Waktu
Oleh : Muhammad Baran
Bila waktu tlah
memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah
terhenti teman sejati tinggallah sepi…
Tak terasa perjalanan
waktu setia menemani kita berkelana di jagat ini. Kadang memang kita terlena-oleh
pesona dan silaunya. Hingga tak sadar, waktu akhirnya membawa kita hingga di
ambang batas usia yang tak lagi muda. Batas yang telah ditakdirkan, bahwa hidup
kini di sini memang mesti berujung akhir. Sekali lagi, hidup memang mesti menemukan
ujungnya.
Di sini, waktu mengajarkan
kita menghargai hidup, agar kita menghadirkan karya yang bisa dinikmati-juga
sebagai bukti bahwa kita pernah ada-dan selanjutnya diwariskan kepada generasi,
yang bakal menggantikan kita, melanjutkan kerja kita yang mungkin saja belum
sepenuhnya tuntas .Tak hanya sekarang, tapi juga nanti. Sampai di sini kita
baru tersadar, betapa waktu sungguh berarti-dan karenanya kadang tak kita
sadari, dia cepat berlalu.
Dan mari lihatlah! Kian
waktu, dunia-yang kita diami dan mungkin pernah kita anggap sebagai surga
dengan aneka kekaguman-semakin merenta, semakin uzur terkikis oleh waktu itu
sendiri. Termasuk kita -aku, kau dan semesta. Maka kita mesti pandai
menempatkan diri agar hidup kita ini tak sia-sia, penuh makna, dan tentu saja
punya guna.
Alangkah celakanya bila
hanya karena hidup yang tak becus dijalani, tak memberi guna tapi malah menjadi
bencana-tak hanya kini di sini, tapi juga nanti di sana.Maka, menyesal
dahulu,mungkin ada gunanya. Karena bila tidak, berlakulah pepatah klasik,
“Menyesal kemudian, tiada berguna.”
Hidup kita ibarat
pohon-orang biasa menganalogikannya dengan pohon kehidupan. Kita punya daun
kehidupan, batang kehidupan, juga akar kehidupan. Kita adalah satu kesatuan
dari pohon itu sendiri yang tak boleh dicerai-beraikan. Bila bercerai, maka
kita tinggallah mitos yang hanya lekat dalam ingatan anak cucu kita-itupun bila
kita meninggalkan jejak yang bisa
ditelusuri berupa karya yang berguna. Sebagaimana kehidupan organisme lain di
dunia ini, pohon kehidupan tak selamanya ada. Dia memang memiliki eksistensi,
tapi eksistensinya tak kekal, tak abadi.
Kian waktu, dedaun dari
pohon kehidupan akan luruh satu per satu hingga pada saat yang telah
ditentukan, akan habis-sebagaimana spesies makhluk lain yang kini hanya tinggal
mitos.. Akan tiba masa dimana pohon itu sendiri akan tumbang, tercerabut dari
akarnya. Semua itu tercatat rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas
sana.
Engkau, aku dan
semesta-sekali lagi-tak lain hanyalah makhluk yang tak sepenuhnya kekal kini di
sini, di jagat yang sementara ini. Kita bahkan tak sepenuhnya cukup tahu kapan –sebagaimana
yang dikabarkan kitab suci-setiap yang bernyawa (termasuk barangkali yang tak
bernyawa) akan berkesudahan. Kita akan mati manakala ajal telah ditakdirkan
untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah senantiasa terjaga, jika
sewaktu-waktu pohon kehidupan melepaskan
kita dari tangkainya.
Banyak sekali hal yang
bisa menjadi tanda-sekaligus pelajaran-akan perjalanan hidup kita. Tanda yang
terkadang tak kita sadari, bahkan mungkin sengaja tak disadari karena terlena,
terpesona oleh kemewahan dunia. Tanda sebagai peringatan, bahwa eksistensi kita
sudah ditakdirkan. Tak perlu jauh-jauh. Coba lihatlah kerutan yang berombak di
dahi Ayah dan Ibu kita misalnya. Juga rambut
mereka yang pecah memutih. Ada tanda sekaligus peringatan di sana. Terbayang
mungkin daun kehidupan ayah dan ibu kita telah menguning dan siap luruh.
Sampai di sini, tak ada
yang patut disalahkan-termasuk waktu yang hanya menjalankan amanah dari Yang
Kuasa. Kita memang tak perlu menyalahkan waktu-meski banyak sekali hal yang
berubah oleh waktu. Tak terelakan memang ketika hidup kita terus berubah-tapi memang dia harus terus mengalir, seperti air.
Banyak hal yang menjadi tanda masa kecil kita misalnya, kini telah berubah.
Lihatlah realita
kehidupan di sekeliling kita, di lingkungan kita! Pepohonan kian habis. Sawah-sawah sudah ditumbuhi
rumah-rumah dan pusat perbelanjaan modern. Tempat ibadah berubah sunyi. Dan
serta merta hidup kita pun tak ketinggalan, juga berubah. Hidup kita lebih suka
keluyuran, ke mal dan bioskop.Muda-mudi kini tak sungkan lagi berbusana
setengah jadi. Para bujang lapuk lebih
suka bergerombol di pinggir jalan ditemanai botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa . Banyak ditemukan
bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa kepentingan lumrah terjadi dimana-mana.
Kalau mau jujur, Kita
memang lebih banyak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang diberikan-Nya dari
pada mengisinya dengan karya. Kita bahkan kerap bangga dengan dunia yang hanya
sementara. Hingga akhirnya waktu tiba-tiba berhenti tanpa kita sadari. Padahal
tak lagi ada jalan untuk mengulangi kembali waktu yang telah kita lewati. Maka
mari kita sadar dan berkaca diri. Apakah gerangan bekal yang sudak kita persiapkan
untuk bersua dengan-Nya? Kita pantas malu ketika bersua yang Maha Kuasa, tak
ada sesuatu yang bisa kita banggakan di hadapan-Nya. Terngiang nyanyian Opik:
Bagai
manakah merasa bangga
Akan
dunia yang sementara
Bagaimanakah
bila saatnya
Waktu
terhenti tak kau sadari
Masihkah
ada jalan bagimu
Untuk
kembali mengulangkan masa lalu
Dunia
dipenuhi dengan hiasan
Semua
dan sgala yang ada akan kembali pada-Nya
Bila
waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila
waktu tlah terhenti teman sejati tinggallah sepi…(Opik). (**)
|