Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 31 Maret 2012

Waktu


Waktu


Oleh : Muhammad Baran

Bila waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti teman sejati tinggallah sepi…


Tak terasa perjalanan waktu setia menemani kita berkelana di jagat ini. Kadang memang kita terlena-oleh pesona dan silaunya. Hingga tak sadar, waktu akhirnya membawa kita hingga di ambang batas usia yang tak lagi muda. Batas yang telah ditakdirkan, bahwa hidup kini di sini memang mesti berujung akhir. Sekali lagi, hidup memang mesti menemukan ujungnya.

Di sini, waktu mengajarkan kita menghargai hidup, agar kita menghadirkan karya yang bisa dinikmati-juga sebagai bukti bahwa kita pernah ada-dan selanjutnya diwariskan kepada generasi, yang bakal menggantikan kita, melanjutkan kerja kita yang mungkin saja belum sepenuhnya tuntas .Tak hanya sekarang, tapi juga nanti. Sampai di sini kita baru tersadar, betapa waktu sungguh berarti-dan karenanya kadang tak kita sadari, dia cepat berlalu.

Dan mari lihatlah! Kian waktu, dunia-yang kita diami dan mungkin pernah kita anggap sebagai surga dengan aneka kekaguman-semakin merenta, semakin uzur terkikis oleh waktu itu sendiri. Termasuk kita -aku, kau dan semesta. Maka kita mesti pandai menempatkan diri agar hidup kita ini tak sia-sia, penuh makna, dan tentu saja punya guna.

Alangkah celakanya bila hanya karena hidup yang tak becus dijalani, tak memberi guna tapi malah menjadi bencana-tak hanya kini di sini, tapi juga nanti di sana.Maka, menyesal dahulu,mungkin ada gunanya. Karena bila tidak, berlakulah pepatah klasik, “Menyesal kemudian, tiada berguna.”

Hidup kita ibarat pohon-orang biasa menganalogikannya dengan pohon kehidupan. Kita punya daun kehidupan, batang kehidupan, juga akar kehidupan. Kita adalah satu kesatuan dari pohon itu sendiri yang tak boleh dicerai-beraikan. Bila bercerai, maka kita tinggallah mitos yang hanya lekat dalam ingatan anak cucu kita-itupun bila kita meninggalkan jejak  yang bisa ditelusuri berupa karya yang berguna. Sebagaimana kehidupan organisme lain di dunia ini, pohon kehidupan tak selamanya ada. Dia memang memiliki eksistensi, tapi eksistensinya tak kekal, tak abadi.

Kian waktu, dedaun dari pohon kehidupan akan luruh satu per satu hingga pada saat yang telah ditentukan, akan habis-sebagaimana spesies makhluk lain yang kini hanya tinggal mitos.. Akan tiba masa dimana pohon itu sendiri akan tumbang, tercerabut dari akarnya. Semua itu tercatat rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.

Engkau, aku dan semesta-sekali lagi-tak lain hanyalah makhluk yang tak sepenuhnya kekal kini di sini, di jagat yang sementara ini. Kita bahkan tak sepenuhnya cukup tahu kapan –sebagaimana yang dikabarkan kitab suci-setiap yang bernyawa (termasuk barangkali yang tak bernyawa) akan berkesudahan. Kita akan mati manakala ajal telah ditakdirkan untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah senantiasa terjaga, jika sewaktu-waktu  pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya.

Banyak sekali hal yang bisa menjadi tanda-sekaligus pelajaran-akan perjalanan hidup kita. Tanda yang terkadang tak kita sadari, bahkan mungkin sengaja tak disadari karena terlena, terpesona oleh kemewahan dunia. Tanda sebagai peringatan, bahwa eksistensi kita sudah ditakdirkan. Tak perlu jauh-jauh. Coba lihatlah kerutan yang berombak di dahi Ayah dan  Ibu kita misalnya. Juga rambut mereka yang pecah memutih. Ada tanda sekaligus peringatan di sana. Terbayang mungkin daun kehidupan ayah dan ibu kita telah menguning dan siap luruh.


Sampai di sini, tak ada yang patut disalahkan-termasuk waktu yang hanya menjalankan amanah dari Yang Kuasa. Kita memang tak perlu menyalahkan waktu-meski banyak sekali hal yang berubah oleh waktu. Tak terelakan memang ketika hidup kita terus berubah-tapi  memang dia harus terus mengalir, seperti air. Banyak hal yang menjadi tanda masa kecil kita misalnya, kini telah berubah.

