Matahari, Bulan, dan Kau
Oleh Hamba Moehammad
Malam
yang dingin. Hanya suara ombak yang pecah gelisah di pinggir talut
pantai. Juga bising kendaraan di jalan kota yang sibuk. Sementara kita
hanya diam di atas coran beton talut Pantai Losari. Masing-masing kita
coba mereka kata yang pas untuk memulai pembicaraan. Hujan masih saja
gerimis, dan kita masih di sana.
"Kau tahu? Aku mencintai tiga
hal di dunia ini," aku coba memecah kesunyian. Kulihat kau terkejut. Dan
coba mencerna kata-kataku barusan.
"O ya? apa itu?" kau bertanya dengan suara gemetar dan wajah yang bersemu merah.
"Aku
mencintai Matahari, Bulan, dan Kau," kataku dengan suara mantap. Kali
ini lebih berani seperti tanpa beban. Belum habis rasa penasaranmu, aku
melanjutkan, "Matahari untuk siang, Bulan untuk malam, dan Kau untuk
selamanya."
Kau hanya tersenyum menatapku. Menurutmu,
sebagai lelaki pendiam, aku terlalu pandai merayu. Atau aku memang tipe
lelaki yang selalu menyenangkan orang lain, termasuk kau. Atau
jangan-jangan.... Ah untuk saa ini aku tak peduli seperti apa
penilaianmu. Aku hanya ingin melihat kau tersenyum. Menurutku, kau
wanita yang memiliki senyum paling manis. aku tak dusta. sungguh.
Tapi
itu dulu. Saat kita masih bersama. Waktu itu malam minggu. Kau masih
ingat kan? Pantai Losari adalah tempat vaforit kita. Di sana kita saling
bertukar kisah. Menceritakan apa saja yang ingin kita ceritakan.
Entah
mengapa, kita tiba-tiba saling bertanya: Akankah gerimis ini segera
berlalu dan memberi jedah untuk kita menyulam tangkai-tangkai
kebersamaan, merangkainya menjadi bebunga kerinduan?
Aku tak tahu.
Tapi itu tak masalah.
Sejenak kita saling bersitatap. Meletakkan pandangan dalam perasaan masing masing.
Hujan
masih saja merintik. Di seberang jalan, gemerlap lampu masih setia.
Ditambah lanskap kota: Gedung gedung yang menjulang, jejeran gerobak
para penjual pisang epe, lapak-lapak pedangang kaki lima yang remang,
penjaja buah-buahan, restoran dengan taburan lampu kelap-kelip,
pasangan muda-mudi berjalan lambat sambil bergandeng tangan,
bocah-bocah pengamen menenteng gitar menjajakan beberapa judul lagu
romantis kepada pasangan muda-mudi yang memadati anjungan pantai, juga
tukang parkir yang tengah sibuk menagih ongkos parkir.
Dan kau mulai bercerita soal bulan purnama itu. (yah bulan purnama yang kemudian merenggut kebahagiaan itu).
Bahwasannya
pada suatu malam minggu yang ceriah, kalian pernah duduk berdua di
halaman rumah di kampung. Zaky, suamimu yang katamu pria blasteran
Arab-Makassar. ( aku membayangkan bentuk wajah blasterannya itu.
Barangkali dia mirip Reza Rahadian, sang pemeran BJ Habibie dalam film
"Habibie & Ainun" ). Dan katamu kemudian, bulan purnama muncul dari
rerimbunan pohon akasia di depan rumah kalian.
Katamu,
Zaky terpesona melihatnya. Katanya, dia baru pertama kali melihat
bulan purnama. Apalagi bulan purnama yang indah seperti malam itu.
"Sayang, itu bulan purnama kan? Indah sekali rupanya. Aku baru pertama kali melihatnya."
"Iya, itu bulan purnama sayang. Memangnya kamu belum pernah melihat sebelum ini?"
"Belum sayang. Aku kan dari kecil tinggal di ibu kota. di sana siang dan malam sama sibuknya. Mana sempat merlihat bulan?"
Dan
kamu tahu? Zaky memandang dengan penuh takjub, tak henti-henti sehingga
seluruh sinar bulan menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang,
ternyata ia baru pertama kali melihat yang namanya bulan purnama. Dan
dia bertanya lagi, "Apa yang kamu rasakan bila bulan purnama seindah ini
sayang?" Aku sempat bingung dengan pertanyaannya. Dan kujawab saja,
aku merasa lebih tenang dan tentu saja bahagia, apa lagi bersama suami
sepertimu di sampingku. (Ah cerita kemesraan seperti ini yang paling
kubenci. Cerita yang tak sudi kusimak barang sepatah kata pun). Kami
diam. Untung ada penjual kue putu yang lewat di depan rumah. Kata Zaky,
ia suka kue putu. Kue kesukaan yang sering dibuat neneknya yang asli
makassar. Dan tak ada lagi pertanyaan Zaky yang kerap membuatku
kelabakan menjawabnya.
Permisi. Aku ingin minta ijin
padamu untuk turut bergembira, mengucapkan selamat atas kebahagiaan
kalian dan aku ingin mengatakan bahwa suamimu itu benar-benar lelaki
yang sungguh perhatian dan romantis tentunya. Dia memang pantas menjai
pendamping hidupmu.
(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian dan benci mengatakan pujian palsu ini).
