Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 28 April 2012

Teknologi


'Tuhan' Baru Itu Bernama Teknologi*

Oleh: Muhammad Baran


Manusia kini hidup dengan ilmu pengetahuan. Dunia berubah dalam hitungan menit bahkan detik. Dengan seribu satu macam prangkat canggih yang dimiliki, ilmu pengetahuan menyihir. Tidak hanya pola berpikir, tapi pada titik tertentu membuat manusia menjadikannya sumber referensi yang sahih. Ilmu pengetahuan seakan menjadi "tuhan" baru bagi segelintir manusia yang pikiran dan pandangannya bebas. Bahkan sebahagian diantaranya berkeyakinan, agama bagi mereka hanyalah penghambat kreatifitas manusia untuk maju.

Dan Brown dalam novelnya Angel and Demon (Malaikat dan Iblis), mengungkapkan bahwa teknologi telah mengurangi nestapa akibat penyakit dan pekerjaan berat, yang mempersembahkan peralatan canggih dan untuk hiburan dan kenyamanan hidup manusia. Sayangnya, itu jutru membuat manusia hidup di dunia tanpa kekaguman. Makna matahari tenggelam misalnya,  telah direduksi menjadi panjang gelombang dan frekuensi. Kerumitan alam semesta telah dijabarkan sebagai persamaan matematika. Bahkan nilai pribadi manusia telah dirusak.

Di zaman ini teknologi didewakan. Dan tanpa sadar teknologi memisahkan manusia dari sesamanya.Jalinan komunikasi tidak dari hati ke hati, tapi secara digital. Maka jejaring sosial seperti facebook, twitter dan semacamnya menjadi sarana instan untuk menjalim komunikasi dan membangun relasi. Kenyataannya manusia tetap merasa kesepian dan sendirian. Kesinisan dan tuntutan akan bukti dianggap sebagai pikiran yang tercerahkan.

Tak bisa dinafikan, di balik gemerlapnya ilmu pengetahuan, manusia justru merasa lebih tertekan. Persaingan bisnis dan frustasi yang melelahkan. Berbagai terobosan dihasilkan teknologi untuk menguak aneka misteri alam raya, menyelidiki janin yang belum lahir, bahkan mengatur kembali DNA. Teknologi menjadikan alam raya yang diciptakan Tuhan ke dalam potongan yang lebih kecil dalam usaha mencari makna. Ujung dari pengembaraannya itu ketika menusia menganggap teknologi dan agama adalah dua dimensi yang berbeda.

Agama Ketinggalan Zaman?

Manusia semakin kehilangan kontrol. Ketika agama dianggap tak lagi relevan, mereka menemukan dirinya dalam kehampaan spiritual. Manusia berusaha keras menemukan arti dari aneka fenomena kehidupan.Kenyataannya ide-ide itu tidak sepenuhnya rasional. Itu hanyalah sekadar usaha keras jiwa-jiwa manusia modern yang kesepian, dan kebingungan oleh silaunya ilmu pengetahuan. Mereka tak mampu menerima arti dari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan teknologi.

Godaan ilmu pengetahuan memang terlalu kuat untuk ditolak manusia.Maka lihatlah disekeliling. Janji efisiensi dan kesederhanaan hanya menghasilkan polusi lingkungan dan kekacauan iklim. Tak sadar manusia  terpecah bela dan menjadi makhluk yang kebingungan, atau jangan-jangan manusia telah tergelincir ke arah kehancuran.

Masih Dalam novel Angel and Demon (Malaikat dan Iblis), Dan Brown mempertanyakan: Siapakah Tuhan yang bernama ilmu pengetahuan itu? Siapa tuhan yang menawarkan kekuatan kepada umatnya tetapi tidak memberikan batasan moral untuk mengatakan bagaimana menggunakan kekuatan itu ? Tuhan seperti apa yang memberi api kepada seorang anak tetapi tidak memperingatkannya akan bahaya yang ditimbulkannya? Bahasa ilmu pengetahuan datang tanpa petunjuk tentang baik dan buruk. Buku-buku ilmu pengetahuan mewartakan kepada kita bagaimana menciptakan reaksi nuklir, namun buku itu tidak berisi bab yang menanyakan apakah itu gagasan yang baik atau buruk?

