Maha
Oleh
: Muhammad Baran
Tuhan adalah Sang Khalik (salah satu dari 99 nama
dan sifat-Nya). Dia kita imani sebagai Yang Maha Pencipta misalnya. Dan karena
dia Maha-yang berarti: yang paling, yang super, yang ter-dan entah apa lagi standar
kata dan bahasa yang bisa kita gunakan untuk mendefinisikan kemahaan-Nya.
Maha-menjadi kata yang paling tidak ,bisa dianggap
mewakili segenap penggambaran kita terhadap kuasa-Nya. Karena “Tak ada yang
setara atau serupa (dalam hal apapun) dengan Dia,” Dia tempat bergantung segala
hajat makhluk, tempat berharap pertolongan, muara segala tujuan. Demikian
simpulan yang termaktub dalam kitab suci.
Barangkali bila kita bisa menyederhanakan dan menarik pahaman kita akan
makna kata “maha” dalam ilmu matematika, maka maha juga berarti tak terhingga,
dengan demikian Dia tak terdefinisikan. Dia tak terpermanai. Dia tak sanggup
dijangkau oleh akal dan logika material. Karena Dia tak menempati ruang dan
waktu , pula tak tercipta dari materi-apa pun bentuk dan unsur dari materi itu.
Akal dan segala kemampuan yang kita miliki tak cukup
memberikan penggambaran tentang Tuhan
secara holistic. Maka sekadar
membayangkan, apa lagi menganggap manusia misalnya adalah Tuhan atau sama
dengan-Nya-suatu konsep yang teramat konyol, itu bukanlah pujian tapi sebuah
penghinaan-kepada manusia yang dipertuhankan, lebih-lebih kepada Tuhan itu
sendiri.
Akal kita -yang meskipun dalam segala hal –adalah
dhaif ini, dibimbing oleh-Nya untuk memiliki kesimpulan sendiri, bahwa selamanya
pencipta (Tuhan) dan yang dicipta (hasil karya Tuhan) berbeda eksistensinya.
Yang satu berada di luar jangkauan
dimensi ruang, waktu, dan materi, sementara yang lainnya justru “terperangkap” dan tak bisa diceraikan
dari dimensi-dimensi duniawi itu.
Lalu bagaimana bisa kita melukis Tuhan dengan hanya
mengandalkan kanfas imajinasi, dengan warna tinta bianglala yang terbatas ruang,
waktu dan materi? Kita barangkali mungkin bisa melukisnya dengan indah. Sayangnya
keindahan itu sendiri bersifat subyektif.
Menurut kita, barangkali mampu menemukan ide dan melukis keindah-Nya,
tapi belum tentu menurut Dia. Atau jangan-jangan malah kita justru merusak
keindahan-Nya itu..
Mungkin satu-satunya pintu masuk menuju pemahaman kita
akan kemahaan-Nya hanyalah dengan pendekatan iman.Iman yang senantiasa mencari
dan menemukan eksistensi-Nya sampai ke batas yang tak kita sanggupi lagi. Memang, selalu ada yang tak sempurna
kecuali Dia. (**)
0 komentar:
Posting Komentar