Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 25 Juni 2013

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Oleh Hamba Moehammad


Pantai Teluk Labala-Leworaja, Lembata-NTT
Masih banyak kenangan yang ingin kukisahkan darimu. Tapi aku ragu adakaah ribu-ratumu yang sudi menyimaknya?

Di pantai Wailolon-mu yang sepi aku berdiri. Sembari bersandar di bawah pohon ketapang. Dikitari  rimbun  pohon kelapa dengan daun yang menari gemulai dirayu angin.  Aku diam sejenak, tepekur  memandangi laut sawu-mu yang tak henti menggelorakan kegusaran. Apa yang hendak kau  katakan? Tak ada. Aku malah melihat serpihan hatiku yang melayaang di permukaan laut Wutun Leworaja-mu. serpihan yang menyisakan luka goresan memerah dan segaris darah.


Ini hari sabtu. Hari pasar bagi masyarakat di Kecamatan Wulandoni dan Kecamatan Atadei. Kulihat ribu-ratu-mu lalu lalang dari Kahatawa ke Wulandoni tanpa melirik sungai wailei yang malas beriak dan mesum. Penuh misteri dikala musim kemarau tiba.


Dulu kukenal kau begitu cantik memikat; Wutun Lusitobo-mu nan indah, pantai Watonama-mu  yang unik, pantai Baka-mu yang berombak garang dengan pasir pantai dimana nuba-sili ata Leworaja yang riang bermain bola, ada juga muda-mudi Atakera yang sibuk bermandi riang di Waitewo dengan airnya yang berwarna putih susu. Juga pantai Kemeru Wutun dengan Watotena yang konon menjadi bukti sejarah eksodus masyarakat Labala dari Lepan-Batan, juga pasar Wulandoni yang terkenal itu, hinggah di Wutun Lelakewate-Nuhalela.


Kau masih ingat? Ketika timu teka wara pasan,  debur ombakmu menggulung dan pecah di atas Benapa Lukiono.  Dan pada pagi hari ketika mentari memanjat  di balik punggung Wutun Atadei dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinar sehingga berjuta-juta berlian berpendaran di permukaan laut Sawu-mu. Tapi sekarang apa? Bagai naga kelaparan yang minta sesajen, lautmu menggelorakan amarah.  Dia hanya meratap ketika pantaimu tak lagi landai dan tak terurus lagi, tergerus abrasi ketika pasang naik bulan Agustus.  Sementara kemajuan Lewotanah semakin membuatmu terpuruk dan menderita. Ribu-ratu-mu seenaknya mengeruk pasirmu untuk membangun rumah, gedung sekolah, kantor camat, kantor polisi,  markas tentara dan rupa-rupa bangunan lainnya. Ah mereka menyebutnya ini kemajuan? Tapi kemajuan justru membawa konsekuensi kerusakan pantaimu, sungai dan dan lautmu. Dan sepotong kenangan masa kecilku pun direnggut serta. Nyaris tak bersisa.


Dan sungaimu bernasib sama sialnya. Waibelehe kehilangan rumpun bambu yang kutanam bersama kawan-kawan waktu kecil dulu,  hutan lamantoro di sekitar tanjung Watobua pun kini habis dibabat untuk pakan ternak. Belum lagi pelebaran jalan yang melintas di punggung tanjung Leworajamu membuat pepohonan tua yang rindang peninggalan Belanda dan situs bersejarah peninggalan nenek moyang jadi korban gusuran buldozer proyek pemerinta. Katanya mau buat jalan. Tapi  sampai kapan?


Kau masih ingat? Sebagian kenaangan dan segenap kisah cinta masa kecilku terekam apik disini. mungkin dulu kau mengulum senyum maklum bila musim ombak tiba, kau tersenyum melihatku dan kawan-kawanku selepas jam sekolah, meski masih mengenakan seragam sekolah, dengaan sebilah papan kami berselancar di pantaai lukiono. tak peduli disemprot Inak dan Amak kami karena seragam sekolah sobek.


Kelakuan masa kecilku dulu memang kurang ajar . Tapi itulah kenangan masa kecil yang masi tersisa kini. Dan aku kadang termangu murung di bawah pohon ketapang ini, mengenal rasa kesepian untuk kesekian kali. Setelah itu, hanya bisa mengenang masa kecil yang kini telah menjadi lampau. Masa kanakku tergerus dengan  lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah di SD Inpres Luki, aku merantau menuntut ilmu di kota daeng. aku bahkan sempat lupa dengan sebuah teluk nan elok di pantai selatan Kabupaten Lembata yang pernah kuakrabi ini. Mungkin selama diperantauan meenuntut ilmu di kota,  aku hanya melihat kali atau kanal yang berlumpur dan berbu busuk.


Waktu kecil aku suka berlama-lama mandi bersama kawan-kawanku di lautmu sambil bermain dengan berlomba memilih batu karang berwarna putih untuk bermain benteng-bentengan, sedangkan amak-amak di kampung yang lagi duduk  santai sambil menjahit pukat di pantai mengingatkan kami agar jangan sampai lupa mengerjaakan PR sekolah.


"Ingat anak. Boleh main tapi jangan sampai lupa dengan tugas sekolah," kata salah seorang Amak mengingatkan kami dengan logat melayu malaysia suatu ketika. Terkadang karena keasyikan dan lupa waktu,  para amak-amak ini terpaksa  memksa kami untuk pulang ke rumah masing-masing bila magrib menjelang.


Kelembutan dan kasih sayang Inak dan Amak kami di kampung kemudiaan tergantikan  dengan ekspresi dingin sekaligus  tempramental kehidupan kota pada masa dewasaku hingga akhirnnya aku pulang  ke tepian pantaimu ini.