Mereka  menciptakan senjata pemusnah massal tanpa menahan diri. Mereka  membuat kloning makhluk hidup tanpa mempertimbangkan implikasi moral dari tindakan itu. Mereka  mendorong orang-orang untuk saling berhubungan melalui telepon, layar video, dan computer, tetapi mengabaikan berhubungan secara pribadi untuk membangun persaudaraan. Mereka bahkan membunuh bayi yang belum lahir atas nama penelitian yang akan menyelamatkan kehidupan.

Beri kami bukti bahwa Tuhan ada, kata mereka. Agama mengatakan, gunakan teleskop kalian untuk melihat surga, dan jelaskan bagaimana mungkin tidak ada Tuhan!. Mereka  bertanya seperti apa Tuhan itu? Jawabannya hanya ada satu, dan akan selalu sama. Apakah mereka tidak melihat Tuhan didalam ilmu pengetahuannya? Bagaimana mungkin mereka tidak melihatnya! mereka berkata bahkan perubahan terkecil dari gaya tarik bumi atau berat sebuah atom sangat mempengaruhi alam raya, tetapi mereka gagal melihat campur tangan Tuhan dalam hal ini. Apakah spiritualitas kita benar-benar rusak sehingga kita lebih memercayai ketidakmungkinan matematis ketimbang sebuah kekuatan yang lebih agung dari pada kita semua?

Ketika manusia sebagai makhluk hidup meninggalkan kepercayaannya kepada kekuatan yang lebih besar dari padanya, maka manusia juga akan meninggalkan tanggung jawabnya. Dengan iman, manusia bertanggung jawab kepada sesamanya , kepada diri sendiri, dan kepada kebenaran yang lebih tinggi. Agama mungkin dianggap tidak sempurna, tetapi itu karena manusia yang tidak sempurna. Sekiranya  dunia di luar sana melihat agama dengan kacamata iman, lebih memahami ritual yang dijalankan, mereka akan melihat keajaiban moderen, sebuah persaudaraan dari ketaksempurnaan, jiwa-jiwa sederhana yang hanya ingin menjadi suara kasih sayang dari dunia yang berputar tak terkendali.(**)

*Tulisan ini disari dari Novel Angel and Demon, Karya Dan Brown

Jumat, 27 April 2012

impas


tak kubalas impas

Oleh : Muhammad Baran

kekasih, mengapa cintamu
tak mampu kubalas dengan impas
adakah hati ini tergadai cinta yang lain?

Aku tak ingin menjalani takdir sebagai pendurhaka
Tapi aku tak kuat menolak goda
Sungguh berpaling darimu adalah pilihan
Yang tak ingin kujalani

Nisan


Nisan*

Oleh : Muhammad Baran


Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertkhta

Yang paling dekat dengan kita adalah kematian-demikian kata sebagian orang. Saking dekatnya, sehingga kematian tak mungkin bisa dielakkan. Kematian yang kerap dianggap “momok” hingga kini tak ditemukan formula yang tepat untuk menghentikannya. Manusia mungkin hanya bisa menunda kedatangannya, namun tak kuasa menghentikannya manakala dia sudah berhasil memeluk dan merenggut.

Hingga tak sadar, ketika kematian datang dengan tiba-tiba, kita hanya bisa terhenyak. Secepat itu umur berlalu dan usia berkurang. Yang satu ini benar-benar kerap kita lalai dan lewat begitu saja, meski tahu dan yakin ia pasti datang. Tanpa risih, apa lagi risau. Meski kematian seakan menjadi hal biasa dan lumrah, tapi dia tetap menjadi momok, penuh misteri, selebihnya penuh dengan teka-teki.

