Selasa, 25 Juni 2013

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Oleh Hamba Moehammad


Pantai Teluk Labala-Leworaja, Lembata-NTT
Masih banyak kenangan yang ingin kukisahkan darimu. Tapi aku ragu adakaah ribu-ratumu yang sudi menyimaknya?

Di pantai Wailolon-mu yang sepi aku berdiri. Sembari bersandar di bawah pohon ketapang. Dikitari  rimbun  pohon kelapa dengan daun yang menari gemulai dirayu angin.  Aku diam sejenak, tepekur  memandangi laut sawu-mu yang tak henti menggelorakan kegusaran. Apa yang hendak kau  katakan? Tak ada. Aku malah melihat serpihan hatiku yang melayaang di permukaan laut Wutun Leworaja-mu. serpihan yang menyisakan luka goresan memerah dan segaris darah.


Ini hari sabtu. Hari pasar bagi masyarakat di Kecamatan Wulandoni dan Kecamatan Atadei. Kulihat ribu-ratu-mu lalu lalang dari Kahatawa ke Wulandoni tanpa melirik sungai wailei yang malas beriak dan mesum. Penuh misteri dikala musim kemarau tiba.


Dulu kukenal kau begitu cantik memikat; Wutun Lusitobo-mu nan indah, pantai Watonama-mu  yang unik, pantai Baka-mu yang berombak garang dengan pasir pantai dimana nuba-sili ata Leworaja yang riang bermain bola, ada juga muda-mudi Atakera yang sibuk bermandi riang di Waitewo dengan airnya yang berwarna putih susu. Juga pantai Kemeru Wutun dengan Watotena yang konon menjadi bukti sejarah eksodus masyarakat Labala dari Lepan-Batan, juga pasar Wulandoni yang terkenal itu, hinggah di Wutun Lelakewate-Nuhalela.


Kau masih ingat? Ketika timu teka wara pasan,  debur ombakmu menggulung dan pecah di atas Benapa Lukiono.  Dan pada pagi hari ketika mentari memanjat  di balik punggung Wutun Atadei dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinar sehingga berjuta-juta berlian berpendaran di permukaan laut Sawu-mu. Tapi sekarang apa? Bagai naga kelaparan yang minta sesajen, lautmu menggelorakan amarah.  Dia hanya meratap ketika pantaimu tak lagi landai dan tak terurus lagi, tergerus abrasi ketika pasang naik bulan Agustus.  Sementara kemajuan Lewotanah semakin membuatmu terpuruk dan menderita. Ribu-ratu-mu seenaknya mengeruk pasirmu untuk membangun rumah, gedung sekolah, kantor camat, kantor polisi,  markas tentara dan rupa-rupa bangunan lainnya. Ah mereka menyebutnya ini kemajuan? Tapi kemajuan justru membawa konsekuensi kerusakan pantaimu, sungai dan dan lautmu. Dan sepotong kenangan masa kecilku pun direnggut serta. Nyaris tak bersisa.


Dan sungaimu bernasib sama sialnya. Waibelehe kehilangan rumpun bambu yang kutanam bersama kawan-kawan waktu kecil dulu,  hutan lamantoro di sekitar tanjung Watobua pun kini habis dibabat untuk pakan ternak. Belum lagi pelebaran jalan yang melintas di punggung tanjung Leworajamu membuat pepohonan tua yang rindang peninggalan Belanda dan situs bersejarah peninggalan nenek moyang jadi korban gusuran buldozer proyek pemerinta. Katanya mau buat jalan. Tapi  sampai kapan?


Kau masih ingat? Sebagian kenaangan dan segenap kisah cinta masa kecilku terekam apik disini. mungkin dulu kau mengulum senyum maklum bila musim ombak tiba, kau tersenyum melihatku dan kawan-kawanku selepas jam sekolah, meski masih mengenakan seragam sekolah, dengaan sebilah papan kami berselancar di pantaai lukiono. tak peduli disemprot Inak dan Amak kami karena seragam sekolah sobek.


Kelakuan masa kecilku dulu memang kurang ajar . Tapi itulah kenangan masa kecil yang masi tersisa kini. Dan aku kadang termangu murung di bawah pohon ketapang ini, mengenal rasa kesepian untuk kesekian kali. Setelah itu, hanya bisa mengenang masa kecil yang kini telah menjadi lampau. Masa kanakku tergerus dengan  lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah di SD Inpres Luki, aku merantau menuntut ilmu di kota daeng. aku bahkan sempat lupa dengan sebuah teluk nan elok di pantai selatan Kabupaten Lembata yang pernah kuakrabi ini. Mungkin selama diperantauan meenuntut ilmu di kota,  aku hanya melihat kali atau kanal yang berlumpur dan berbu busuk.


Waktu kecil aku suka berlama-lama mandi bersama kawan-kawanku di lautmu sambil bermain dengan berlomba memilih batu karang berwarna putih untuk bermain benteng-bentengan, sedangkan amak-amak di kampung yang lagi duduk  santai sambil menjahit pukat di pantai mengingatkan kami agar jangan sampai lupa mengerjaakan PR sekolah.


"Ingat anak. Boleh main tapi jangan sampai lupa dengan tugas sekolah," kata salah seorang Amak mengingatkan kami dengan logat melayu malaysia suatu ketika. Terkadang karena keasyikan dan lupa waktu,  para amak-amak ini terpaksa  memksa kami untuk pulang ke rumah masing-masing bila magrib menjelang.