Waktu memiliki otoritas tak berbendung untuk mengubah segala hal termasuk kau, teluk kesukaanku. Ketika pertama memandangmu kembali, bermunculan potret-potret masa kecil dari laci ingtanku; wajah Inak dan Amak penuh amarah yang pernah kujahili bersama  kawan, pun wajah kawan-kawanku yang dulu saling berebut  tali pancing untuk memancing belut,  juga ukiran namaku dan nama kawan-kawanku di salah satu batang pohon asam yang kini tak lagi ada. Kata Inak-ku, pohon asam yang menjadi markas kami kecil dulu, kini telah tumbang jadi korban abrasi.


Pantaimu tampak asing sekarang. aku tak menuntut pasir putih, jejeran pohon kelapa,  dan pohon beringin seindah dulu, tapi bahkan bekasnya pun tidak. Semuanyaa sudah diseret gelombang pasang lautmu. Tak bisa lagi aku berteduh di bawahnya; menunggu para amak kami pulang melaut, memanjati batang dan dahannya, bermain perang-perengan di bawah pohonnya yang rindang.


Dengarlah wahai telukku. bukan hanya engkau. Barangkali aku pun telah berubah.  Setidaknya aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah lau kenal. dan bukan pula seorang pejabat pemerintah yang peduli menyusun program pelestarian lingkungan untuk mengembalikaan keelokanmu.  Aku datang sebagai seseorang yang pernah menghabiskan masa kanak di pantaimu, di sungaimu, di tanjungmu, juga di lautmu. dengan harapan,  kalak memandangmu bisa menggugah kembali ingatan akan segenap kenangan masa kecilku, menjadi pelipur lara, dan obat kereinduanku padamu.


Wahai telukku, inilah aku.  Kutengok masa kanakku. sungguh aku tak terkejut mendapai Waibelehe-mu merana,  pantai Lukiono-mu nestapa,  tanjung Leworaja-mu tercampakan, tanjung Watobua-mu kesepian, juga ribu-ratumu yang tak lagi peduli dengan nasibmu kini. Bukan hanya mereka yang diacuhkan,  bahkan kenangan masa kanakku pun tak sempat kuselamatkan, tak sanggup kututurkan kepada Nuba-Nara-mu kelak.


Wahai telukku, inilah aku. Masih ingatkaah kau pada si Hajon, si Dulah, si Kadir, si Tuen,  dan si Musa? Mereka semua adalah kawan kawan masa kanakku yang hampir tiap hari berenang di Laut Sawu-mu, berlari mengejar kepiting di pantai Wailolon-mu,  pergi mencari kerang di tanjung Lewworaja-mu, berpiknik ria di tanjung Watobua-mu. Kamilah anak-anak kecil yang nakal itu. kamilah bocah-bocah ingusan  waktu itu yang  gemar mengikuti perahu orang Ende mengebom ikan-ikanmu.


Dulu aku pergi tanpa pamit, kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkaan aku. Bisakah kita bersahabat kembali seperti masa kanakku dulu?


Mungkin persahabatan kita tak semesraa dulu. Tak bisa lagi aku berlari meengejar kepiting di pantaimu, berteduh di bawah pohon asammu,  atau mencari siput di tanjungmu. aku sendiri  tak setangkas dan tak seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.


Wahai telukku, naibmu kini seperti rumah Inak-ku di tobilangun. Tak bisa lagi berkutik.  Terjepit di antara rumah-rumah yang semakin rapat dan mendesak memaksa.  Lorong-lorong yang disemen beton pun menyempit. Tiada lagi tanah lapang di tobilangun yang dulu aku dan kawan-kawanku bisa sepuasnya bermain:  bato kote, patuk lele, botipehupasa karethoro maku loa selepas teraweh di mesjid.


Masih lekat dalam ingatanku, bila bulan purnama terang,  di tobilangun aku dan kawan-kawanku ramai bermain tarian tradisional: lili, liang, oha, sole, dolo-dolo dan rupa-rupa tarian lainnya. sayangnya semua keriangan masa kanak itu kini tinggal kenangan.

Begitu juga dengan rumah Amak-ku di pinggir Pantai Wailolon-mu. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran  Waibelehe yang selalu mendesis jika angin Laut Sawu membelai dedaunnya yang rimbun.


Disinilah aku berdiri. masih di bawah pohon ketapang di Pantai Wailolon-mu yang kikuk ini. coba menanggapi perubahan zaman. Kurenungi raut wajah pantaimu yang kini lesu pada saat gerimis akhir bulan desember menciumnya tanpa suara.



Disini ingin kuhabisi sisa usia sebab  disini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita masa kanakku.  Seperti juga aku, dia juga sudah berubah tak segemilang dulu. Tak terlihat lagi jejern pohon asam, ketapang dan beringin berjejer apik di pinggir pantainya, juga tak tampak lagi burung bangau  yang sibuk menncari kepiting dan bangkai ikan. Sementara suara elang dan camar laut  yang biasa berburu ikan, tak lagi tersimak. Kemajuan Lewotanah  yang tak dibarengi dengan kepedulian yang sungguh-sungguh dari ribu-ratu-nya, melengkapi derita telukku, teluk yang kini dirundung murung. (**)

Senin, 24 Juni 2013

Puisi Semesta

Puisi Semesta

Semesta Lalu

Oleh Hamba Moehammad

lalu aku lalu kau. 
lalu kami lalu dia.
lalu kita lalu mereka. 
lalu apa lalu siapa. 
lalu kapan lalu dimana. 
lalu mengapa lalu bagaimana.

lalu aku naik turun menghela napas hendak memburu tatapanmu. 
lalu kau keluar masuk mencari bekas ciuman yang alpa kuhapus. 
lalu dia mencoba memberi isyarat kedatangan purnama malam ini. 
lalu kita terkulai setelah tahu tatapan dan bekas ciuman  tak lagi ada. 
lalu mereka menduga kita tak pernah becus saling menjaga dan mengasuh. 
Lalu kami hanya jadi penonton memelototi setiap episode yang mendebarkan.

lalu apa yang terjadi. 
lalu siapa jadi biang keladi . 
lalu dimana harus sembunyi. 
lalu kapan  bisa berhenti. 
lalu mengapa semua terjadi. 
lalu bagaimana lakhir segenap kebebalan ini. 

