Nisan*
Oleh
: Muhammad Baran
Bukan
kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu
menerima segala tiba
Tak
kutahu setinggi itu atas debu
Dan
duka maha tuan bertkhta
Yang paling dekat dengan kita adalah kematian-demikian
kata sebagian orang. Saking dekatnya, sehingga kematian tak mungkin bisa
dielakkan. Kematian yang kerap dianggap “momok” hingga kini tak ditemukan
formula yang tepat untuk menghentikannya. Manusia mungkin hanya bisa menunda
kedatangannya, namun tak kuasa menghentikannya manakala dia sudah berhasil
memeluk dan merenggut.
Hingga tak sadar, ketika kematian datang dengan
tiba-tiba, kita hanya bisa terhenyak. Secepat itu umur berlalu dan usia
berkurang. Yang satu ini benar-benar kerap kita lalai dan lewat begitu saja,
meski tahu dan yakin ia pasti datang. Tanpa risih, apa lagi risau. Meski kematian
seakan menjadi hal biasa dan lumrah, tapi dia tetap menjadi momok, penuh
misteri, selebihnya penuh dengan teka-teki.
Banyak peristiwa yang mencengangkan dalam hidup
kita. Tapi barangkali tak ada peristiwa yang lebih mengguncang selain peristiwa
kematian. Di sini ketika kematian tiba-sebagaimana dikatakan Chairil Anwar-kita
hanya punya pilihan “Ridla menerima segala tiba.” Tak bisa tidak. Kita memang
begitu tak berdaya. Dan sang nasib begitu dingin, tanpa belas kasih, perlahan
menyeret kita menuju liang peristirahatan.
Tapi “Bukan kematian benar yang menusuk kalbu,” kata
Chairil. Kematian memang sesuatu yang
pasti, dan harus dihadapi manusia, rela atau terpaksa. Karena kematian itu
pasti, dia menjadi rutin . Kita kerap tak menyadarinya sehingga dia
kurang dihayati lagi, bahkan tak dikenal secara pribadi.
Kematian menjadi sesuatu yang sepenuhnya abstrak,
sampai dia secara pribadi langsung datang menyalami dan mendekati kita, atau
kepada orang yang sangat dekat dengan kita.Di dini kematian-sebagaimana puisi
Chairil Anwar di atas-membuat kita tak berdaya menghadapinya, dan sang maut
bekerja tanpa mau kompromi dengan siapapun jua. “Tak kutahu, setinggi itu atas
debu, dan duka maha tuan bertakhta,” kata Chairil.
Jika kematian begitu perkasa, saat nama kita
dipanggilnya, siapa yang sudi, bahkan sanggup menulong? Lalu apa guna segala
usaha yang kita persembahkan dalam hidup ini. Apapula arti harapan, apa arti cita-cita, apa arti
keinginan kalau maut datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan?
Tak lain hidup hanyalah “pematang” yang menahan
“ombak” dari “lautan maha dalam” yang memukul dentur selama” hingga akhirnya
pematang tersebut “hancur remuk redam” ketika maut mememanggilnya. Sampai di
sini, apakah ini suatu kesia-siaan belaka? Sebagai manusia, jawaban bijak yang
bisa kita berikan adalah meminjam jawaban yang diajarkan kitab suci: “Tuhan
kami, tidaklah Engkau ciptakan segala dan semesta ini-termasuk kematian-hanya
sia-sia. Maha suci engkau, maka sayangilah kami dari marah-Mu.” (**)
*Tulisan
ini terinspirasi dari kumpulan puisi Chairil Anwar, penyair besar negeri ini di
abad lalu.
0 komentar:
Posting Komentar