Generasi Social Media
oleh : Muhammad Baran
Dunia (alam semesta) kita semakin tua, kata
orang-orang. Entah sudah berapa miliar
tahun umur semesta sejak awal diciptakan. Para ilmuwan pun berspekulasi, berapa
kira-kira umur dunia yang menurut
perkiraan mereka, berawal dari peristiwa
big bang itu.
Tapi sekarang kita memasuki era baru. Sebagian orang
menyebutnya, era digital, sebagian lagi menyebutnya era kedigdayaan informasi.
Dan masih banyak lagi sebutan untuk menggambarkan zaman yang menuntut seseorang
untuk selalu meng-up to date
informasi setiap hari agar tak sampai dianggap ketinggalan.
Tapi saya lebih suka menyebutnya dengan era media sosial (social media). Saya menganggap, generasi kita sekarang adalah
generasi yang hidup bergantung kepada media social untuk melakukan komunikasi
dan bersosialisasi. Di mana nyaris tak
lagi ada sekat antara urusan privasi dengan urusan public.
Generasi media social adalah generasi yang merasa sah-sah saja urusan pribadinya
sendiri diketahui orang banyak. Di sini, ada rasa kebanggaan tersendiri. Tanpa
risih dan rasa malu. Atau sepertinya kata “malu’ memang sudah terlalu purba dan
ketinggalan zaman, maka sebaiknya dicopot saja dari perbendaharaan kamus
berbahasa kita.
Saya curiga, jangan-jangan manusia di zaman kita ini
sudah tak bisa lagi membeda antara urusan privasi yang menjadi hal yang rahasia,
dengan urusan publik yang boleh menjadi
bahan kunsumsi khalayak. Atau jangan-jangan pula, generasi kita saat ini adalah
model generasi baru yang sudah diformat oleh kemauan dan keinginan zaman,
dimana persoalan privasi bisa menjadi konsumsi public selama itu bernilai
komersial.
Maksud saya, selama persoalan atau urusan personal
yang sangat pribadi bisa mendatangkan keuntungan materi dan ketenaran, maka
sah-sah saja mereka mengeksploitasi diri, atau menawarkan diri untuk menjadi
objek ekploitasi pihak lain asalkan asyiknya ramai-ramai. Ah Ini hanya sekadar
kecurigaan. Bisa saja saya keliru menaruh curiga.
Cobalah kita tengok sekarang, ketika kesadaran ruang
privat makin tinggi, media social yang merupakan produk kemajuan
justru bagaikan kompensasi lebay atas pembatasan diri di ruang public yang serba konpleks.
Di sini, sebagai mana kata para pengamat media, media social bukan untuk kepentingan social,
melainkan kepentingan personal. Media social
telah menjadi “The personal is
political”. Media social telah menjadi arena pribadi untuk
mensosialisasikan ke-egoam diri.
Cobalah tengok aneka obrolan dan kabar berita di dunia maya terkhusus media social seperti facebook, twitter dan sebangsanya.
Kita lebih banyak disuguhi informasi
yang sebenarnya adalah persoalan
yang amat sangat pribadi.
Mulai dar urusan rumah tangga yang berantakan, asmara yang bertepuk sebelah tangan, sampai
kepada aneka caci maki yang kasar,. Semua terpampang dengan jelas. Lagi-lagi tanpa risih dan rasa
malu.
Tapi inilah dunia kita sekarang. Dunia yang tak lagi
menggunakan sekat. Tak ada lagi areal
rahasia. Tirai yang selama ini digunakan
untuk melindungi sesuatu yang dianggap tabu, telah tersingkap tanpa
sisa. Semua orang bebas melihat dan memberi nilai (harga).
Maka anda yang berlagak sok suci, jangan pernah coba-coba
melarang, apa lagi marah-mara, bila ada orang yang mengumbar rahasia pribadinya,
di media sosial. Selain anda memang tak punya wewenang melarang, anda akan di
cap sebagai manusia primitive, yang terlambat meng-up to date informasi.
Dunia kita barangkali memang sudah tua. Saking
tuanya, sehingga pandangannya memang benar-benar sudah merabun. Dia tak bisa
lagi membeda yang privasi dengan yang public. Semua ukuran dan standar nilai
sudah diformat baku. Semuanya menjadi
relative. Sementara yang mutlak
benar-benar sudah terlanjur jauh
dan tak bisa lagi dijangkau. (**)
0 komentar:
Posting Komentar