lalu aku lalu kau. 
lalu kami lalu dia, 
lalu kita lalu mereka. 
lalu apa lalu siapa. 
lalu dimana lalu kemana. 
lalu mengapa lalu bagaimana.
=============================
Semesta Mana

oleh Hamba Moehammad

aku.....

seperti arus sungai tak tahu ke samudra mana ia akan mengalir
seperti angin ia tak tahu ke penjuru mana ia akan  berembus
seperti ombak ia tak tahu ke pantai mana ia akan  memecah
seperti awan ia tak tahu ke cakrawala mana dia akan berarak
seperti hidup ia tak tahu  ke detik yang mana ia akan menemui kematian.
seperti aliran sungai, hembusan angin, pecahan ombak, arakan awan,  kematian hidup
apakah mereka tak tahu ke hariban mana harus kembali?
=======================
Semesta Pada

Oleh Hamba Moehammad

pada rembulan malam kukirim selalu tangkai-tangkai kerinduan. 
tak perlu aku minta balasan setimpal

pada seorang perempuan kualamatkan segenap deritaku. 
tak perlu aku sebut namanya.

dan pada sebuah catatan harian kutulis serpihan kenangan. 
tak tentang rembulan malam dan seorang perempuan
=====================

Jumat, 14 Juni 2013

Tak Peduli


Tak Peduli

Oleh Hamba Moehammad



"najis kau!" katamu padaku

tak peduli aku

tahu kau kan?

mutiara tetap mutiara

meski dimulut anjing ia tersangkut

tak jadi hina ia

tak jadi najis ia

jangan-jangan yang najis itu

kata "najis" yang kau ucap itu.

Sudah Merdekakah Kita?



Sudah Merdekakah Kita?

Oleh Hamba Moehammad


"Sudahkah anda merdeka?" tanya temanku.

Saya jawab,"Saya tidak tahu apakah saya sudah merdeka di republik yang telah berusia lanjut ini? Saya juga tak tahu apakah negeri ini benar-benar merdeka dari penjajahan yang sesungguhnya?"


mungkin lebih jelasnya, silahkan kau tanyakan langsung kepada bapak-bapak kita yang lagi duduk di atas singgasana republik ini. Apakah mereka juga tahu bahwa mereka adalah orang merdeka sejak republik ini diproklamirkan oleh Soekano-Hatta?


Anda yang lain silahkan tanyakan kemerdekaan Anda. Supaya kalau Anda ditanya oleh teman saya di atas, paling tidak Anda sudah punya jawaban mendekati pasti. Selamat bertanya.Selamat HUT Republik ini bagi anda yang sudah merasa merdeka untuk merayakannya. (HM)

Banyak Nama, Banyak Wajah



Banyak Nama, Banyak Wajah

Oleh Hamba Moehammad


Menurutmu, kebajikan itu memiliki banyak nama. Dan itu bisa saya, kau, dia, mereka, kalian, kami, dan atau kita. Dan aku hanya bisa tersenyum menyimak penjelasanmu.


"Lalu, bagaimana dengan keburukan?," aku coba melempar tanya padamu.

"Begitu pula keburukan," kau memulai lagi wejanganmu. Ia memiliki banyak wajah. Bisa saja wajahku, wajahmu, wajahnya, wajah mereka, wajah kalian, dan atau wajah kita."


Kali ini aku hanya diam. Coba meresapi kata-katamu. Untuk saat ini aku belum punya kesimpulan. Mungkin aku butuh tidur lebih cepat malam ini. Siapa tahu, dalam mimpi aku bisa punya kesimpilan itu......(HM)

Minggu, 09 Juni 2013

Pernahkah Kita Ada?


Pernahkah Kita Ada?
Oleh Hamba Moehammad

Orde melesat dengan roket-roket teknologi. dan kita hanya sayik memuji kejeniusan mereka. Kita kerepotan berpikir untuk menemukan bagaimana cara untuk berdiri tegak dan setara.

Zaman berubah dengan aneka kecanggihan. Dan kita tak ubahnya  manusia-manusia primitif yang menyangka kecanggihan bisa menelan otak kita yang kerdil bulat-bulat.

Abad pun berganti kini. Dan coba sejenak kau lihat! Dengan  segenap perangkat kemudahan yang dihasilkan dari iktiar kreatif, semakin membuat kita tenggelam dalam kubangan keterbelakangan. Kita hanya menerima nasib menjadi penonton dengan hanya menyoraki aneka kemajuan.  Hingga pada titik tertentu, kita dengan sukarela menyerahkan diri untuk menjadi kelinci percobaan dari aneka perangkat kecanggihan.

Kita seakan tertakdir sebagai penonton dan pengagum setia dari aneka sihir kemajuan yang menurut pemikiran dangkal kita, semua itu adalah mukjizat. Dan kita hanya membiarkan diri kita tersesat di antara rimba belantara moderenitas yang semakin lebat. Kita membiarkan diri kita terseret arus limbah kemajuan dan pada kali yang lain, dengan ikhlas menyerahkan jiwa dan semangat kita digilas roda kecanggihan.

Ketika zaman terus berubah, sementara kita hanya asyik berkubang dengan impian semu, barangkali kita benar-benar ditakdirkan sebagai sapi perah, atau kerbau bajak, atau apalah namanya yang kira-kira pas dilekatkan kepada kita.  Dan pada akhirnya kita tak lain hanya sekadar kumpulan manusia terbuang, terempas dari gelanggang percaturan dunia.

Yah. Kita manusia-manusia yang mengabaikan kecerdasan dan lebih memilih menjadi pokrol bambu. Kita mencampakkan integritas dan lebih menyambut sogokan dan suapan. Kita hanya mau menjadi antek-antek kepentingan ketimbang menjadi penggerak kemandirian.