Kuingat
semua ceritamu: Tentang seorang pengusaha muda ibu kota yang baik hati
dan tentu saja ganteng karena memiliki darah blasteran. Berlatar
belakang keluarga "Karaeng" dari garis keturunan ibu. Katamu, dia
masih punya hubungan keluarga denganmu.
Dia masih muda
dan punya daya pikat yang luar biasa. Apa lagi bagi perempuan yang
menginginkan pasangan hidup yang muda, sukses, dan tentu saja ganteng.
(Barangkali kriteria itu juga yang kau inginkan).
Aku
menambahkan, "Meski demikian, sebenarnya ia selalu merindukan cintanya
yang hilang. Menulis sajak yang drahasiakannya, dan menyusun surat
cinta yang tak pernah dikirimkan."
Kau tersenyum dengan mimik meledek.
"Lalu ia mencoba pulang, entah dengan alasan apa," katamu
(Ah kau ini memang paling bisa membuat kupingku panas)
Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakannya, aku menambahkan lagi.
kemuian
dia bertemu dengan cintanya yang membuat penderitaan itu. Dia telah
memiliki suami dan rajin bercerita tentang suaminya itu. Mulai dari awal
perkenalan dengan calon mertua, hari-hari bahagia pra dan
pascapernikahannya, sampai soal bulan purnama yang tiba-tiba muncul di
balik rerimbunan pohon akasia di depan rumahnya. Mereka berusaha berbagi
kebahagiaan seolah tak pernah terjadi apa-apa, tak pernah mengenal satu
sama lain, tak pernah menyentuh satu sama lain.
"Apakah pertemuan itu suatu kebetulan?" itu salah satu pertanyaanmu.
"Kebetulan?
Apakah itu kebetulan?" Jawabku sekenanya. "Apakah seperti koin undian
yang dihempaskan ke udara oleh wasit saat pertandingan sepak bola akan
dimulai, atau saat dimana kita seperti hantu jelangkung yang datang tak
diundang, pulang tanpa pamit?"
"Ironis. Barangkali
sudah tiada lagi tempat untukmu menyimpan segenap kenangan dengan
bait-bait puisi paling pilu. sepertinya dunia sudah sesak, sudah penuh."
"Dan
tahukah kau, nestapa apakah yang paling menyakitkan dari seorang wanita
sepertimu? Adalah dilupakan. Dari hati juga pikiran. Bahkan dihapus
dari kalimat cinta ter-absurd yang ditulis paling terakhir sekalipun."
Dan
kita bungkam. Masing-masing sibuk dengan tanya yang berkecamuk,
berseliweran seperti rintik hujan yang belum juga mau reda hingga saat
ini.
Dendam membara dalam tungku pembakaran salah seorang penjual pisang epe.
Aku
duduk menyandarkan punggung di tiang listrik malam ini. Masih di
tempat yang sama seperti saat kita bersama di pantai ini. Coba
menghirup angin laut selat makassar malam ini tanpamu.
Dan
kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya lampu kapal
yang datang dan pergi dari pelabuhan peti kemas Soekarno-Hatta Makassar
saling berpapasan. Sementara jalanan kota hingga larut ini masih
gaduh. Dan kita seperti melaju bersama rembesan air laut dalam
pori-pori talut beton Pantai Losari. Lagu-lagu cinta dinyanyikan
bocah-bocah pengamen semakin membuat pasangan muda mudi yang duduk
berjejer sepanjang anjungan pantai Losari, tenggelam dalam bahagia.
Bahagia yang bisa terbaca dari senyum mesra mereka. Dan kita pun hanya
bisa menahan tawa saat lirik lagu dari Naff seperti sengaja dilemparkan
oleh dua bocah pengamen kepada kita: "Seluruh cinta telah kudatangi,
hanya cintamu yang kupilih. Seluruh hati telah kuselami, hanya hatimu
yang kucari..."
Kita, pada hari yang telah jadi
lampau, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, waktu itu kau
bersandar di bahuku, dan kadang kau diam-diam mencuri kesempatan untuk
mencium pipiku dan mengatakan: "Senyummu terlalu manis untuk seorang
lelaki pendiam yang berlagak serius." (Ah tatapanmu itu memang selalu
menggoda).
Dan kita mengisi kebersamaan malam minggu
waktu itu dengan menebak apa-apa saja yang terjadi di antara pasangan
muda-mudi lain yang tengah berbahagia.
Seorang bocah
pengamen berambut pirang mendekat. Dengan gitar butut yang ditempeli
stiker bergambar seorang penyanyi Regge berambut gimbal mengenakan
kuplik di kepalanya. Dia menawarkan judul lagu yang barangkali
kuinginkan untuk dinyanyikannya. Dengan tersenyum aku meminta lagu dari
grup musik Ungu. Seakan menangkap kesepian diwajahku, dia pun
melantunkan sebuah lagu: "Tahukah apa yang kau lakukan itu, tahukah kau
siksa diriku..." Aku hanya bisa tersenyum menengar suaranya yang serak
itu. Tapi dengan penuh semangat ia tetap mempersembahkan lagu itu
untukku. Aku berusaha menikmati setiap syair dan tarikan melodi dari
gitar butut si bocah pengamen.
(ah Cinta memang
gila. Tapi hidup ini juga memang benar-benar gila. Dan kita yang
menjalaninya, berusaha menyesuaikan diri dengan cinta dan kehidupan
ini).
Lampu-lampu jalanan kota masih setia. Sementara malam semakin melela. Dan jam terus berjalan. (**)