Oleh : Muhammad Baran
Hidup ini-menurut Justin Garder-adalah teka teki.
Pun eksistensi kita, juga adalah teka teki. Dan karena dia menjadi teka teki,
maka barangkali separuhnya, bahkan mungkin sepenuhnya- adalah menjadi misteri. Misteri
yang entah sampai kapan terus menjadi misteri.
Siapakah yang sanggup menerka akhir perjalanan edar
kosmos ini? Bahkan siapakah yang bisa
menjamin bahwa matahari akan tetap terbit
esok pagi? Jawabannya adalah “tiada” dan memang tak akan ada. Semuanya apik tercatat
dan tersimpan rahasia di lauhmahfudz. Kitab
catatan misterius itu.
Nafas yang berembus gelisah, akan sekejap diam bila
memang waktunya dia berhenti. Denyut jantung yang berdegup resah, akan seketika
senyap bila jatah waktunya berdenyut telah usai. Begitu juga semesta ini, tak
bisa diduga sampai kapan dia tetap setia di garis edarnya.Semesta sepenuhnya
memang menyimpan rahasianya sendiri. Kita dan juga hidup yang sementara kita arungi
ini adalah teka teki yang tak terterka siapa pun jua.
Kita dilahirkan oleh sebuah anima (ruh) yang misterius,
wujud hakiki yang tak sepenuhnya kita
kenal dengan benar. Dan ketika teka teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa
dapat dipecahkan, maka itulah giliran kita. Kita mencoba menguak -dengan
kemampuan yang sebenarnya terbatas- dan berharap, di sudut lorong asing ini ada
sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk.
Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa
terbangun, maka itulah kita. Itulah kita, yang dengan “kedaifan” iman kita, tak
sepenuhnya mampu menemukan definisi yang tepat tentang misteri, apalagi dengan
pongah ingin menguaknya. Sekali lagi kita dan juga hidup yang telah dilewati
separu jalan ini, mungkin memang sepenuhnya adalah misteri bagi kita.
Sekali lagi kita adalah teka teki yang terterka siapa pun. Akan
halnya cerita dongeng atau legenda, kita selamanya terperangkap dalam khayalan
sendiri. Kita bahkan mungkin tak pernah benar-benar sadar dan tahu bahwa yang pernah
ada (yang dapat di lihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya) pada
akhirnya tiada-meski bersumber dari yang Maha Ada. Kita benar-benar adalah apa
yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian yang tuntas.
Hingga ketika kita tiada (mati)-dimana yang pernah
ada tak lagi dapat dilihat indahnya, diraba lembutnya, dikecap nikmatnya)- maka
saat adegan-adegan yang terekam dalam pita seluloid dan dekor panggung
pementasan telah dilepas dan dibakar, maka tak lain kita hanyalah arwah yang
hanya tinggal dalam sisa ingatan keturunan kita. Dan selebihnya kita adalah
hantu-hantu yang bergentayangan dan berakhir sebagai mitos dalam sejarah.(**)
*Tulisan ini terinspirasi dari dua
novel filsafat: Dunia Shopie dan Maya:
Misteri Dunia dan Cinta, karya Justin
Garder.
0 komentar:
Posting Komentar