Kitalah manusia yang bermental pemakai bukan pencipta. Kita hanya bisa merusak tanpa tahu cara memperbaiki.  Kita hanya gampang mengotori tanpa pernah belajar membersihkan. Kitalah spesies manusia yang terkadang gemar berbelanja melebihi batas mampu dan sanggup kita hanya mengejar pengakuan, hanya karena gengsi. Kita dianggap makhluk unik lantaran perilaku kita masih mempertahankan laku primitif dalam menyelesaikan sengketa dan tikai. Kita hanya mementingkan kepentingan sesaat. Pikiran dan nafsu kita berjangka pendek, bahkan sangat pendek.

Yah. Pada akhirnya, kita hanya diperlukan bila zaman telah kelelahan dan membutuhkan hiburan tambahan. Kita hanya dibutuhkan bila orde kehabisan bahan lelucon. Dan kita dengan suka rela menewarkan diri menjadi pelawak guna menghibur mereka dengan mencela dan merendahkan diri sendiri. Kita, pada zaman yang serbah cepat dan terburu-buru ini, menjelma menjadi spesies unik yang perlu tetap dilestarikan dan diberdayakan dari ancaman kepunahannya sepanjang putaran periode zaman.

Kitalah spesies manusia yang pelan tapi pasti terkubur oleh waktu. Tertimbun bersama jejak-jejak yang kabur. Dan pada suatu masa, kita tak lagi tercatat dalam lembaran sejarah kebudayaan manusia yang beradab. Kita bahkan kalah bersaing dalam rupa-rupa hal karena kita memang tak perna berani bersaing. Kerap kita mundur tanpa pernah mencoba berani untuk bersaing.

Kalau ada yang pantas dikenang dari makhluk menyedihkan seperti kita ini,  kita hanya dikenang  selintas saja dalam sisa ingatan mereka.  Selebihnya kita hanyalah mitos. Itupun bila kita sedikit beruntung.

Kita, spsies unik yang pernah ada, tapi kemudian terkubur debu zaman. Kita tak bisa lagi ditelusuri karena tak pernah meninggalkan jejak sebagai bukti bahwa kita pernah ada. Atau barangkali,   ketika kita tak lagi ada,  orang akan lupa mengingat bahwa kita memang pernah ada. Atau jangan-jangan mereka berkeyakinan,  kita memang benar-benar tak pernah ada meski mungkin kita pernah benar-benar ada. 

Oh cilaka. Jika kita benar-benar tak pernah dikenang, tamatlah riwayat kita. Bahkan zaman pun tak sudi membeberkan keberadaan kita. Atau keberadaan kita terlalu kecil mutunya, terlalu sedikit untungnya untuk pantas diberi harga. Dengan demikian, kita tak patut dicatat dalam kitab peradaban dunia karena kita dianggap nokta yang hanya mengotori lembar sejarah umat manusia yang gilang gemilang. (**)

Sabtu, 08 Juni 2013

Antara kau-aku

Antara Kau-Aku
Oleh Hamba Moehammad

ingin kuceritakan kisah ini. kau mau menyimak? ini cerita antara kau-aku.

ingin kubingkai semua kenangan. meski sekadar mozaik lusuh yang nanti kupajang di sudut rindu. biar ada yang bisa kukenang sebagai bagian sejarah di anta pisah kita. tak peduli kau memilih untuk lupa.

tapi, bukankah melupakan adalah menyingkirkan dari sebutan, juga ingatan? ah bila itu yang kau lakukan, betapa tragisnya...

meski sejarah kerap hanya lekat di sisa ingatan. kuharap sejarah kau-aku tak bernasib sama tragisnya. aku tak ingin, hanya karena sejarah kau-aku bukan bagian dari kisah kehidupan pembaca atau pemerhati sejarah, dia kemudian serta merta terlupakan.

aku peduli. tentang sejarah itu. karena semua mengandung kenangan. maka aku mau berkorban. membingkainya. tak peduli kau acuh. atau mungkin kau mencibir dan dengan nada mengejek mengatakan, "betapa bodohmu."

tapi sekali lagi aku  tak peduli. siapa pun tak berhak melarangku. termasuk kau.

kuanggap, semua yang pernah kita jalani seiring waktu adalah takdir hidupku. itu juga adalah bagian dari sejarah hidupku. semua yang pernah kita lewati adalah kenangan terindah. aku berhak mengenangnya. meski kini sekadar nostalgia masa lalu.

waktu mungkin telah menggerus ingatanmu. dan waktu pula yang membawa serta pergi ingatanmu. tentang kita.

tanpa sisa? ah aku ragu kau benar-benar melupakanku...

aku tak menyalahkan waktu. aku juga tak menyalahkan sebab kita pisah. aku juga tak menyalahkanmu. aku bahkan tak menyalahkan apapun dan sesiapapun.

bagiku, menyalahkan hanyalah alasan untuk lari dari kenyataan, bahwa kita memang tak teguh menjaga simpul ikatan.

aku hanya menyesali. yah menyesali kenapa kita pernah sua, pernah jumpa. tapi apa guna penyesalan ini. toh semuanya sudah terlanjur. inilah pengalaman. dan semoga menjadi guru.

aku sadar, setiap jumpa pasti ada pisah...

aku berharap, meski tak lagi mengingatku, juga mengenang semua yang pernah kita lewati, semoga kau bahagia dengan pilihan jalanmu.

hidup memang sekumpulan pilihan. dan kita memang harus memilih. termasuk memilih tetap bersama atau harus berpisah. memilih untuk tetap mengenang, atau sebaiknya melupakan. (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (10)

Ake Susah Kuran

Oleh Muhammad Baran

Sudah menjadi tradisi, perempuan lamaholot rela atau terpaksa harus menerima kehadiran orang ketiga, keempat, kelima atau keberapapun dalam biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot umumnya legawa, menerima apa adanya bila memiliki beduen (madu).

Biasanya, bila punya beduen, istri pertama memiliki kewenangan lebih besar dalam urusan rumah tangga dan keluarga. Kewenangan yang dimaksud adalah lebih berhak  menentukan pembagian nafkah suami atau pembagian warisan. Umumnya istri pertama memiliki bagian lebih banyak, meski terkadang suami cenderung pilih kasih. Peran penentu dalam pembagian jatah dengan madunya ini terjadi secara otomatis tanpa klaim atau keberatan dari para istri muda sang suami. Karena otoritasnya ini, orang labala menyebut istri pertama dengan istilah kewae nolohe (peremuan pertama suami).

