Apakah kita ini hidup di negara mainan? ketika semakin merosot wibawa
negara. ketika kita yang mengaku sebagai warga yaang beradab justru
berani menentang lembaga negara dengan senjata hukum. Ketika bunyi
pasal-demi pasal bergaung di udara saban hari. dan ketika pasal-pasal
bikinan manusia yang tak sempurna itu menjelma menjadi ayat-ayat sakral…
Maka………..
Mereka yang berotak cerdas atau berotak rombengan menjadikan
lembaga-lembaga negara menjadi sasaran permainan. sementara yang
menjadi pahlawan adalah para pelaku kriminal. Yang menjadi politisi
adalah para bintang-bintang panggung dan televisi. Para koruptor dihukum
setara dengan maling pisang, dan diseluruh negeri para pengacara kian
menjamur menjadi pembela para bandit kerah putuh…
apakah sebagaimana yang dikatakan filsuf politik Hanna Arendt,
dimana-mana politik memang tak bisa lagi dipisahkan dari kebohongan,
sampai-sampai kebenaran sulit menjadi kriteria politik lantaran politik
memang tak berkenan dengan kebenaran, tapi naluri mempertahankan dan
memperbesar kekuasaan, atau politik bergerak sedemikian rupasehingga
mendepak kebenaran, atau politik menjadi sekadar upaya mempertahankan
kekuasaan malah cenderung menjadi permainan?
atau apakah seperti yang dikatakan oleh Machiavelli, bahwa kekuasaan
terkait dengan kodrat manusia yang suka berbohong, dimana tak ada
larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan berbohong
sehingga ada anggapan, di dunia ini ada manusia yang tak membunuh, tak
mencuri, tak berselingkuh, tapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta
atau bohong?
ah jangan-jangan kebohongan, sebagaimana yang dikatakan novelis dan
esais Jean Paul, sebagai penyakit kanker ganas di bibir hati terdalam
manusia, atau sebagaimana kata penyair Heinrich Heine, kebohongan
bahkan bisa menyelip kedalam ciuman dan kepura-puraan, membuat
kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis?
atau jangan-jangan seperti yang dikatakan oleh Sutradara teater dan
esais, Benjamin Korn, bahwa politik bagaikan mesin yang olinya adalah
kebohongan. Sekali pelumas kebohongan berhenti, maka mesin politik akan
macet?
dan lama-kelamaan kita dininabobokan oleh kebohongan itu sampai-sampai
seakan kita kita tak bisa keluar lagi. kita mungkin jengkel, namu tak
tahu dimana jalan keluarnya. Inilah barangkali maksud Henrich Heine
ketika ia mengatakan, “Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih
manis lagi rasanya.
“Ibu segala dosa kebohongan memang sulit diberantas. filsuf immanuel
Kant mengibaratkan kebohongan bagai kayu bengkok, tak mungkin
ditukangi untuk diluruskan.” Masih menurut Kant, jika terjadi dengan
maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam
masyarakat. Dengan jatuhnya ketakpercayaan, maka roboh pula sendi-sendi
hukum. Kemanusiaan menderita karenanya.
Wah cilaka duabelas. Bukankah ada dikatakan, harga diri manusia ada
dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya? Jika demikian kondisi
perpolitikan di negeri ini, bagaimana bisa kita-yang katanya manusia
yang religius, tahu sopan santun dan tatakrama pergaulan-sampai tersesat
dalam kondisi yang gawat darurat seperti ini? Setan apakah gerangan
yang begitu gilang gemilang menggelincirkan kita dari jalan kebenaran?
Atau jangan-jangan tanpa kita sadari kita adalah pengikut setia
setan-setan itu, atau jangan-jangan kita sendiri adalah setan-setan itu.
(**)
Sabtu, 13 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar