saat para gerilyawan dimabuk keriangan bermain bola seperti anak-anak, tentara Peru menyerbu masuk dan membunuh mereka semua.

Tentu tak lengkap tanpa mengisahkan Maradona. Cuma orang Argentina ini yang dalam waktu kurang dari 10 menit, dalam pertandingan yang sama, sanggup mencetak dua gol dengan cara yang luar biasa kontrasnya: gol pertama dicetak dengan luar biasa culas lewat tangannya, gol kedua dicetak dengan cara yang luar biasa indah dengan melewati hampir setengah jumlah pemain lawan.

Ketika Maradona mengatakan bahwa bukan tangan dia yang mencetak gol, melainkan itu tangan Tuhan, maka lagi-lagi orang dari Amerika Latin yang dalam sekali pukul (melalui tindakan dan kata-kata sekaligus) mencampuradukkan batas antara kenyataan dengan khayalan, antara fakta dan fiksi, antara yang realis dengan yang magis.

Mestikah diherankan jika para pemuja Maradona sampai membuat gereja khusus untuknya? Sebagaimana umat Kristiani membagi sejarah ke dalam dua fase yaitu Before Christ/Sebelum (kelahiran) Masehi dan After Christ/Setelah (kelahiran) Masehi, umat gereja Maradona ini juga membagi waktu ke dalam dua periode berdasar tanggal kelahiran Maradona: Before Diego dan After Diego.

Gereja Maradona atau Iglessia Maradoniana ini didirikan di Rosario, Argentina. Mereka juga punya 10 Perintah, sebagaimana Perjanjian Lama mengajarkan "The Ten Commandment". Dan sebagaimana umat Kristiani punya "Doa Bapak Kami", mereka juga punya doa yang liriknya berbunyi:

Diego kami di lapangan/ dikuduskanlah tangan kirimu/ datanglah keajaibanmu./ jadilah gol-golmu dikenang di dunia ini seperti halnya di surga/ Berikanlah kami pada hari ini, keajaiban kami yang secukupnya/ Ampunilah kesalahan orang-orang Inggris/ sebagaimana kami mengampuni para mafia Napoli/ dan janganlah membawa dirimu ke dalam perangkap offside/ tetapi bebaskan dari kami dari Havelange dan Pele//

Inilah realisme-magis yang diejawantahkan bukan oleh para sastrawan Amerika Latin melalui novel, tapi oleh orang-orang Amerika Latin melalui dan dengan sepakbola.

RIP, Gabriel Garcia Marquez. Gracias. Muchas gracias!

===

* Penulis adalah editor Pandit Football Indonesia. Akun Twitter @zenrs