Mereka para perempuan lamaholot ini akan menjalani kehidupan dengan penuh ketabahan dan kesetiaan yang tiada tara. Meski sekali lagi,  setelah berumah tangga, cenderung dipandang sebelah mata, dan diperlakukan secara tidak adil oleh suaminya.

Kita bisa menjumpai realitas ini pada kehidupan nyata perempuan lamaholot. Jarang atau amat sangat sedikit kita temukan dalam kehidupan rumah tangga, para perempuan lamaholot berselingkuh. Bahkan meski ditinggal pergi sang suami merantau sampai puluhan tahun lamanya. Para perempuan tangguh ini tak sedikit pun tertarik untuk kawin lagi atau menerima lamaran laki-laki lain  yang ingin mengawininya.

Bila ada istri yang selingkuh atau bertindak amoral selama kepergian suami merantau, itu dianggap musibah atau kutukan. Ada nalan atau hal-hal buruk atau aib atau dosa masa lalu yang pernah dilakukan keluarga perempuan sebelumnya sehingga  menuai karma. Karma ini bisa terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki atau perempuan dengan jenis karma atau musibah yang berbeda.

Di sini, orang lamaholot menganggap balasan atau karma atas nalan (dosa) sangat kuat. Karma ini bahkan diyakini bisa menurun kepada anak cucu kelak bila yang berdosa tidak segera melakukan ritual tobat dengan melakukan  semacam pengakuan dosa. Untuk itu dalam perjalanan kehidupannya, orang lamaholot sangat menghindari suatu pantangan atau dosa atau pamali, apa lagi pamali yang berkaitan dengan adat.

Saya pribadi, sebagai generasi muda lamaholot, merasa bersyukur karena masih mendapati kehidupan adat yang keras ini ketika masih kecil dulu. Saya masih mendapati dan menyaksikan batapa inak-inak ata labala di kampong saya yang ditinggal pergi sang suami merantau. Bekerja seorang diri di kebun seorang diri pergi penetan alias berdagang dengan sistem barter dari satu kampong ke kampong lain. Ini dilakukan hanya untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil.

Hal yang paling saya kenang ketika masa kecil dahulu, bila tiba musim mula wata (menanam) dan musim belo wata (memenen), para inak-inak tangguh ini punya ritual gemohin (gotong royong) menanam atau memanen apa-wata (hasil kebun).

Tradisi gemohin menemukan momentumnya yang pas bagi para perempuan malang ini. Kegiatan ini selanjutnya dijadikan ajang untuk saling curhat dan saling menguatkan dan berbagi kepada sesame. Mereka merasa memiliki  nasib dan garis hidup yang nyaris persis. Perlahan, dengan tradisi gemohin ini, perlahan mereka bisa melupakan kemalangan, pahit getirnya kehidupan karena ditinggal pergi suami merantau dan entah kapan akan pulang ke labala.

Ketangguhan dan kesetiaan perempuan lamaholot ini mencapai puncak pembuktian ketika mereka para parempuan mendengar kabar,  sang suami  telah beristri lagi di tanah rantau. Namun mereka tetap setia pada asangannya. Sembari menunggu  sang suami pulang dengan istri barunya itu,  seorang perempuan lamaholot ini berusaha untuk terus merawat dan mencari nafkah menghidupi nak-anaknya. Sungguh saya tak sanggup membayangkan ada kehidupan yang seperti ini yang dialami para inak-inak di kampong saya.

Dari kenyataan ini, bagi saya sebagai generasi lamaholot, kehidupan perempuan lamaholot adalah kehidupan yang mengagumkan. Dari sinilah nilai-nilai ketabahan, kesetiaan,  dan kejujuran khas perempuan lamaholot diwariskan kepada nuba-sili (putra-putri). Generasi yang akan akan melanjutkan perjuangan hidup yang tidak mudah ini. (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (9)

Kiden Kala Ina Wae

Oleh Muhammad Baran

Seperti perempuan lamaholot pada umumnya, watak atau karakter perempuan labala ditempa  oleh aturan adat liat. Sebagaimana umumnya tradisi kehidupan di Indonesia, bahkan di dunia, dalam budaya lamaholot, perempuan hanyalah  pelengkap laki-laki dalam struktur keluarga dan masyarakat.

Meski pengaruh agama dan teknologi telah masuk dalam kehidupan orang labala, tak serta merta menggeser struktur budaya turun-temurun yang cenderung memarginalkan peran perempuan. Struktur kekeluargaan orang lamaholot adalah patrilinear dimana garis keturunan mengikut pada  suku atau klan laki-laki/suami. Denga serta merta,  bila orang lamaholot ingin menyematkan nama anak keturunannya baik laki-laki maupun perempuan menyertakan tambahan nama suku di belakang nama anak.

Perempuan dalam tradisi lamaholot adalah mereka yang ditakdirkan untuk menjadi warga kelas dua di bawah baying-bayang laki-laki. Terkadang bila seorang perempuan yang sudah bersuami tak ubahnya adalah seorang jongos. Bahkan menjadi tawanan keluarga suami  dengan alasan, perempuan perempuan sudah dibeli/dibayar dengan belis (maskawin) berupa bala  (gading gajah). Orang lamaholot mengenal istilah welin witi-bala.

Tidak heran bila umumnya masyarakat lamaholot, termasuk di labala,  seorang laki-laki sah-sah saja  memiliki istri lebih dari satu. Apalagi yang berlatar belakang golongan ata raya (bangsawan). Di sini orang lamaholot mengenal kapitan pulo-pegawe lema untuk  mereka yang  berasal dari keturunan raja atau bangsawan. Mereka ini biasanya  memiliki istri lebih dari satu.  Bahkan bila sang suami ingin beristri lagi, praktis  tak perlu meminta restu sang istri.

Tapi persoalan memiliki istri lebih dari satu bukan hanya monopoli keluarga yang berlatar belakang bangsawan saja.  Laki-laki yang berlatar belakang dari golongan masyarakat ata keriden atau orang biasa  sekalipun bisa memiliki istri lebih dari satu. Ini karena tidak ada aturan adat baku yang melarang. Bahkan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu dianggap wajar-wajar saja. Yang tidak wajar, bila terjadi sebaliknya.

Setelah seoranng perempuan lamaholot berumah tangga, keyakinan dan kepatuhan yang teguh terhadap aturan adat, membuat mereka  dituntut untuk berbakti kepada sang suami. Karena sebagaimana keyakinan yang lazim,  bila ada istri yang tak patuh kepada suami hal yang menyalahi adat.

Namun sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya,  sekeras apapun sebuah sistem kehidupan yang terkesan tidak proporsional dan cenderung tak adil,  namun ada nilai positif dari tradisi  yang ketat itu. Termasuk tradisi orang lamaholot yang terkesan mengungkung  eksistensi perempuan, namun justru perlahan tapi pasti kungkungan ini kemudian  justru membentuk karakter khas, watak alamiah perempuan lamaholot. Umunya perempuan lamaholot  berkarakter kuat, bermental baja,  dan berwatak tahan banting.

Para perempuan tangguh ini lebih  mengutamakan keutuhan rumah tangganya, terutama rumah tangga yang telah dikaruniai anak,  ketimbang meminta cerai kepada suami yang memperlakukannya tidak sebagai mana mestinya.

Lagi pula tak ada istilah perceraian dalam kamus adat orang lamaholot. Yang ada hanya istilah peke wekiha. Artinya, kedua suami-istri saling mencampakan atau saling meninggalkan dalam pengertian tidak terputus sepenuhnya.. lebih tepatnya hubungan mereka masih menggantung sehingga kapan saja  masing-masing pihak bisa rujuk. Suami-istri dikatakan putus hubungan bila sang istri telah diperistri laki-laki lain. Tapi hal seperti ini jarang sekali terjadi dalam adat dan budaya orang lamaholot.

Sementara itu, biasanya  perempuan lamaholot yang di tinggal mati oleh suaminya, boleh dikawini oleh saudara sang suami. Namun lagi-lagi, ini jarang terjadi karena perempuan lamaholot umumnya lebih memilih menjadi kiden (menjanda) sepeninggal sang suami. (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (8)

Kiden Ina Mehak Rae Lango

Oleh Muhammad Baran

Ama oh ama..
bera balik ia lewo.
Jadi kame ata buto,
ama pana balik hala.
Keban rae lewo weran,
ina mata peken goe rua.
Ada hal yang tak lazim di sini. Suami yang jauh merantau, kadang bertahun tak pernah mengirim kabar berita maka biasanya kami anak-anak labala yang malang ini sering menanyakan kabar amak-amak kami bila ada orang sekampung kami yang pulang dari sabah-malaysia.

Istri mana yang sanggup menanggung derita lahir-batin lantaran bertahun-tahun tanpa kabar dari sang suami? Anak mana yang tak sedih bila melihat teman sepermainannya bisa bermain atau digendong oleh amaknya yang baru pulang dari rantau?

Airmata kesedihan bagi inak-inak yang dicampakan kelake (suami) dan anak-anak labala yang ditinggal pergi amak, seperti sudah menjadi karib. Inak-inak kami seperti kewae kiden (janda) yang ditinggal mati suami  dan kami anak-anaknya seperti kenukan (yatim). Padahal kami masih punya amak yang masih hidup, tapi entah dimana sekarang.

Hulen ata nekin-wanan,
geka basa rema leron.
Pi terado pita gere,
gaha gape weli wato pukan
Meski alas an kepergian kelake (suami) adalah untuk mencari nafkah, namun para kewai (istri) dan anak-anak malang ini menghidupi dirinya dengan bekerja keras di lewotanah (kampong halaman). Sementara harapan nafkah yang dinanti dari perantauan tak kunjung tiba. Satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya terus menanti.

Di kampong saya, labala, dengan alas an merantau, ada suami yang tega meninggalkan istri dan anak-anaknya hingga 30-an tahun. Bahkan ada yang sampai beristri-beranak lagi di perantauan. Ada juga bahkan sampai tua dan meninggal di perantauan.

Saya tak sanggup mengukur kadar kesetiaan para inak-inak kami di kampong yang meskipun  dikhianati suaminya,  tetap tabah menjalani hidup, dan sabarmembesarkan anak-anaknya seorang diri. Bukan main. Bahkan mereka tak sedikitpun tergoda  untuk menerima lamaran laki-laki lain yang berniat memadunya.
Umumnya saat pergi merantau, anak yang ditinggal pergi sang bapak masih sangat kecil, bahkan belum bisa mengenakan celananya sendiri. Rata-rata anak di labala ditinggal amaknya pergi merantau berusia 5-7 tahun. Usia yang masih sangat belia. Anak-anak ini semestinya masih  berhak mendapatkan kasih saying dan pengayoman dari amaknya selaku kepala keluarga.

Saya sendiri termasuk salah satu anak labala yang malang itu. Saat ditinggal pergi amak,  saya baru berumur enam tahun. Saat itu saya belum  duduk di bangku sekolah. Amak saya baru pulang dari merantau saat saya sudah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Bukan main penantian ini. (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (7)


Wata Pirin Sina, Wai Mangko Jawa

Oleh Muhammad Baran

Saya teringat  sebuah lagu daerah lamaholot. Lagu ini sangat popular  tahun 1990-an. Waktu itu saya masih kecil. Masih duduk di bangku SD. Meski judul pastinya saya lupa, tapi isi syairnya meski samar-samar, saya masih ingat. Kalau saya tak salah ingat, lagu ini dipopulerkan oleh penyanyi asal adonara, Wens Kopong.

