Sembah
Oleh
: Muhammad Baran
Selamanya mungkin kita
tak sepenuhnya memahami keinginan Tuhan. Dan mungkin selamanya pula kita akan
khilaf menjalankan perintah-Nya. Maka untuk menutup khilaf itu-entah
disengaja-kita kerap berlindung di balik slogan “Tak ada manusia yang
sempurna”. Kita seakan menyalahkan Tuhan yang tak total menciptakan kita.
Kita seakan protes
kepada Tuhan karena menganggap tak diciptakan sempurna. Padahal, dunia dan
segala isinya memang tak ada yang benar-benar total dan benar-benar sempurna.
Dunia hanyalah ujian. Ujian atas klaim kita yang kadang dengan pongah merasa
berhak dan sudah pasti memiliki surga dengan amal yang mungkin tak cukup
dihitung dengan sepuluh jari tangan.
Sayangnya ketika Tuhan
menagih kita “Mana ibadahmu untukku?” kita
pun gelagapan. Disini, tak jarang persepsi kita tentang ibadah hanyalah sebatas
menggugurkan kewajiban. Ibadah bagi kita tak lebih hanya usaha legowo menjalankan doktrin-suka atau terpaksa.
Hingga pada titik tertentu ada prasangka, Tuhan memang butuh disembah.
Saya teringat sebuah
kisah Tuhan bertanya kepada Nabi Musa:
Tuhan: “Wahai Musa, mana ibadahmu untukku?”
Musa: “Bukankah aku selama ini sudah sembahyang dan berpuasa untuk-Mu?”
Tuhan: “Bukan!. Itu adalah ibadah untuk dirimu
sendiri (mendapat pahala). Ibadahmu untukku sebenarnya adalah ketika engkau
menolong orang lain.”
Yang kerap luput dari
kita adalah kebanggaan atas”prestasi” ibadah dan “prestise” iman individual
kita. Sembahyang dan puasa misalnya, dianggap sudah cukup membuat Tuhan “tersenyum”,
bangga akan ketaatan kita-ketaatan yang mungkin tak sepenuhnya tulus. Selebihnya
kita berharap, Dia mengganjar kita
dengan surga-taman firdaus yang kita khayalkan itu.
Jika demikian, manakah
makna ibadah yang sesuai ingin-Nya-ibadah yang dengannya kita menemukan cinta,
dan membaginya kepada sesama? Ternyata-sebagaimana isi dialog di atas-ibadah
yang sesungguhnya untuk Dia adalah ketika kita rela berbagi kepada sesama yang
kekurangan dan tulus menolong yang lemah.
Itulah ibadah untuk
Tuhan. Bukan sembahyang yang hanya menggugurkan kewajiban itu. Bukan puasa yang
kadang diiringi pamrih itu, bukan pula haji yang berkali-kali hanya untuk
mengejar titel “H” itu. Bukan, sama sekali bukan. Kata Tuhan, itu ibadah
personal, sekadar mencari untung pribadi, semata mencari selamat sendiri.
Tuhan mengajarkan kita
bagaimana mengaktualisasikan pesan moral ibadah dalam kehidupan nyata kita.
Hidup yang kadang membuat kita alpa bahwa membahagiakan sesama, itulah ibadah
yang sebenar-benarnya untuk Dia. Memang, tak jarang dugaan kita menempati ruang
jawaban yang salah. Tapi walaupun demikian, kebenaran memang harus terucap,
meski pahit terdengar. (**)
0 komentar:
Posting Komentar