Mari
Merenung Sejenak
Kiata adalah Duta Tuhan
Oleh : Muhammad Baran
Tuhan kekasihku tak mengajari apa
pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya….
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya….
Saya
teringat dengan hikayat Zu al- Nun , seorang sufi kenamaan dari persia. Suatu hari berlayarlah Zu al-Nun dengan serombongan muridnya dengan sebuah kapal di sungai Nil. Tak lama sebuah
perahu mendekat, dipenuhi dengan orang-orang yang sedang
berpesta dan mabuk-mabukan. Perbuatan
mereka membuat risih murid murid Sang Sufi.
Mereka meminta Zu al-Nun
untuk berdo’a kepada Tuhan agar kapal penuh maksiat itu ditenggelamkan saja. Zu-al Nun pun menyetujui permintaan murid-murudnya dengan menadahkan
tangan seraya berdo’a: “Ya Tuhan, karena Engkau
memberi orang-orang ini kesenangan
hidup di dunia ini, maka berikan juga
mereka kesenamgan hidup di
akhirat kelak,” Murid murid itu seketika
terkejut mendengar doa guru agung mereka. Mestinya
doa kutukan yang diserukan, tapi malahan
do’a keselamatan. Suasana
hati murid murid sang sufi bercampur
aduk atas apa yang baru saja
dilakukan guru agung mereka.
Ketika
kapal tersebut semakin dekat dan para pemabuk dan tukang maksiat itu melihat Zul al-Nun, tiba tiba saja
mereka menangis dan merintihkan
penyesalan atas kekhilafannya, dan membuang barang barang hasil rampasannya dan
bertaubat kepada Allah. Zul al-Nun
menengok kepada murid muridnya yang belum sepenuhnya bisa menghapus kebingungannya dan berkata:
“Kehidupan yang nikmat di akhirat kelak
adalah pertaubatan di dunia ini. Kalian dan mereka semuanya puas dengan tanpa menyakiti siapa pun”
Demikian sang sufi berbuat dengan landasan belas kasih yang amat mendalam kepada sesama, mengikuti teladan Nabi yang meskipun mendapat perlakuan
buruk dari orang-orang Qurais, beliau tak pernah berhenti untuk mengatakan: “Ya Tuhan berilah petunjuk
kepada kaumku. Mereka memperlakukanku seperti ini hanya disebabkan karena
mereka belum tahu.”
Sungguh
luar biasa kearifan Zu al-Nun. Kita yang kerap mengaku sebagai orang yang beriman
mestinya berusaha sekuat-kuatnya agar bisa berbuat arif sepertinya. Kearifan
yang tidak hanya didasarkan atas rasa takwa kepada Tuhan, tapi juga berusaha
membumikan pesan suci Ilahi dengan
menebar benih kasih sayang agar menjadi rahamat
semesta alam. Manusialah yang
mengemban amanat suci sebagai duta besar (khaifah) Tuhan di
muka bumi ini.
Sebagai
Duta Besar , manusia
sejatinya menjadikan para Nabi dan
orang-orang saleh sebagai suri teladan yang agung di
tengah pemahaman keagamaan segelintir kita yang cenderung terdegradasi. Dimana
agama terkadang hanya
dijadika alat bedah untuk melegitimasi malpraktik klaim kebenaran ekslusif segelintir umat. Kebenaran kini dianggap menjadi hak preoregatif agama
tertentu dan memandang agama lain hanyalah sekte sempalan yang tidak hanya
sesat, tapi juga-katanya-menyesatkan. Sebuah ironi di tengah upaya menumbuhkan
rasa saling percaya dan menghargai perbedaan. Sikap
arogan inilah yang kerap menjadikan
wajah agama yang teduh dengan
kedamaian berlumur noda.
Agaknya
sebagai aktor dalam drama kehidupan ini,
kita mesti kembali memperbaiki akting
keberagamaan kita yang terlanjur terpuruk citranya di mata pemirsa-yang
mungkin semakin muak dengan adegan kekerasan yang selama ini ditontonnya. Dampak dari arogansi
dan pengklaiman kebenaran -apalagi dilakukan dengan cara intoleran-
menjadikan kehidupan damai yang dicita
citakan semakin jauh dari kenyataan.
Kerukunan antar umat beragama kini berada pada titik yang teramat nadir. Tidak
hanya skala nasional tapi juga skala internasional.
Manusia
sebagai hamba Tuhan, sejatinya memahami bahwa eksistensi keberadaan mereka adalah hanya berbakti kepada- Nya, termasuk menjalin
ukhuwa dalam menciptakan kebersamaan demi sepotong kedamaian yang terancam
punah itu. Satu hal yang perlu dicatat
adalah sebuah ungkapan bijak yang mengatakan: “Jangan pernah kamu merasa
diri yang paling benar dan suci, karena
Tuhan maha tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sebagai
bahan refleksi atas sepak terjang kehidupan kita di dunia ini, saya mengajak
pembaca untuk sejenak merenungi, sudah
sejauh mana sikap tulus menerima perbedaan bermasyarakat di tengah gelombang
ujian yang kerap menerpa masyarakat bangsa ini? Bangsa yang dikaruniai Tuhan
dengan kemajemukan tradisi dan budaya masyarakatnya. Kemajemukan ini sejatinya
dijadikan aset berharga untuk belajar dewasa dan saling menghargai-sepelik
apapun perbedaan itu. Bukankah pelangi akan nampak elok bila aneka warna
bersanding mesra?
Akhirnya
mari coba kita maknai sebuah puisi indah karya salah seorang budayawan negeri ini, Emha Ainun
Najib yang akrab dikenal dengan Cak Nun. Puisi ini kiranya mewakili perasaan
kebersamaan kita sebagai bangsa yang
merindukan kedamaian yang menjadi cita-cita hidup segenap masyarakat dari
Sabang sampai Merauke.
Tahajjud Cintaku
Mahaanggun Tuhan yang
menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi
kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah
Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka
itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun
memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan
hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari
apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
Emha Ainun Najib
1988
0 komentar:
Posting Komentar