Oleh Muhammad Baran
Semua manusia akan bersua
maut. Lalu untuk apa ada tangis air mata?
Teringat sebuahadegan
film local (sayalupajudulfilmnya) yang mengisahkan kepahlawanan seorang pendekar
wanita tua yang berusaha menolongs ebuah keluarga yang dirampok di tengah hutan.Dalam
adegan itu sang pendekar tua akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh musuhnya yang
kemudian pergi membawa hasil jarahan. Muridnya yang terlambat menolong, hanya bisa
menangisi sang guru
yang tengah sekarat itu.
Sebelum maut merenggutnya,
ada pesan yang disampaikannya kepada sang murid dan pesan itu selalu terngiang:
“Anakku, usa kautangisi aku. Simpan air matamu itu untuk mereka yang
membutuhkannya. Mereka yang tertindas kelaliman.Toh semua orang akan mati tapi sampai
kapan kelaliman ini berhenti dan siapa yang tinggal untuk menghentikannya?.“Sang
Guru pun kemudian mengembuskan nafas terakhir dengan sunggingan senyum.
Begitu indah, teduh,
damai kesudahanya dan juga mengharukan tentunya. Maut baginya adalah kebahagiaan,
dimana sebagai manusia, ia mampu menjalankan tugas kemanusiaannya sebatas mampu
dan sanggupnya. Kebahagiaan dimana sebagai
manusia, ia juga akhirnya terbebas purna dari kezaliman dan tindakan menzalimi
sesame dan semesta.
Tapi ada paradoks di
sini. Bagi yang mati ,maut barangkali adalah bahagia. Tapi tidak bagi mereka yang ditinggalkan. Konon,
ketika dilahirkan kedunia, bayi menangis merengek, sementara keluarganya menyambutnya dengan penuh
bahagia. Sedangkan ketika sedang sekarat
sebagaimana kisah pendekar wanita di atas, dia justru tersenyum bahagia,
sementara keluarga yang ditinggalkan justru
menangis karena merasa kehilangan orang yang dicintai. Menurut tafsiran riwayat itu, bayi yang menangis kala dilahirkan adalah ekspresi ketaksanggupannya
memikul amanah sebagai dutaTuhan (khalifah). Sedangkan ketika sekarat, dia tersenyum
karena percaya akan kepastian janji karena amanah sebagai duta Tuhan, tuntas dijalankannya.
Maut sebagaimana
literature semua agama dan kepercayaan adalah semata siklus metamorphosis. Kita memang mesti melewati semua
fase alam yang disediakan-Nya untuk berproses menemukan jati diri kita yang paripurna.Dalam
tradisi kredo Ibrahimi (monoteisme: Yahudi, Kristiani, dan Islami) misalnya,
kehidupan berawal dari alam arwah (ruhTuhan), alar mahim (kandungan ibu),alam sahadah
(dunia), alam barza (penantian kubur), alam akhirat (pertimbangan amal) hingga mencapai
fana (lebur)-yang dalam agama Budha disebut moksa
atau kembali ke asal-Nya. Di garis finish
ini kita mencapai nirvana (Nir: meniadakan/menihilkan. Vana: lebur agar menjadi sempurna), mencapai purnabakti.
Bahkan Imam al-Gazhali pernah
mengatakan, justru melalui kematian, cinta terbesar Tuhan tercurahkan kepada manusia.
Dengan begini Tuhan dapat mencintai hamba-Nya lebih dalam lagi. Lalu bagaimana kita
bisa mendapatkan cinta-Nya bila kematian selalu dianggap sebagai momok?
Mors
est quies viatoris, finis est omnis laboris: kematian adalah
istirahat musafir, akhir segala jerih payah.
Maka pesan kitab suci
yang mengingatkan, bila diuji dengan musibah-termasuk kematian, maka ingatlah bahwa
asal kita dari-Nya, dan kita akan kembali kepada-Nya. Disini, kita diberi setitik
pengharapan bahwa maut tak akan pernah mengakhiri. Segalanya memang mesti kembali
kepada-Nya untuk mendapat cinta-Nya, juga menjadi purna. (**)
Neraka, sejatinya adalah
surga yang dilihat dari sisi yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar