Puasa:
perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam,
alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan:
daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka
dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya
menerima yang "rohani". Sejak pukul 4 dinihari, masjid dan surau
penuh suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman,
menjalankan syariat...Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa
menolak gado-gado, soto, video porno.
Tapi
bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang
luput dilihat di sini. Justru di bulan Ramadhan, yang jasmani diam-diam
menyiapkan resistensi .
Mari
datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima.
Kita akan lihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadhan
telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreatifitas
menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai
60%. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur
mereka.
Ramadhan
agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi
istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30
hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal,
dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, menginginkan imbalan yang
memuaskan.
Di
atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa
sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si
korban yang dendam: mereka minta diperlakukan sebagai kelas tersendiri.
"Hormatilah orang yang berpuasa!", seru pengumuman di mana-mana.
Maksudnya: "jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk
batal".
Barangkali
berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan
godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Di bulan ini orang-orang yang
mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain:
ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari
kekuatan di luar diri mereka: Negara.
Maka
rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti
pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka.
Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah
keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment
kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap
tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut
mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di hari lebaran.
Dengan
kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan
saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia
berkorban untuk mereka.
Persoalannya
akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan
sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang
dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa
sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai
reduksi agresifitas menghadapi dunia - agresifitas yang meringkus dunia jadi
milik dan bagian dari sasaran konsumsi.
Dalam
puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan
sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia
terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk
ketamakan tiap orang.
Puasa
yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan
dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresifitas
tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang
perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti
itu, "aku", seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan,
"hilang bentuk, remuk".
Tak
berarti "hilang bentuk, remuk" itu menunjukkan wajah manusia yang
tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx
memang pernah menganggap, dalam agama, (sebagai bentuk alienasi),wujud manusia hilang:
"semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia
sisakan bagi dirinya sendiri....". Tapi di situ Marx salah. Di abad ini
yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke
Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang penuh dan perkasa . Dan
agresif.
Mungkin
itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin
berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar, kita tak pernah bisa utuh
sendiri: aku selalu bersama kekuranganku. Kita, roh yang juga daging, terbentuk
oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan lapar dan haus
adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut pada "yang-lain",
bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada pencernaan, arus darah, trauma dan
nostalgia kita. Juga pada cuaca, flora, fauna, benda-benda sekitar kita. Kita
ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan
Tuhan - sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku
bisa rasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dan aku
bisa damai menghilangkan ketamakan dan agresifitasku.
Di
situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat
tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadhan. Di situ, puasa tak
dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan,
lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh
yang lemah, tapi bukan untuk dikurung untuk diwaspadai.