Lihatlah realita kehidupan di sekeliling kita, di lingkungan kita! Pepohonan kian  habis. Sawah-sawah sudah ditumbuhi rumah-rumah dan pusat perbelanjaan modern. Tempat ibadah berubah sunyi. Dan serta merta hidup kita pun tak ketinggalan, juga berubah. Hidup kita lebih suka keluyuran, ke mal dan bioskop.Muda-mudi kini tak sungkan lagi berbusana setengah jadi.  Para bujang lapuk lebih suka bergerombol di pinggir jalan ditemanai botol, kartu,  dan gitar. Gadis hamil di luar  nikah menjadi kabar biasa . Banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa kepentingan lumrah terjadi dimana-mana.

Kalau mau jujur, Kita memang lebih banyak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang diberikan-Nya dari pada mengisinya dengan karya. Kita bahkan kerap bangga dengan dunia yang hanya sementara. Hingga akhirnya waktu tiba-tiba berhenti tanpa kita sadari. Padahal tak lagi ada jalan untuk mengulangi kembali waktu yang telah kita lewati. Maka mari kita sadar dan berkaca diri. Apakah gerangan bekal yang sudak kita persiapkan untuk bersua dengan-Nya? Kita pantas malu ketika bersua yang Maha Kuasa, tak ada sesuatu yang bisa kita banggakan di hadapan-Nya. Terngiang nyanyian Opik:

Bagai manakah merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali mengulangkan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan sgala yang ada akan kembali pada-Nya
Bila waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti teman sejati tinggallah sepi…(Opik). (**)


Kamis, 29 Maret 2012

Puisi

Patriot Padri
oleh : Muhammad Baran

kami bukan angkatan gagal
di medan laga kami tak kenal gagal

kami angkatan perkasa
hingga tetes darah penghabisan
kami tetap di depan garda

kami bukan angkatan gagap
di jalan kami berteriak dengan suara gegap

kamilah angkatan padri
tunas jiwa kami adalah garansi
bahwa perjiangan tak akan henti

karena ini tanah-pertiwi kami
pusaka warisan leluhur kami
harga diri dan martabat kami
tak sejengkal bole tergadai

kami bukan angkatan gagal
dimedan laga kami tak kenal gagal

Minggu, 25 Maret 2012

Kumpulan Sajak


Kumpulan Sajak
Muhammad Baran

kumandang subuh...

kumandang azan kusimak sayup
tapi rokok belum selesai kuhisap tuntas
asap secangkir teh panas masih mengepul
aku belum juga beranjak
kusimak kokok ayam tetangga
menertawakanku….

yang retak

dia menangis
pun langit menyimak khusuk
turut bersimpati
ia membegi kabar luka pada semesta
dan dunia turut berduka

nadanya sesenggukan
bercampur sedu mengaduk pilu
tersimak perih
melolong ditengah sepi yang sunyi

dia meratapi nasib cinta
hanyut tersapu badai
tega mengempasnya dengan dengki ke tebing karang
retak berkeping dua
 tinggal perih yang meracau

kemudian dia coba merekat kembali cinta yang retak
dengan hati yang lain


Palsu…

Kalau tak asli, maka kaulah dia
Aku tahu itu…

Kalau tak setia, berarti kaulah dia
Aku percaya itu…

Kalau tak rindu, pasti kaulah dia
Aku setuju itu…

Kalau tak cinta, pun kaulah dia
Aku sepaham itu…

Meski tahu, kadang aku mau terjebak
Bahkan tak menyesal meski kau jerat

Sadar atau tidak
kau telah menjadi kekasihku yang lain

percaya atau tidak
kau memang selingkuhanku yang kesekian
yah kaulah palsu


dia tak dusta

Kau tak perlu selalu hadir di setiap kedipku
Cukup namamu kugumam di anta rindu kita

Juga suaramu yang kurekam dalam pita ingatan
Masih utuh merdunya.
Kujadikan pelipur kala rindu mengusik

Kau usah resah karena aku punya angin
Yang setia membawa kabarku di setiap anta pisah kita

