Oleh Muhammad Baran
Manusia adalah manusia. Dia bukan malaikat yang
seluruhnya patuh dan lurus semata. Karena Yang lurus dan yang patuh mungkin tak sepenuhnya hadir di dunia ini. Di
sini, “hadir” berbeda dengan “ada”. Yang ada tanpa perlu dihadirkan, pun dia
telah ada. Yang hadir, semata karena dia sepenuhnya diper-ada-kan.
Manusia bukan pula iblis yang selamanya terkutuk semata.
Yang terkutuk barangkali kesombongannya.-bukan peng-ingkar-an. Di sini pula ada
beda antara “sombong” dan “ingkar”.
Kesombongan hanyalah reaksi protes-dia protes karena prasangka-eksistensinya
lebih mulia dari pada manusia- sebagaimana kisah dalam kitab suci. Sedangkan ingkar
lebih kepada ketakpercayaan akan eksistensi Tuhan-dan iblis tak berada dalam
posisi ini. Dengan demikian sebenarnya iman iblis masih utuh untuk Tuhan dan
dia tak meragukan itu. Sama dengan manusia-termasuk malaikat-iblis tak
menemukan Tuhan yang lain. Dengan demikaian, dia tak punya Tuhan yang lain.
Manusia adalah manusia. Tak ada ke-baik-kan yang
mutlak padanya, juga tak ada ke-jahat-an yang utuh padanya. Yang mutlak dan
utuh barangkali hanyalah imannya kepada Tuhan. Iman yang diikatkan dalam janji
ketika manusia memberi kesaksian sebelum dilahirkan ke dunia ini. Janji yang
dengannya manusia beriktiar menemukan jalan kembali kepada-Nya suatu hari kelak
jika hendak jumpa dengan Dia.
Dengan demikian, sejatinya tak ada manusia yang
benar-benar baik. Juga tak ada manusia yang sungguh-sungguh jahat. Yang ada
hanyalah potensi. Terserah pada manusia mengarahkan potensi itu. Ke jalan yang
diridhai-Nya, atau jalan yang lain. Tentu berdasarkan pertimbangan akal dan
nurani yang dibekalkan Tuhan kepadanya.
Tapi bukankah ada termaktub dalam kitab suci, “Telah
kami cipta manusia dengan sebaik-baik bentuk”-yang artinya manusia adalah
ciptaan pilihan dari ciptaan-ciptaan yang lain-termasuk malaikat dan iblis?
Jawabannya bisa “ya”, tapi bisa juga “tidak” tergantung-sekali lagi-kemana dia
mengarahkan potensi yang dibekalkan Tuhan itu.
Manusia bisa menjadi lebih baik –bahkan melebihi ciptaan
lainnya-manakala dia memberdayakan potensi “baik” yang ada padanya. Demikian
sebaliknya dia menjadi terhinakan manakala yang “jahat” menjadi pilihan
lakunya.
Selamanya mungkin antara yang “baik” dan yang
“jahat” menjadi samar-samar, dan tak benar-benar bisa dibedakan-karena keduanya
adalah pilihan laku yang sama sekali tipis bedanya, bahkan abu-abu, dan
selebihnya kabur.
Lagi dan
lagi, tak ada yang benar-benar baik, pula tak ada yang sungguh-sungguh jahat.
Sebab yang “baik” bisa berpotensi menjadi petunjuk kapada yang “jahat”. Begitu
pula sebaliknya yang “jahat” bisa berpotensi menjadi petunjuk kepada yang
“baik”.
Mungkin itulah barangkali Tuhan dengan ke-adil-an ,
ke-bijaksana-an, dan kasih sayang-Nya, menyediakan taubat sebagai fasilitas
untuk manusia kembali menemukan jalan yang diinginkan-Nya. Karena Tuhan barangkali tak ingin hamba-Nya
terlihat hina dengan pilihan jalannya sendiri.
Keadilan adala timbangan Tuhan untuk menimbang yang
“baik” dan “jahat”. Karena yang terang dan jelas hanyalah Dia. Sayangnya, terkadang
kita tak menggunakan timbangan yang sama untuk menimbang dengan pasti, mana
yang benar-benar “baik” dan mana yang sungguh-sungguh “jahat”. Bahkan kerap kita menjadikan “kedaifan” sebagai
dalih untuk “khilaf” berlaku adil dan menegakkan ke-adil-an-Nya. Bukankah Dia
sudah mengatakan, “Berlaku adil-lah. Karena adil itu lebih dekat kepada Takwa?”
(**)
0 komentar:
Posting Komentar