Pernahkah Kita Ada?
Oleh Hamba Moehammad
Oleh Hamba Moehammad
Orde melesat dengan roket-roket teknologi. dan kita hanya sayik memuji kejeniusan mereka. Kita kerepotan berpikir untuk menemukan bagaimana cara untuk berdiri tegak dan setara.
Zaman berubah
dengan aneka kecanggihan. Dan kita tak ubahnya manusia-manusia primitif yang menyangka
kecanggihan bisa menelan otak kita yang kerdil bulat-bulat.
Abad pun
berganti kini. Dan coba sejenak kau lihat! Dengan segenap perangkat kemudahan yang dihasilkan
dari iktiar kreatif, semakin membuat kita tenggelam dalam kubangan
keterbelakangan. Kita hanya menerima nasib menjadi penonton dengan hanya
menyoraki aneka kemajuan. Hingga pada
titik tertentu, kita dengan sukarela menyerahkan diri untuk menjadi kelinci
percobaan dari aneka perangkat kecanggihan.
Kita seakan
tertakdir sebagai penonton dan pengagum setia dari aneka sihir kemajuan yang
menurut pemikiran dangkal kita, semua itu adalah mukjizat. Dan kita hanya
membiarkan diri kita tersesat di antara rimba belantara moderenitas yang
semakin lebat. Kita membiarkan diri kita terseret arus limbah kemajuan dan pada
kali yang lain, dengan ikhlas menyerahkan jiwa dan semangat kita digilas roda
kecanggihan.
Ketika zaman
terus berubah, sementara kita hanya asyik berkubang dengan impian semu,
barangkali kita benar-benar ditakdirkan sebagai sapi perah, atau kerbau bajak,
atau apalah namanya yang kira-kira pas dilekatkan kepada kita. Dan pada akhirnya kita tak lain hanya sekadar
kumpulan manusia terbuang, terempas dari gelanggang percaturan dunia.
Yah. Kita
manusia-manusia yang mengabaikan kecerdasan dan lebih memilih menjadi pokrol
bambu. Kita mencampakkan integritas dan lebih menyambut sogokan dan suapan. Kita
hanya mau menjadi antek-antek kepentingan ketimbang menjadi penggerak
kemandirian.
Kitalah manusia
yang bermental pemakai bukan pencipta. Kita hanya bisa merusak tanpa tahu cara memperbaiki. Kita hanya gampang mengotori tanpa pernah belajar
membersihkan. Kitalah spesies manusia yang terkadang gemar berbelanja melebihi
batas mampu dan sanggup kita hanya mengejar pengakuan, hanya karena gengsi. Kita
dianggap makhluk unik lantaran perilaku kita masih mempertahankan laku primitif
dalam menyelesaikan sengketa dan tikai. Kita hanya mementingkan kepentingan
sesaat. Pikiran dan nafsu kita berjangka pendek, bahkan sangat pendek.
Yah. Pada akhirnya,
kita hanya diperlukan bila zaman telah kelelahan dan membutuhkan hiburan
tambahan. Kita hanya dibutuhkan bila orde kehabisan bahan lelucon. Dan kita
dengan suka rela menewarkan diri menjadi pelawak guna menghibur mereka dengan
mencela dan merendahkan diri sendiri. Kita, pada zaman yang serbah cepat dan
terburu-buru ini, menjelma menjadi spesies unik yang perlu tetap dilestarikan
dan diberdayakan dari ancaman kepunahannya sepanjang putaran periode zaman.
Kitalah
spesies manusia yang pelan tapi pasti terkubur oleh waktu. Tertimbun bersama
jejak-jejak yang kabur. Dan pada suatu masa, kita tak lagi tercatat dalam
lembaran sejarah kebudayaan manusia yang beradab. Kita bahkan kalah bersaing
dalam rupa-rupa hal karena kita memang tak perna berani bersaing. Kerap kita
mundur tanpa pernah mencoba berani untuk bersaing.
Kalau ada
yang pantas dikenang dari makhluk menyedihkan seperti kita ini, kita hanya dikenang selintas saja dalam sisa ingatan mereka. Selebihnya kita hanyalah mitos. Itupun bila
kita sedikit beruntung.
Kita,
spsies unik yang pernah ada, tapi kemudian terkubur debu zaman. Kita tak bisa
lagi ditelusuri karena tak pernah meninggalkan jejak sebagai bukti bahwa kita
pernah ada. Atau barangkali, ketika
kita tak lagi ada, orang akan lupa
mengingat bahwa kita memang pernah ada. Atau jangan-jangan mereka
berkeyakinan, kita memang benar-benar
tak pernah ada meski mungkin kita pernah benar-benar ada.
Oh cilaka.
Jika kita benar-benar tak pernah dikenang, tamatlah riwayat kita. Bahkan zaman
pun tak sudi membeberkan keberadaan kita. Atau keberadaan kita terlalu kecil
mutunya, terlalu sedikit untungnya untuk pantas diberi harga. Dengan demikian,
kita tak patut dicatat dalam kitab peradaban dunia karena kita dianggap nokta
yang hanya mengotori lembar sejarah umat manusia yang gilang gemilang. (**)
0 komentar:
Posting Komentar