Banyak peristiwa yang mencengangkan dalam hidup kita. Tapi barangkali tak ada peristiwa yang lebih mengguncang selain peristiwa kematian. Di sini ketika kematian tiba-sebagaimana dikatakan Chairil Anwar-kita hanya punya pilihan “Ridla menerima segala tiba.” Tak bisa tidak. Kita memang begitu tak berdaya. Dan sang nasib begitu dingin, tanpa belas kasih, perlahan menyeret kita menuju liang peristirahatan.

Tapi “Bukan kematian benar yang menusuk kalbu,” kata Chairil.  Kematian memang sesuatu yang pasti, dan harus dihadapi manusia, rela atau terpaksa. Karena kematian itu pasti, dia menjadi rutin . Kita kerap tak menyadarinya  sehingga dia  kurang dihayati lagi, bahkan tak dikenal secara pribadi.

Kematian menjadi sesuatu yang sepenuhnya abstrak, sampai dia secara pribadi langsung datang menyalami dan mendekati kita, atau kepada orang yang sangat dekat dengan kita.Di dini kematian-sebagaimana puisi Chairil Anwar di atas-membuat kita tak berdaya menghadapinya, dan sang maut bekerja tanpa mau kompromi dengan siapapun jua. “Tak kutahu, setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertakhta,” kata Chairil.

Jika kematian begitu perkasa, saat nama kita dipanggilnya, siapa yang sudi, bahkan sanggup menulong? Lalu apa guna segala usaha yang kita persembahkan dalam hidup ini. Apapula  arti harapan, apa arti cita-cita, apa arti keinginan kalau maut datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan?

Tak lain hidup hanyalah “pematang” yang menahan “ombak” dari “lautan maha dalam” yang memukul dentur selama” hingga akhirnya pematang tersebut “hancur remuk redam” ketika maut mememanggilnya. Sampai di sini, apakah ini suatu kesia-siaan belaka? Sebagai manusia, jawaban bijak yang bisa kita berikan adalah meminjam jawaban yang diajarkan kitab suci: “Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan segala dan semesta ini-termasuk kematian-hanya sia-sia. Maha suci engkau, maka sayangilah kami dari marah-Mu.” (**)

*Tulisan ini terinspirasi dari kumpulan puisi Chairil Anwar, penyair besar negeri ini di abad lalu.

Jumat, 13 April 2012

Apatah Jauh, Apatah Dekat


Apatah Jauh, Apatah Dekat

Oleh : Muhammad Baran

Tuanku, apatah jauh?
adalah masa lalu, itulah yang jauh
Sebab tak lain, yang lalu semata kenangan dan nostalgia

Tuanku, apatah dekat?
adalah maut, itulah yang dekat.
Sebab tak bukan, yang maut tiba-tiba mendekat dan merenggut

penuh makna memang hidup
kala berhias nostalgia,
penuh misteri memang hidup
kala ada yang tiba-tiba merenggut.

Setiap Kata adalah "Mantra"


Setiap Kata adalah "Mantra"

Oleh : Muhammad Baran


Tiap kata adalah puisi-demikian kata sebagian orang. Mungkin ada benarnya bila ditilik dari sudut pandang sastra. Dalam sastra-terutama prosa dan puisi-seorang penulis merangkai kata dengan pendekatan metafora. Artinya, tiap kata adalah multi tafsir, dengan demikian dia bebas untuk dimaknai-tentu saja sesuai pengetahuan dan kemampuan masing-masing.

Dengan mempersespsikan kata sebagai puisi, seorang penulis mencoba menyajikan pemikirannya kepada sidang pembaca dengan kata. Selanjutnya pembaca mencoba member tafsir atas kata itu. Di sini tak ada pengertian-yaitu kata-yang benar-benar final. Semuanya bisa diperdebatkan. Hingga pada titik tertentu. magis makna kata bahkan bisa melampaui usia penutur atau penulisnya, selama dijadikan bahan rujukan untuk diperdebatkan.

Kata bahkan kadang juga menjadi senjata untuk meyakinkan, menarik perhatian, dan simpati. Bahkan kata bagi seorang pemuda atau pemudi misalnya,menjadi senjata untuk meyakinkan kekasih akan ketulusan cintanya. Kata juga bisa diramu sedemikian rupa ketika musim kampanye politik tiba guna menyihir simpati dan perhatian konstituen dengan janji-janji. Bahkan kata juga digunakan seorang hamba untuk memohon dan mengikat janji dengan Tuhannya.

Kita pun mahfum,  manakala kata menemukan penuturnya atau penulisnya yang tepat, maka dia mampu mempengaruhi, tak hanya perilaku tapi juga paradigma pikir. Kata bahkan mampu merasuk ke dalam rasa batim terdalam kita. Para pembawa agama terkemika (para Nabi) misalnya, dengan bijak menjadikan kata-kata (firman) Ilahiah sebagai sarana mengajak manusia ke jalan Tuhannya.

Sampai di sini,  bagi saya-dengan melihat keampuhan dan daya magisnya-setiap kata bukan hanya puisi. Tapi lebih dari itu. Kata –baik yang terucap maupun yang tertulis-juga adalah mantra yang sakti mandraguna. Selalu punya daya ubah. Terserah, mengubah menjadi baik, atau malah sebaliknya. Kata bahkan memiliki daya hipnotis yang membuat seseorang bisa merasakan ekstase tertinggi dalam semangat spiritual.

Kata bahkan ketika diulang-ulang mengucapkannya dengan penuh penghayatan dan keyakinan, mampu membawa ketenangan dan semangat hidup yang terus menyala. Kata-kata yang sering diulang, dalam istilah agama dikenal dengan zikir (tepekur) untuk berkontemplasi. Bahkan dalam keseharian, kita kerap mendengar pekikkan kata atau jargon yang mampu membakar semangat juang.

Sampai di sini, ketika setiap kata adalah mantra, maka yang kita butuh adalah kedewasaan menerima kata, mengolah dan mencernanya dengan masak dan bijak. Karena setiap kata yang terucap maupun yang tertulis bisa membuat kita tercerahkan, atau malah sebaliknya menyesatkan. Sekali lagi, bagi saya setiap kata adalah mantra.

Sebagai contoh-dan mungkin bukti-bahwa setiap kata adalah mantra, berikut ini saya sertakan sebuah puisi Chairil Anwar, penyair besar tanah air di abad lalu itu. Hal yang sama juga bisa kita rasakan ketika membaca tiap kata dalam Kitab Suci misalnya, yang tak hanya diimani sebagai petunjuk ke jalan-Nya, tapi juga menjadi penawar (obat) hati.

DO'A

kepada pemeluk teguh

Oleh : Chairil Anwar

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943
.(**)

Senin, 09 April 2012

Bukan dengan Kun Fayakun

Bukan dengan Kun Fayakun

Oleh Muhammad Baran

Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Tapi diperlukan hanya beberapa detik untuk mati. Demikian kata-kata Jostein Garder dalam salah satu novel filsafatnya, Maya-Misteri Dunia dan Cunta.

Tuhan tak menciptakan sesuatu hanya dengan mengatakan kun fayakun. Semesta yang terhampar  yang begitu luas dengan miliaran galaksi dan diisi miliaran tata surya. Bahkan bumi yang merupakan setitik debu dari hamparan kosmik ciptaann-Nya ini terlalu rumit kalau tercipta hanya dengan kalimat kun fayakuun.

Kalau sekiranya Tuhan mencipta hanya dengan menggumam mantra “sakti” ini, lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari proses penciptaan yang maha rumit lagi dahsyat ini? Jawabannya adalah “tiada” dan memang tak akan ada. Kita tahu, selain  semesta yang penuh misteri, manusia adalah salah satu hasil cipta karya Tuhan yang kompleks. Manusia tercipta juga tidak dengan kun fayakun. Proses penciptaannya paling tidak butuh waktu sembilan bulan sepuluh hari.