Jika kau rindu,
Cukup satu ragu untuk memastikan sekerat setia
Yang tempo itu kita ikat. Masih tersimpul utuh

Kau percayalah pada angin
yang tak pernah alpa membawa kabarku.
tak berdusta dia



Jumat, 23 Maret 2012

Sembah


Sembah

Oleh : Muhammad Baran

Selamanya mungkin kita tak sepenuhnya memahami keinginan Tuhan. Dan mungkin selamanya pula kita akan khilaf menjalankan perintah-Nya. Maka untuk menutup khilaf itu-entah disengaja-kita kerap berlindung di balik slogan “Tak ada manusia yang sempurna”. Kita seakan menyalahkan Tuhan yang tak total menciptakan kita.

Kita seakan protes kepada Tuhan karena menganggap tak diciptakan sempurna. Padahal, dunia dan segala isinya memang tak ada yang benar-benar total dan benar-benar sempurna. Dunia hanyalah ujian. Ujian atas klaim kita yang kadang dengan pongah merasa berhak dan sudah pasti memiliki surga dengan amal yang mungkin tak cukup dihitung dengan sepuluh jari tangan.

Sayangnya ketika Tuhan menagih  kita “Mana ibadahmu untukku?” kita pun gelagapan. Disini, tak jarang persepsi kita tentang ibadah hanyalah sebatas menggugurkan kewajiban. Ibadah bagi kita tak lebih hanya usaha legowo  menjalankan doktrin-suka atau terpaksa. Hingga pada titik tertentu ada prasangka, Tuhan memang butuh disembah.

Saya teringat sebuah kisah  Tuhan bertanya kepada Nabi Musa:
Tuhan: “Wahai Musa, mana ibadahmu untukku?”
Musa: “Bukankah aku selama ini  sudah sembahyang dan berpuasa untuk-Mu?”
Tuhan: “Bukan!. Itu adalah ibadah untuk dirimu sendiri (mendapat pahala). Ibadahmu untukku sebenarnya adalah ketika engkau menolong orang lain.”

Yang kerap luput dari kita adalah kebanggaan atas”prestasi” ibadah dan “prestise” iman individual kita. Sembahyang dan puasa misalnya, dianggap sudah cukup membuat Tuhan “tersenyum”, bangga akan ketaatan kita-ketaatan yang mungkin tak sepenuhnya tulus. Selebihnya kita berharap,  Dia mengganjar kita dengan surga-taman firdaus yang kita khayalkan itu.

Jika demikian, manakah makna ibadah yang sesuai ingin-Nya-ibadah yang dengannya kita menemukan cinta, dan membaginya kepada sesama? Ternyata-sebagaimana isi dialog di atas-ibadah yang sesungguhnya untuk Dia adalah ketika kita rela berbagi kepada sesama yang kekurangan dan tulus menolong yang lemah.

Itulah ibadah untuk Tuhan. Bukan sembahyang yang hanya menggugurkan kewajiban itu. Bukan puasa yang kadang diiringi pamrih itu, bukan pula haji yang berkali-kali hanya untuk mengejar titel “H” itu. Bukan, sama sekali bukan. Kata Tuhan, itu ibadah personal, sekadar mencari untung pribadi, semata mencari selamat sendiri.

Tuhan mengajarkan kita bagaimana mengaktualisasikan pesan moral ibadah dalam kehidupan nyata kita. Hidup yang kadang membuat kita alpa bahwa membahagiakan sesama, itulah ibadah yang sebenar-benarnya untuk Dia. Memang, tak jarang dugaan kita menempati ruang jawaban yang salah. Tapi walaupun demikian, kebenaran memang harus terucap, meski pahit terdengar. (**)

Tirai…


Tirai…

Oleh : Muhammad Baran

Dengan iman, kita barangkali tak punya cukup wewenang meragukan keberadaan Tuhan. Tapi bukan berarti Dia selamanya terhijab dan selebihnya kabur bagi kita, sehingga beragam spekulasi tafsiran coba diwacanakan  untuk mencari dan menemukan dimana sebenarnya keberadaan-Nya
.
Maka masing-masing kita ingin mencari Tuhan dengan menemukan sendiri jalan mencari-Nya. Agaknya dari sini aneka agama-termasuk aneka mazhab dan sekte keagamaan, aliran kepercayaan- hadir untuk mencoba  “menerka” dimana ada-Nya. Masing-masing menempuh jalannya-dengan aneka tafsirnya pula- mencari Tuhan  dengan menelusuri aneka lorong dan setapak.