Kelembutan dan kasih sayang Inak dan Amak kami di kampung kemudiaan tergantikan  dengan ekspresi dingin sekaligus  tempramental kehidupan kota pada masa dewasaku hingga akhirnnya aku pulang  ke tepian pantaimu ini.


Waktu memiliki otoritas tak berbendung untuk mengubah segala hal termasuk kau, teluk kesukaanku. Ketika pertama memandangmu kembali, bermunculan potret-potret masa kecil dari laci ingtanku; wajah Inak dan Amak penuh amarah yang pernah kujahili bersama  kawan, pun wajah kawan-kawanku yang dulu saling berebut  tali pancing untuk memancing belut,  juga ukiran namaku dan nama kawan-kawanku di salah satu batang pohon asam yang kini tak lagi ada. Kata Inak-ku, pohon asam yang menjadi markas kami kecil dulu, kini telah tumbang jadi korban abrasi.


Pantaimu tampak asing sekarang. aku tak menuntut pasir putih, jejeran pohon kelapa,  dan pohon beringin seindah dulu, tapi bahkan bekasnya pun tidak. Semuanyaa sudah diseret gelombang pasang lautmu. Tak bisa lagi aku berteduh di bawahnya; menunggu para amak kami pulang melaut, memanjati batang dan dahannya, bermain perang-perengan di bawah pohonnya yang rindang.


Dengarlah wahai telukku. bukan hanya engkau. Barangkali aku pun telah berubah.  Setidaknya aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah lau kenal. dan bukan pula seorang pejabat pemerintah yang peduli menyusun program pelestarian lingkungan untuk mengembalikaan keelokanmu.  Aku datang sebagai seseorang yang pernah menghabiskan masa kanak di pantaimu, di sungaimu, di tanjungmu, juga di lautmu. dengan harapan,  kalak memandangmu bisa menggugah kembali ingatan akan segenap kenangan masa kecilku, menjadi pelipur lara, dan obat kereinduanku padamu.


Wahai telukku, inilah aku.  Kutengok masa kanakku. sungguh aku tak terkejut mendapai Waibelehe-mu merana,  pantai Lukiono-mu nestapa,  tanjung Leworaja-mu tercampakan, tanjung Watobua-mu kesepian, juga ribu-ratumu yang tak lagi peduli dengan nasibmu kini. Bukan hanya mereka yang diacuhkan,  bahkan kenangan masa kanakku pun tak sempat kuselamatkan, tak sanggup kututurkan kepada Nuba-Nara-mu kelak.


Wahai telukku, inilah aku. Masih ingatkaah kau pada si Hajon, si Dulah, si Kadir, si Tuen,  dan si Musa? Mereka semua adalah kawan kawan masa kanakku yang hampir tiap hari berenang di Laut Sawu-mu, berlari mengejar kepiting di pantai Wailolon-mu,  pergi mencari kerang di tanjung Lewworaja-mu, berpiknik ria di tanjung Watobua-mu. Kamilah anak-anak kecil yang nakal itu. kamilah bocah-bocah ingusan  waktu itu yang  gemar mengikuti perahu orang Ende mengebom ikan-ikanmu.


Dulu aku pergi tanpa pamit, kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkaan aku. Bisakah kita bersahabat kembali seperti masa kanakku dulu?


Mungkin persahabatan kita tak semesraa dulu. Tak bisa lagi aku berlari meengejar kepiting di pantaimu, berteduh di bawah pohon asammu,  atau mencari siput di tanjungmu. aku sendiri  tak setangkas dan tak seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.


Wahai telukku, naibmu kini seperti rumah Inak-ku di tobilangun. Tak bisa lagi berkutik.  Terjepit di antara rumah-rumah yang semakin rapat dan mendesak memaksa.  Lorong-lorong yang disemen beton pun menyempit. Tiada lagi tanah lapang di tobilangun yang dulu aku dan kawan-kawanku bisa sepuasnya bermain:  bato kote, patuk lele, botipehupasa karethoro maku loa selepas teraweh di mesjid.


Masih lekat dalam ingatanku, bila bulan purnama terang,  di tobilangun aku dan kawan-kawanku ramai bermain tarian tradisional: lili, liang, oha, sole, dolo-dolo dan rupa-rupa tarian lainnya. sayangnya semua keriangan masa kanak itu kini tinggal kenangan.

Begitu juga dengan rumah Amak-ku di pinggir Pantai Wailolon-mu. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran  Waibelehe yang selalu mendesis jika angin Laut Sawu membelai dedaunnya yang rimbun.


Disinilah aku berdiri. masih di bawah pohon ketapang di Pantai Wailolon-mu yang kikuk ini. coba menanggapi perubahan zaman. Kurenungi raut wajah pantaimu yang kini lesu pada saat gerimis akhir bulan desember menciumnya tanpa suara.



Disini ingin kuhabisi sisa usia sebab  disini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita masa kanakku.  Seperti juga aku, dia juga sudah berubah tak segemilang dulu. Tak terlihat lagi jejern pohon asam, ketapang dan beringin berjejer apik di pinggir pantainya, juga tak tampak lagi burung bangau  yang sibuk menncari kepiting dan bangkai ikan. Sementara suara elang dan camar laut  yang biasa berburu ikan, tak lagi tersimak. Kemajuan Lewotanah  yang tak dibarengi dengan kepedulian yang sungguh-sungguh dari ribu-ratu-nya, melengkapi derita telukku, teluk yang kini dirundung murung. (**)

0 komentar:

Posting Komentar