Tuhan menciptakan manusia menjadi makhluk. Dilengkapi dengan perangkat canggih. Tapi apa yang bisa terkuak dari proses penciptaan manusia? Hanya sebagian kecil. Bahkan manusia hingga kini masih menjadi makhluk yang misteri. Makluk yang belum sepenuhnya dikenal secara utuh. Lalu bagaimana dengan semesta yang lebih rumit?

Tuhan bukanlah tukang sulap yang mengubah kertas tisu  menjadi merpati dalam sekedip mata, dengan hanya memukulkan tongkat ajaibnya sembari merapalkan mantra simsalabim abdakadabra. Bukan, sama sekali bukan. Tukang sulap tak pernah mengajak penontonnya memahami fenomena “ajaib” dalam adegan sulapnya. Bahkan tak ada pelajaran yang bisa dipetik dari mekanisme tipuan itu.

 Tuhan tak menipu. Dia menjabarkan rahasia-Nya (kita mengatakan rahasia karena kita belum mampu menguaknya) dengan meninggalkan aneka kata tanya di benak kita. Kita disuruh  untuk berusaha menguak dan  menemukan misteri dari setiap jengkal ciptaan-Nya.

Dengan sepenuh-penuh kebesaran dan keagungan-Nya, Dia mencipta semesta dengan  sistem yang rumit dan mungkin saja melalui proses panjang yang belum mampu dicerna oleh logika sehat manusia. Yang bisa kita lakukan adalah terus berusaha mengasah kemampuan logika untuk menemukan setitik cahaya pengetahuan yang bisa dijadikan penerang di tengah remang lorong kegamangan kita.

Tapi Tuhan-meski belum mampu terjangkau indra dan segenap kelengkapan teknologi kita- dengan segenap wewenang keilahian-Nya, tak menjadikan diri-Nya terhijab oleh petak-petak status dan batas-batas strata. Dia tak mengenal kelas sosial. Tuhan adalah Rabb (guru). Dia menghadirkan dirinya dalam setiap realitas untuk mengajak serta manusia merasakan lebih intim akan kehadiran-Nya. Dalam setiap detik  jam waktu, juga detak jantung kehidupan, kita dilibatkan-Nya.  Tuhan sesungguhnya merealitas dalam setiap jengkal semesta. Entah semungil atom, proton, neutron dan yang lebih mungil dari itu, atau sebesar matahari, bintang, galaksi dan yang lebih besar dari itu. Dia mengajak kita membaca tanda dalam setiap langkah. Bukankah Dia sudah mengatakan,”Sungguh kami ciptakan langit-bumi, menggilir siang-malam sebagai tanda bagi mereka yang berakal (untuk berpikir)?.”

Alam raya yang mengagumkan ini, manusia yang penuh misteri ini, dan juga segenap maha karya yang terhampar, adalah dalil sahi akan eksistensi-Nya. Ruang yang sempit, waktu yang singkat, dan materi yang fana tak mampu untuk benar-benar  bisa memahami mekanisme kerja-Nya. Kita butuh dunia lain untuk memahaminya. Tapi dunia yang seperti apa?Logika kita yang terbatas fungsi ini tak cukup daya. Ia hanya salah satu (kalau enggan mengatakan satu-satunya) alat bantu yang sepanjang ini bisa digunakan. Sayangnya logika tak bisa dipisahkan dari kontaminasi ruang yang sempit, waktu yang sesaat, dan materi yang fana itu. Bahkan logika tercipta dari impuls-impuls ruang, waktu dan materi itu sendiri. Lalu bangaimana ia bisa melukiskan Tuhan yang berada di luar jangkauan ruang, waktu dan materi yang-sekali lagi-sempit, sesaat, dan fana ini?

Kita butuh sesuatu di luar itu. Kita butuh sesuatu yang spiritual.Sesuatu yang jauh dari jangkauan ruang, waktu, dan materi untuk mampu menangkap dan mengungkap misteri yang menggelitik ini. Tapi dimanakah itu? Saya tak punya cukup ilmu untuk menjawabnya. Tapi jangan berhenti sampai d situ. Mari sama kita mencari-Nya!.(**)