Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (10)

Ake Susah Kuran

Oleh Muhammad Baran

Sudah menjadi tradisi, perempuan lamaholot rela atau terpaksa harus menerima kehadiran orang ketiga, keempat, kelima atau keberapapun dalam biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot umumnya legawa, menerima apa adanya bila memiliki beduen (madu).

Biasanya, bila punya beduen, istri pertama memiliki kewenangan lebih besar dalam urusan rumah tangga dan keluarga. Kewenangan yang dimaksud adalah lebih berhak  menentukan pembagian nafkah suami atau pembagian warisan. Umumnya istri pertama memiliki bagian lebih banyak, meski terkadang suami cenderung pilih kasih. Peran penentu dalam pembagian jatah dengan madunya ini terjadi secara otomatis tanpa klaim atau keberatan dari para istri muda sang suami. Karena otoritasnya ini, orang labala menyebut istri pertama dengan istilah kewae nolohe (peremuan pertama suami).

Mereka para perempuan lamaholot ini akan menjalani kehidupan dengan penuh ketabahan dan kesetiaan yang tiada tara. Meski sekali lagi,  setelah berumah tangga, cenderung dipandang sebelah mata, dan diperlakukan secara tidak adil oleh suaminya.

Kita bisa menjumpai realitas ini pada kehidupan nyata perempuan lamaholot. Jarang atau amat sangat sedikit kita temukan dalam kehidupan rumah tangga, para perempuan lamaholot berselingkuh. Bahkan meski ditinggal pergi sang suami merantau sampai puluhan tahun lamanya. Para perempuan tangguh ini tak sedikit pun tertarik untuk kawin lagi atau menerima lamaran laki-laki lain  yang ingin mengawininya.

Bila ada istri yang selingkuh atau bertindak amoral selama kepergian suami merantau, itu dianggap musibah atau kutukan. Ada nalan atau hal-hal buruk atau aib atau dosa masa lalu yang pernah dilakukan keluarga perempuan sebelumnya sehingga  menuai karma. Karma ini bisa terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki atau perempuan dengan jenis karma atau musibah yang berbeda.

Di sini, orang lamaholot menganggap balasan atau karma atas nalan (dosa) sangat kuat. Karma ini bahkan diyakini bisa menurun kepada anak cucu kelak bila yang berdosa tidak segera melakukan ritual tobat dengan melakukan  semacam pengakuan dosa. Untuk itu dalam perjalanan kehidupannya, orang lamaholot sangat menghindari suatu pantangan atau dosa atau pamali, apa lagi pamali yang berkaitan dengan adat.

Saya pribadi, sebagai generasi muda lamaholot, merasa bersyukur karena masih mendapati kehidupan adat yang keras ini ketika masih kecil dulu. Saya masih mendapati dan menyaksikan batapa inak-inak ata labala di kampong saya yang ditinggal pergi sang suami merantau. Bekerja seorang diri di kebun seorang diri pergi penetan alias berdagang dengan sistem barter dari satu kampong ke kampong lain. Ini dilakukan hanya untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil.

Hal yang paling saya kenang ketika masa kecil dahulu, bila tiba musim mula wata (menanam) dan musim belo wata (memenen), para inak-inak tangguh ini punya ritual gemohin (gotong royong) menanam atau memanen apa-wata (hasil kebun).

Tradisi gemohin menemukan momentumnya yang pas bagi para perempuan malang ini. Kegiatan ini selanjutnya dijadikan ajang untuk saling curhat dan saling menguatkan dan berbagi kepada sesame. Mereka merasa memiliki  nasib dan garis hidup yang nyaris persis. Perlahan, dengan tradisi gemohin ini, perlahan mereka bisa melupakan kemalangan, pahit getirnya kehidupan karena ditinggal pergi suami merantau dan entah kapan akan pulang ke labala.

Ketangguhan dan kesetiaan perempuan lamaholot ini mencapai puncak pembuktian ketika mereka para parempuan mendengar kabar,  sang suami  telah beristri lagi di tanah rantau. Namun mereka tetap setia pada asangannya. Sembari menunggu  sang suami pulang dengan istri barunya itu,  seorang perempuan lamaholot ini berusaha untuk terus merawat dan mencari nafkah menghidupi nak-anaknya. Sungguh saya tak sanggup membayangkan ada kehidupan yang seperti ini yang dialami para inak-inak di kampong saya.

Dari kenyataan ini, bagi saya sebagai generasi lamaholot, kehidupan perempuan lamaholot adalah kehidupan yang mengagumkan. Dari sinilah nilai-nilai ketabahan, kesetiaan,  dan kejujuran khas perempuan lamaholot diwariskan kepada nuba-sili (putra-putri). Generasi yang akan akan melanjutkan perjuangan hidup yang tidak mudah ini. (**)

0 komentar:

Posting Komentar