Makna dari keseluruhan syair lagu ini menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat lamaholot terkhusus perempuan yang ditinggal pergi suami untuk merantau. Dengan bentang alam yang kering karena curah hujan yang minim, memaksa masyarakat lamaholot terkhusus laki-laki lamaholot untuk merantau. Mungkin masyarakat lamaholot bisa dikategorokan perantau yang handal, pejelajah ulung.

Untuk lebih memaknai syair lagu yang menyentuh ini, berikut saya sertakan  keseluruhan isi lagu ini. Harapan saya, semoga kita bisa menghayati dan memahami pesan yang disampaikam.

Lera Helen lodo,
ina Helen woka kuma.
Tobo weli luran tukan
ina tobo golek wato puken
Saya teringat masa kecil dulu. Membayangkan ketika matahari hendak terbenam di balik pundak gunung labalekang. Apa lagi musim kemarau biasanya langit terlihat lebih cerah. Matahari yang terbenam biasanya meninggalkan semburat cahaya warna jingga di kaki langit labala.

Saat-saat seperti ini, inak-inak di labala, kampong kami sudah mulai pulang dari duli pali (kebun) meski masih lelah, mereka kebiasaan petu wata (titi jagung) untuk persiapan makan malam.

Umumnya , sebagaimana yang telas saya ulas pada tulisan sebelumnya, inak-inak di kampong saya  tinggal seorang diri dan membesarkan kami anak-anaknya. Sementara para suaimi pergi merantau ke sabah-malaysia atau di mana saja. Bukan hanya setahun, dua tahun. Para suami ini merantau sampai belasan bahkan puluhan tahun.

Maka hangan heran bila inak-inak ata lamaholot umumnya adalah para perempuan tangguh. Mereka mengambil alih pekerjaan suami dengan bekerja di kebun, pergi penetan untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya. Mereka bahkan menjaga kesetiaannya kepada sang suami dengan tetap menunggu dan menunggu.

Tobo taan nani louk,
louk lebo wato lolon.
Peten susah lango gere,
nolo keso noi hala.
Inilah gambaran betapa kehidupan perempuan lamaholot umumnya, terkhusus perempuan labala, kampong halaman saya. Kehidupan yang sangat keras. Alam lamaholot mengajarkan kepada inak-inak kami untuk menjadimanusia tegar. Pantang menyerah pada keadaan deni kelangsungan hidup nuba-naranya. (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (6)


Elle Pito, Rapen Lema

Oleh Muhammad baran
Ina…
Puken elle tepelate,
Elle nete kolali duli lubun tukan
Ina…
Geni rapen tegelara,
Rapen bawa kolali pali wolon lolo
Sebenarnya eksistensi dan peran perempuan lamaholot sangat sugnifikan dalam kehidupan social-budaya orang lamaholot. Namun eksistensi ini seakan kalah pamor dengan eksistensi para lelaki yang memang lebih dominan memiliki kuasa dalam adat dan tradisi yang patrilinear. Seakan  ketika para perempuan ini menjalankan perannya dalam tata laksana adat dan kehidupan keluarga, itu hanyalah semata kewajiban yang tak pantas diganjar dengan harga yang setimpal. Ini sebuah ironi kalau enggan mengatakan petaka.

Meski kenyataannya beban tugas perempuan lamaholot umumnya melebihi kadar kemampuannya sebagai seorang ibu atau perempuan, namun dalam tradisi adat lamaholot, penghargaan  tetap diberikan lebih kepada para lelaki sebagai pemangku kebijakan. Sesuatu yang paradoks memang. Tapi inilah realita kehidupan yang mesti diterima sebagai sebuah perjalanan sejarah manusia.

Meski terjadi semacam ketimpangan dan ketidakadilan, namun para perempuan lamaholot yang tangguh ini sama sekali tak menuntut atau mengharap sebuah penghargaan, apa lagi sekadar pengakuan. Bagi mereka, pengabdian tulus kepada suami  dan pengorbanan untuk putra-putrinya merupakan kewajiban nomor satu. Keutuhan rumah tangganya adalah perioritas utama dalam hidupnya. Mereka akan menemukan kepuasan batin tersendiri manakala berhasil menjalankan pengabdian tersebut. Tak peduli meski pengabdian yang telah mereka persembahkan kerap tak mendapat apresiasi atau penghargaan yang sepantasnya.

Bagi saya, para perempuan lamaholot merupakan potret langka kesetiaan dan pengabdian yang nyaris total. Pengabdian tanpa menuntut imbalan. Pengabdian yang semata-mata karena panggilan nurani untuk menjalankan kewajiban sebagai istri bagi suaminya, dan ibu bagi putra-putrinya. Kemuliaan memang hanyalah milik mereka yang berkorban untuk kebahagiaan orang yang di cintai. Dan kemuliaan ini pantas diberikan kepada para perempuan lamaholot ini.

Kesetiaan dan pengorbanan perempuan lamaholot ini mungkin sulit dicari tandingannya di manapun saat ini. Maka alangkah naifnya bila peran atau kontribusi yang telah mereka berikan  tak mendapat ruang apresiasi dan penghargaan setimpal di hati sanubari putra-putri dan generasi lamaholot. Meski sekali lagi, mereka tak pernah meminta apresiasi itu.

Ina.. tani kaan louk gohuk
Ina .. hutan kaan ranet labot…..
Sebagai generasi muda, saya hanya bisa berharap, nilai-nilai positif yang lekat pada sosok kewae (istri) atau inak (ibu) atau berwae (Perempuan) lamaholot ini, meski tak semuanya, paling tidak sedikit menjadi teladan hidup dan diwariskan kepada generasi muda, terkhusus para perempuan di zaman sekarang. Ketulusan pengabdian para inak-inak ini bukanlah pengabdian buta, namun melalui  kesadaran nurani yang mendalam bahwa keutuhan  dan harmoni sangat dibutuhkan untuk melanggengkan sebuah ikatan keluarga dan rumah tangga masyarakat lamaholot.