Bermodalkan suluh iman  yang selalu menyala di tangan, tak lelah kita mencari-Nya. Pencarian yang tak henti. Pencarian yang entah kapan  menemukan ambang batasnya. Hingga menemukan ada-Nya.
Saya teringat Nabi Musa –menurut riwayat- pernah  bertanya, “Tuhanku, dimanakah aku harus mencarimu?.”  Lalu Tuhan pun menjawab, “Wahai Musa, Carilah Aku di antara hamba-hambaku yang hancur hatinya.”

Di sini kita tersadar, betapa Tuhan tak hanya hadir di mesjid-mesjid yang gaduh dengan suara ceramah dan pengajian. Tak hanya pula hadir di gereja-gereja yang ribut dengan gemuruh kidung litani yang membahana. Tak pula hanya hadir di sinegok, vihara, dan kuil, dimana aneka doa dirapalkan dengan tergesa, tak lagi khusuk.

Tapi Tuhan –sebagaimana jawaban yang diperoleh  Nabi Musa di atas- juga hadir di prapatan jalan yang ramai dengan angkringan mengiba segepok receh, di bawah kolong jembatan yang sesak dengan rumah yang terbuat dari sisa bekas karton atau kardus, di kantong-kantong pengungsi dengan tangis air mata, juga di panti asuhan yang sunyi menanti uluran tangan, atau juga Tuhan hadir ketika seseorang terluka hatinya karena kezaliman dan keangkaramurkaan,

Semua ini tak pernah kita sadari. Atau jangan jangan-lantaran asyik dengan gaduh suara ceramah dan pengajian, gemuruh litany yang membahana, juga aneka doa yang digumamkan-sehingga lupa, kalau Tuhan mungkin “bosan” dengan aneka puja dan puji yang banyak itu. Puja dan puji yang  mungkin tak sepenuhnya tulus dari hati karena cinta. Puja dan puji yang  tanpa pernah  ada aplikasi nyata dari aneka ceramah, gemuruh litany, juga doa-doa itu.

Memang pada saat hati kita hancur kita serasa dekat dengan Dia. Tapi celakanya-sebagaimana yang di tulis Jalaluddin Rahmat-ketika hati kita  dipenuhi dengan keharuan, lidah kita keluh. Kita bahkan tak sanggup mencari kata-kata yang secara tepat melukiskan perasaan kita kepada-Nya. Di sini kita mesti mengubah paradigma kita tentang Dia, yang kata-Nya mesti dicari di antara hamba-hamba_Nya yang hancur hatinya.Bukan hanya di mesjid, di gereja, di vihara, atau kuil itu.(**)


Maha


Maha

Oleh : Muhammad Baran

Tuhan adalah Sang Khalik (salah satu dari 99 nama dan sifat-Nya). Dia kita imani sebagai Yang Maha Pencipta misalnya. Dan karena dia Maha-yang berarti: yang paling, yang super, yang ter-dan entah apa lagi standar kata dan bahasa yang bisa kita gunakan untuk mendefinisikan kemahaan-Nya.

Maha-menjadi kata yang paling tidak ,bisa dianggap mewakili segenap penggambaran kita terhadap kuasa-Nya. Karena “Tak ada yang setara atau serupa (dalam hal apapun) dengan Dia,” Dia tempat bergantung segala hajat makhluk, tempat berharap pertolongan, muara segala tujuan. Demikian simpulan yang termaktub dalam kitab suci.

Barangkali bila kita bisa  menyederhanakan dan menarik pahaman kita akan makna kata “maha” dalam ilmu matematika, maka maha juga berarti tak terhingga, dengan demikian Dia tak terdefinisikan. Dia tak terpermanai. Dia tak sanggup dijangkau oleh akal dan logika material. Karena Dia tak menempati ruang dan waktu , pula tak tercipta dari materi-apa pun bentuk dan unsur dari materi itu.

Akal dan segala kemampuan yang kita miliki tak cukup memberikan penggambaran tentang  Tuhan secara holistic. Maka sekadar membayangkan, apa lagi menganggap manusia misalnya adalah Tuhan atau sama dengan-Nya-suatu konsep yang teramat konyol, itu bukanlah pujian tapi sebuah penghinaan-kepada manusia yang dipertuhankan, lebih-lebih kepada Tuhan itu sendiri.

