Bagaimanakah
Rasanya Kehilangan?
Oleh : Muhammad Baran
Saya tak perlu menjelaskan seperti apa rasanya
kehilangan. Anda tentu tahu seperti apa rasanya. Tergantung seberapa besar
peluang kehilangan. Semua orang akan sepakat, kalau kehilangan itu rasanya tak
seperti permen. Apa lagi rasanya seperti
ice cream atau biscuit coklat.
Lalu, apa itu kehilangan? Saya punya definisi sendiri
tentang kata kehilangan. Kata yang paling saya hindari ini. Kehilangan adalah
perpisahan selamanya. Perpisahan yang tak diinginkan. Kemungkinan besar, tak
lagi kembali.
Ada banyak macam kehilangan. Kehilangan
kesempatan, kehilangan harga diri,
kehilangan jabatan, ada juga kehilangan kepercayaan. Nah yang terakhir ini terjadi pada hampir setiap kita yang merasa memiliki kuasa tanpa batas, akses tanpa
halangan dan kemudahan tanpa rintangan.
Intinya, kehilangan berarti, kita berpisah dengan apa yang ingin kita miliki selama mungkin
atau kalau perlu, selamanya. Pada tataran yang gawat darurat, kita menghalalkan
segala cara untuk mempertahankannya. Persetan dengan aturan atau norma, tak
peduli dengan omongan orang.
Betapa banyak kita telah kehilangan dalam hidup yang
serba cepat dan tergesa ini. Barangkali kehidupan yang serba terburu-buru
inilah menjadi salah satu pemicu, orang
cepat kehilangan. Kita lebih cepat memperoleh,
dan secepat itu pula kita kehilangan.
Kalau kita kehilangan kehormatan, artinya
martabat kemanusiaan telah kita gadaikan.
Begitu juga dengan kehilangan kesempatan. Kata orang, kesempatan itu hanya
datang sekali. Bila kita tidak pandai
menangkap kesempatan itu, dia akan cepat
berlalu. Secepat kedipan mata.
Ada lagi satu jenis kehilangan yaitu kehilangan
kepercayaan. Apa yang bisa kita perbuat bila kita kehilangan kepercayaan dari pihak yang selama ini menaruh harap
kepada kita? Mana kala kita kehilangan kepercayaan, akibatnya akan sangat
fatal.
Dalam rumah tangga,
banyak suami-istri yang kehilangan kepercayaan pasangannya. Maka yang terjadi
adalah jatuhnya talak tiga. Banyak anak yang kehilangan kepercayaan orangtuanya
. Sebaliknya, banyak orangtua yang
kehilangan kepercayaan anaknya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, banyak pemimpin kehilangan kepercayaan rakyatnya. Coba lihat realita betapa banyak pejabat dan wakil rakyat justru kehilangan kepercayaan konstituennya . Setelah menjadi
pejabat Negara, mereka lupa dengan janji-janjinya.
Bila dalam ranah kehidupan yang lebih besar seperti
itu kita kehilangan, maka tunggulah
saatnya kehancuran itu. Bahkan kita
sendiri pun terheran-heran, tak menyangka mampu membuat kerusakan sedahsyat
ini.
Saya tak perlu mengurai akibat dari kerusakan ini. Bacalah Koran, tontonlah
televisi, atau berselancarlah di
internet. Anda akan disuguhi berita ; pemimpin Negara yang kehilangan kepercayaan rakyatnya. Maka revolusi, peperangan dan kudeta terjadi di
mana-mana.
Bahkan mungkin pada titik kulminasinya, kita
barangkali telah kehilangan kepercayaan dari Tuhan. Bila ini terjadi, kita
hanya menanti surut sumbu bom waktu datangnya hukuman. Atau mungkin tak kita
sadari, Tuhan telah menjatuhkan hukuman kepada kita saat ini.
Maaf, saya tak menakut-nakuti anda. Tapi kita (saya
dan anda) saling mengingatkan. Secepatnya kembali ke jalan yang semestinya. Maka
prinsip “lebih cepat lebih baik” menemukan konteksnya di sini. Meski untuk itu,
kita membayarnya dengan ongkos yang tak sedikit
Hidup kita
memang selalu diperhadapkan pada sekumpulan pilihan. Dan setiap pilihan selalu
ada konsekuensi logisnya. Termasuk konsekuensi bakal kehilangan . Apa pun nama,
jenis , dan bentuk kehilangan itu. (**)
0 komentar:
Posting Komentar