Saya pun yakin, selama para perempuan lamaholot mengambil peran sebagai penyeimbang di tengah gejolak kehidupan yang sarat uji dan coba ini, baik kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan bangsa, maka keseimbangan hidup akan terus lestari dan terjaga.  Namun bila sebaliknya yang terjadi, maka akan terjadi banyak kekacauan hidup lantaran para perempuan  menanggalkan fungsi sentralnya sebagai  penyeimbang kehidupan.

Ketika para lelaki yang memiliki kecenderungan egoisme dalam memanajemen kehidupan, maka kita butuh para perempuan untuk menjadi penawar asinnya egoisme para lelaki itu. Dan peran penting itu telah dijalankan oleh para perempuan lamaholot. Terkadang, untuk mewujudkan cita-cita keserasian dan keseimbangan hidup, maka pengorbanan dan pengabdian seperti yang diperankan oleh para perempuan lamaholot, sangat dibutuhkan di tengah kehidupan yang semakin jauh dari nilai kesetiaan, pengorbanan dan dedikasi yang tulus.

Ina.. pana peken di kenei
Ina.. gawe lupak di bedela… (**)

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (5)

Duli Tukan, Pali Lolon

Oleh Muhammad Baran

Ina .. duli tukan lali mai
Ina.. pali lolon haka mai
Pana maan golek duli,
gawe maan gawak pali
Sebagaimana yang telah saya bahas pada tulisan sebelumnya, bahwa kehidupan perempuan lamaholot setelah bersuami mendapat ujian  yang tidak mudah. Apalagi setelah keluarga baru tersebut dilengkapi dengan kehadiran nuba-nara (anak keturunan) menghiasi biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot kemudian mengarungi lika-liku kehidupan yang berat. Bahkan boleh dikata inilah babak kehidupan tersulit yang akan dijalani seorang perempuan lamaholot.
Sebagaimana umumnya kehidupan masyarakat flores, karena tuntutan ekonomi, umumnya laki-laki orang lamaholot setelah menikah, mereka akan meninggalkan anak-istrinya untuk nai doan (pergi merantau). Para lelaki ini umumnya pergi merantau dalam jangka waktu yang lama. Tak hanya setahun atau dua tahun, mereka merantau sampai belasan  bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya.

Di sinilah peran seorang perempuan lamaholot diuji dengan lamanya penantian dan kewajiban menghidupi putra-putrinya di lewotanah (kampung halaman). Seorang diri perempuan lamaholot melalui pahit getirnya kehidupan mencari nafkah, merawat dan mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta selama sang suami berada di tanah rantau.

Dalam kesehariannya, para perempuan lamaholot kemudian mengambil peran penting yang sebenarnya bukan tugasnya yaitu menjadi kepala keluarga. Dari sinilah  perempuan lamaholot kemudian membentuk  karakter pribadi nan tangguh, kesetiaan kepada suami tiada tara, ketabahan hidup mencari nafkah tanpa batas, rela berkorban untuk nuba-sili (putra-putrinya) yang dititipkan sang suami di pundaknya. Amanah yang teramat sangat berat di pikul bagi seorang perempuan. Di sini kadang saya berpikir, persepsi selamah ini bahwa perempuan adalah makhluk lemah dengan sendirinya terbantahkan.

Nuba…kame tani mayan oh ina
Nara ..kame hutan toen oh ina
Peten mo perohon hala,
Sudi mo pesayang kuran…
Dari interaksi yang intens dengan anak-anaknya  inilah sehingga perempuan lamaholot mewarisi nilai kesetiaan pada pasangan hidup, ketabahan menjalani hidup, kejujuran berperilaku dalam hidup,  serta kerja keras mengubah nasib hidup. Di sini, anak-anak lamaholot dididik oleh guru yang sebenar-benarnya. Anak-anak dididik dengan kasih sayang, cinta dan pengorbanan yang sesungguh-sungguhnya meski dalam keterbatasan. Maka jangan heran, orang flores umumnya dan terkhusus orang lamaholot terkenal sebagai perantau yang jujur dan ulet. Mereka adalah orang-orang terpercaya. Ini bukan bualan, tapi sebuah fakta. Ini adalah buah dari penanaman nilai luhur para inak-inak ata lamaholot nan tangguh itu.

Penanaman nilai-nilai luhur yang intens dan kedekatan emosional yang besar antara perempuan lamaholot dan putra-putrinya inilah menjadikan anak-anak mereka  cenderung lebih menghormati dan menyayangi sosok inak (ibu) sebagai idola dalam kehidupannnya. Mereka menganggap Inak adalah idola yang kata-katanya dianggap keramat.

Orang labala dan juga orang lamaholot umumnya mengenal istila koda dipelate, kiri digelara yang bermakna, petuah dan nasihat atau doa seorang inak (ibu) sangat keramat. Bila tidak diindahkan maka seorang anak bisa celaka dalam hidupnya.

Umumnya anak-anak lamaholot menghormati inak  murni karena kasih sayang dan balas budi atau jasanya mendidik dan membesarkannya. Sedangkan menghormati amak  lebih karena faktor penghormatan sebagai kepala keluarga yang mendapat kedudukan terhormat  di mata adat. Laki-laki dalam adat orang lamaholot memang memiliki kedudukan istimewa. Selain berwewenang mengurus tetek bengek  tata laksana adat, laki-laki juga lebih berhak mengatur urusan rumah tangga.

Meski demikian, karena para kelake  (lelaki/suami) orang lamaholot umumnya perantau selama bertahun-tahun, maka praktis biduk kehidupan rumah tangga dikemudikan oleh  kewae (perempuan/istri) sebagai kepala keluarga selama bertahun-tahun. Di sini, perempuan lamaholot memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai kepala keluarga selama kepergian suami. Mereka mengerjakan tugas yang semestinya menjadi kewajiban laki-laki/suami seperti mencari nafkah dengan bekerja di kebun, mulai dari proses menanam, sampai memetik hasilnya. Belum lagi peekerjaan dapur rumah tangga yang menumpuk, juga tugas mengasuh anak dan aneka pekerjaan lain yang berjibun. (**)