Akal kita -yang meskipun dalam segala hal –adalah dhaif ini, dibimbing oleh-Nya untuk memiliki kesimpulan sendiri, bahwa selamanya pencipta (Tuhan) dan yang dicipta (hasil karya Tuhan) berbeda eksistensinya. Yang satu berada di luar jangkauan  dimensi ruang, waktu, dan materi, sementara yang lainnya  justru “terperangkap” dan tak bisa diceraikan dari dimensi-dimensi duniawi itu.

Lalu bagaimana bisa kita melukis Tuhan dengan hanya mengandalkan kanfas imajinasi, dengan warna tinta bianglala yang terbatas ruang, waktu dan materi? Kita barangkali mungkin bisa melukisnya dengan indah. Sayangnya keindahan itu sendiri bersifat subyektif.  Menurut kita, barangkali mampu menemukan ide dan melukis keindah-Nya, tapi belum tentu menurut Dia. Atau jangan-jangan malah kita justru merusak keindahan-Nya itu..

Mungkin satu-satunya pintu masuk menuju pemahaman kita akan kemahaan-Nya hanyalah dengan pendekatan iman.Iman yang senantiasa mencari dan menemukan eksistensi-Nya sampai ke batas yang tak kita sanggupi lagi. Memang, selalu ada yang tak sempurna kecuali Dia. (**)


Pisah


Pisah
Untuk mereka yang tercinta

Oleh :Muhammad Baran

Kau tahu apa yang paling menyedihkan?
Adalah tak bertemu lagi

Untuk mereka yang kita cintai-entah orang tua, anak, saudara,keluarga,sahabat, dan juga kekasih hati misalnya-hal yang ingin kita lakuakan untuk mereka adalah membahagiakannya. Hingga pada titik tertentu, kita bahkan rela mengorbankan hampir sebahagian dari hidup kita demi mereka.

Seorang anak misalnya, bagi orang tua adalah permata hati yang berharga-permata yang tak sudi ditukar dengan apapun kesenangan di dunia ini. Orang tua berkorban apa saja asal putra putrinya tumbuh menjadi anak yang berbakti-meski sebenarnya mereka tak mengharap balas jasa. Bahkan barangkali disetiap sujudnya, tak alpa orang tua dengan khusuk merapal doa, berharap anak-anaknya menjadi-sebagaimana bahasa kitab suci-kurata a’yunin, penyejuk mata, dan menjadi pemimpin bagi sesama yang takwa.

Di sini kita memang butuh kehadiran mereka yang kita cinta. Merekalah yang menghiasi hari-hari kita dengan senyum dan tawa, berbagi suka dan duka. Dan ketika ikatan cinta ini sudah merasuk dan tak mungkin terpisahkan, kita akan merasa sangat kehilangan bila berpisah.

Demikianlah.Hal yang paling memilukan adalah berpisah. Akan ada isak tangis, juga haru yang membiru. Bahkan hidup terasa hampa tanpa kehadiran mereka. Betapa tidak pilu, bila merekalah yang mengisi, bila ada sudut yang kosong di hati kita. Kepada merekalah hampir sepenuh-penuhnya pengorbanan kita persembahkan.

Saya teringat sebuah senandung lirih kekasih yang tak ingin pisah:

Kau tahu apa yang paling menyedihkan?
Adalah tak bertemu lagi
Maka aku tak boleh mati
Sebab tak bisa pikirkanmu lagi
Sebab tak bisa melihatmu lagi

Senandung di atas barangkali mewakili perasaan kita, bahwa betapa kehilangan orang-orang tercinta adalah misibah yang tak tertangguhkan. Ketika kita mencintai, kita tak ingin mati. Karena mati -sebagaimana senandung di atas-berarti tak lagi melihatnya, tak lagi jumpa. (**)




Selasa, 13 Maret 2012

Ibu, aku anakmu!

Ibu, aku anakmu!




Oleh : Muhammad Baran


Ibu
dengan apa airmata kusapu,
seribu bakti tak cukup kutebus
dengan apa budi kubalas,
berjuta abdi tak sanggup kuhunjukkan



Ibu
bila ada salah, maafkan aku
disetiap doa, namamu kutitip
Ibu, aku anakmu