Kenapa
Rumah Tuhan Tak Satu Saja?*
Oleh: Muhammad Baran
Kita adalah pemilik jiwa yang hangat….
Rasa cinta kepada sesame seharusnya telah terbungkus
dengan rapat. Rasa ikhlas kita, tanpa cela bernama pamrih yang bisa mendesak
dan merobeknya.
Kitalah manusia
yang pernah mengecap bahagia bagi
diri sendiri dan merasa puas. Kini bahagia itu telah sampai pada tingkat sempurna. Merasa tanpa merasa.
Dimana kita juga merasa, kebahagiaan orang lain adalah juga milik kita, begitu pula kesedihan dan kesakitan mereka.
Marilah kita bertandang ke rumah tetangga, kenalan
atau siapa saja anak manusia yang
terkena musibah. Karena tuhan selalu berada di sana, dekat pada yang sakit. Si
sanalah rumahnya.
Kau tahu? Ada hikmat yang harus kita persiapkan
sejak kita bertolak untuk melakukan ini…
Sebuah keheningan yang maha itu, dimulai dari hati
ita. Itulah sebutan lain dari doa. Setiap jengkal jarak yang kita tempuh akan
dikumpulkan oleh malaikat untuk ditabur di ranjang si sakit. Memberikan mereka
kekuatan.
Sakit seseorang
juga merupakan sebuah peringtan Tuhan agar kita semakin dekat kepadanya.
Bukankah kita beruntung?
Mungkin kita pernah menggerutu; kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Ah sungguh
lancing. Tak malukah kita kalau tuhan mendengarkan perkataan dan malaikat
mencatatnya? Sebagai ganjaran, mungkin kelak bila waktunya tiba, kita akan
tertunda di gerbang surga. Menunggu
kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian.
Tapi mungkin kita bisa berkilah; bekalku sudah lah
cukup banyak. Sambil menunggu gerbang di
bukakan, akan kuhabiskan bekalku itu.
Tapi sudah seberapa banyak bekal kita? Apakah
sebanyak yang kita pikirkan dan perbuat?
Kalai begitu, pastilah belum cukup.
Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Ah pertanyaan
bodoh itu lagi...
Ketahuilah,
dimana si sakit berbaring, di situlah rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah
satu, tentu kau hapal jalan menuju rumah itu lalu kau akan menjadi sombong dan
jauh lebih bisan dari sekarang.
Lalau bagaimana jika si sakit adalah orang yang
pernah menyakiti atau mencampakan kita? Apakah kita juga mencampakannya sembari
berharap; semoga Tuhan tak ada di sana?
Ah tapi bukankah dengan mengunjunginya, kita
meninggikan derajatnya pula? Bukankah
dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita sakit?
Maka bergegaslah ke rumahnya! Mari berdoalah
untuknya. Dan ketika engkau sampai ke rumahnya
dan bertemu dengannya, pasanglah senyum
termanismu. Maka lihatlah…! Seketika rumah Tuhan terbuka. (**)
Tulisan ini Terinspirasi dari cerpen “Rumah Tuhan” karya AK Basuki.
Terbit di harian Kompas (Minggu, 10
Maret 2013)
0 komentar:
Posting Komentar