Tirai…
Oleh
: Muhammad Baran
Dengan iman, kita barangkali tak punya cukup
wewenang meragukan keberadaan Tuhan. Tapi bukan berarti Dia selamanya terhijab
dan selebihnya kabur bagi kita, sehingga beragam spekulasi tafsiran coba
diwacanakan untuk mencari dan menemukan
dimana sebenarnya keberadaan-Nya
.
Maka masing-masing kita ingin mencari Tuhan dengan
menemukan sendiri jalan mencari-Nya. Agaknya dari sini aneka agama-termasuk
aneka mazhab dan sekte keagamaan, aliran kepercayaan- hadir untuk mencoba “menerka” dimana ada-Nya. Masing-masing
menempuh jalannya-dengan aneka tafsirnya pula- mencari Tuhan dengan menelusuri aneka lorong dan setapak.
Bermodalkan suluh iman yang selalu menyala di tangan, tak lelah kita
mencari-Nya. Pencarian yang tak henti. Pencarian yang entah kapan menemukan ambang batasnya. Hingga menemukan
ada-Nya.
Saya teringat Nabi Musa –menurut riwayat-
pernah bertanya, “Tuhanku, dimanakah aku
harus mencarimu?.” Lalu Tuhan pun
menjawab, “Wahai Musa, Carilah Aku di antara hamba-hambaku yang hancur
hatinya.”
Di sini kita tersadar, betapa Tuhan tak hanya hadir
di mesjid-mesjid yang gaduh dengan suara ceramah dan pengajian. Tak hanya pula
hadir di gereja-gereja yang ribut dengan gemuruh kidung litani yang membahana.
Tak pula hanya hadir di sinegok, vihara, dan kuil, dimana aneka doa dirapalkan
dengan tergesa, tak lagi khusuk.
Tapi Tuhan –sebagaimana jawaban yang diperoleh Nabi Musa di atas- juga hadir di prapatan
jalan yang ramai dengan angkringan mengiba segepok receh, di bawah kolong
jembatan yang sesak dengan rumah yang terbuat dari sisa bekas karton atau
kardus, di kantong-kantong pengungsi dengan tangis air mata, juga di panti
asuhan yang sunyi menanti uluran tangan, atau juga Tuhan hadir ketika seseorang
terluka hatinya karena kezaliman dan keangkaramurkaan,
Semua ini tak pernah kita sadari. Atau jangan
jangan-lantaran asyik dengan gaduh suara ceramah dan pengajian, gemuruh litany
yang membahana, juga aneka doa yang digumamkan-sehingga lupa, kalau Tuhan
mungkin “bosan” dengan aneka puja dan puji yang banyak itu. Puja dan puji
yang mungkin tak sepenuhnya tulus dari
hati karena cinta. Puja dan puji yang
tanpa pernah ada aplikasi nyata
dari aneka ceramah, gemuruh litany, juga doa-doa itu.
Memang pada saat hati kita hancur kita serasa dekat
dengan Dia. Tapi celakanya-sebagaimana yang di tulis Jalaluddin Rahmat-ketika
hati kita dipenuhi dengan keharuan,
lidah kita keluh. Kita bahkan tak sanggup mencari kata-kata yang secara tepat
melukiskan perasaan kita kepada-Nya. Di sini kita mesti mengubah paradigma kita
tentang Dia, yang kata-Nya mesti dicari di antara hamba-hamba_Nya yang hancur
hatinya.Bukan hanya di mesjid, di gereja, di vihara, atau kuil itu.(**)
0 komentar:
Posting Komentar