Rabu, 15 Februari 2012

Renungan



Satu itu palsu, seperti sapu lidi. Satu itu palsu, meskipun padat dan pejal. Mungkin itu sebabnya menara Babel adalah sebuah hikayat tentang kegagalan.
==================================================================
Tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di depan Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah.
Bila ada agama yang memusuhi syair, itu karena ia lupa bahwa puisi juga sejenis doa. “Di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tak bisa berpaling,” tulis Chairil Anwar, antara lega dan putus asa.
Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang tersuram, adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.
==================================================================
Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah.
Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun pasir tempat Musa—yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan—mencoba menebak kehendak-Nya terus-menerus.
Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai.
Gurun pasir tak sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali seperti kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang.
======================================================================
Karena malam tak sepenuhnya tertembus, juga oleh kelelawar yang mabuk, taufan antah-berantah dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas.
Makin tahu manusia tentang luasnya alam semesta, makin tampak bumi menyendiri dan manusia terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang cepat hilang. Tapi pada saat yang sama, dalam keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Hidup begitu dekat dan Ketiadaan begitu megah.
Saya teringat baris kalimat Sitor Situmorang dalam sajak Cathedral des Chartres: “hidup dan kiamat bersatu padu.”
* Dikutip dari buku Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, hal. 10.





0 komentar:

Posting Komentar