Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 17 Mei 2013

Banyak Kegilaan di Republik Ini

Banyak Kegilaan di Republik Ini

Oleh Hamba Moehammad

banyak sekali kegilaan yang terjadi di negeri ini. kegilaan yang saya maksudkan di sini adalah perilaku yang mengabaikan nurani. perilaku yang mencampakan rasa malu ketika melakukan tindakan atau perbuatan amoral. sikap tega menjadi tren yang sedang populer dan menjadi bahan perbincangan hangat akhir-akhir ini di media.

setiap hari kita disuguhi berita maraknya kejahatan. di jalanan ada pemerasan, pencopetan dan pembunuhan. di rumah ada perampokan, pemerkosaan, dan kekerasan rumah tangga. di kantor ada sogok, suap dan korupsi meraja lela. bahkan di tempat ibadah dan instansi agama marak terjadi pencurian, penipuan dan manipulasi.

nyaris tak lagi tersisa ruang hijau di republik ini untuk menghasilkan oksigen kewarasan. ruang di mana setiap orang sejenak berkontempelasi, mengembalikan ingatan batin, pikiran dan kesadaran spiritualitas dari sifat feodalisme, dan watak lemah. semua ruang-ruang itu terjamah polusi kegilaan yang semakin pekat dan berada diambang batas pencemaran yang nyaris total.

mungkin benar adanya seperti yang pernah di katakan Mochtar Lubis, bahwa orang indonesia termasuk jenis manusia hipokrit, berjiwa feodal, dan berwatak lemah. inilah macam ragam kegilaan  yang menjamah hampir di segala sudut hidup dan kehidupan bangsa ini.

orang indonesia perlahan-lahan mulai meninggalkan karakter aslinya.  sopan santun tak lagi laku dalam pergaulannya. rasa malu sudah dianggap kolot dan ketinggalan zaman. tenggang rasa dianggap kampungan, gotong royong telah diganti dengan gaya hidup nafsi-nafsi. sifat terpuji yang di wariskan leluhur bangsa ini telah dirampok oleh ketamakan dan keserakahan dengan memiliki sebanyak mungkin modal, menguasai sebanyak mungkin kursi jabatan  dan pengaruh.

sifat-sifat luhur perlahan luntur, diganti dengan sifat rakus para politikus. sifat santun diganti laku angkuh para pemangku. sifat jujur kian tak mujur, kalah tergusur oleh sifat kemaruk. kita menjadi lebih tamak (loba) dan tak mengenal kata cukup. selalu ingin lebih lagi dan lagi hingga akhirnya menjadi gila. gila kuasa, gila harta, gila penghormatan, dan masih banyak rupa-rupa kegilaan lainnya.

bukankah gila orang-orang yang senang memamerkan kemewahan di tengah-tengah kesengsaraan rakyat yang kelaparan? bukankah gila juga orang yang masih bisa tersenyum bak pahlawan ketika dihujat dan dihukum karena korupsi?

dunia ini memang tak hanya diisi oleh mereka yang ingin hidup waras.  mereka yang gila pun ingin hidup dan menunjukan eksistensinya. maka mereka yang merasa masih memiliki cukup kewarasan, memikul amanat suci untuk mengembalikan kewarasan orang-orang yang tak lagi waras alias mereka yang nyaris tak waras itu. tapi ini bukan pekerjaan mudah. butuh komitmen dan konsistensi selain modal tenaga, pikiran dan waktu.

pada kadar tertentu, kegilaan juga kadang menjadikan mereka yang merasa masih waras lebih waspada dan punya persiapan menghadapi aneka kegilaan-kegilaan lain yang meraja.

di sini, hidup memang kadang menemukan kegilaanya sendiri. dari kegilaan inilah, hidup menjadi lebih dinamis, lebih riuh, lebih ramai dan penuh warna-warni. dengan demikian, mereka yang merasa masih waras, punya tanggung jawab untuk menyadarkan mereka yang tak lagi waras. berat memang. tapi ini amanat suci. terkadang memang kita butuh cara kerja dan tindakan gila untuk menghentikan kegilaan. ah serba gila memang. (HM)

Relatifitas Kebenaran

Relatifitas Kebenaran

Oleh Hamba Moehammad

kita sering  membincangkan kebenaran. bahkan kita kerap mengampanyekan penting dan perlunya kebenaran. karena sebagai jamaknya, kebenaran  yang dalam istilah agama dikenal dengan al-haq, dianggap memiliki nilai luhur atau kemuliaan.

lawan atau musuh dari kebenaran adalah kebatilan. di sini kita menganggap kebatilan mengandung nilai-nilai destruktif. daya yang merusak. dengan demikian  dia harus dijauhi, bila perlu dienyahkan.

tapi  apakah mungkin kebatilan bisa dienyahkan? lebih tepatnya, bisakah kebenaran diceraikan dari kebatilan?

untuk mengetahui atau mengenal sesuatu, apalagi  sesuatu  yang normatif, kita juga harus berlaku adil. maksudnya, kita juga sepantasnya memperlakukan dua hal yang kontradiksi untuk diperbandingkan. termasuk menjadikan kebatilan sebagai pembanding  sesuatu yang kita anggap benar. bukankah untuk mengetahui terang, kita juga harus mengenal gelap?

semua pahaman dan keyakinan kita akan kebenaran hanyalah upaya maksimal kita dalam menemukan kesempurnaan. termasuk pahaman dan keyakinan kita akan kebenaran yang bersumber dari  Tuhan sendiri.

kita hanya bisa menemukan kebenaran itu, manakala segenap kemampuan dan wawasan kita memenuhi standar kualifikasi kelayakan. itu pun tak menjamin pencarian kita  sampai pada tahap final menemukan kebenaran yang utuh, yang sejati.

upaya kita dalam memahami dan meyakini dalam mencari kesempurnaan barangkali tak sepenuhnya utuh dan tuntas. karena kebenaran  itu bersifat relatif. apa pun bentuk dan jenis kebenaran itu. termasuk, sekali lagi, kebenaran dari tuhan sendiri.

satu-satunya kebenaran sejati, kebenaran yang mutlak adalah tuhan. karena dia, sebagai mana bahasa kitab suci, adalah hakikat kebenaran. tapi bila kebenaran itu keluar dan terpisah dari hakikat tuhan, maka kebenaran menjadi relatif. dengan sendirinya kebenaran memiliki ruang untuk di perdebatkan.

akhirnya, meyakini kebenaran, berarti pula menyadari setiap jengkal kemungkinan kesalahan sebagai perbandingan.  ketika kita tak menjadikan kesalahan sebagai pembanding dari kebenaran, bohong belaka jika kita mengklaim mampu  menemukan hakikat kebenaran itu.

kita (manusia) memang selalu diperhadapkan dua hal yang paradoks untuk menemukan dan kemudian menentukan pilihan. termasuk menemukan dan menentukan kebenaran akan kebenaran itu sendiri. kebenaran yang relatif, kebenaran yang nisbih itu. (HM)

Rasa Peduli Telah Pergi

Ketika Rasa Peduli Telah Pergi

Oleh Hamba Moehammad

Kata Albert Enstein, dunia adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk didiami, bukan karena orang-orangnya jahat, tapi karena orang-orangnya tak peduli.

Enstein mungkin benar. bagaimana pun juga, maraknya kejahatan yang meraja lela di dunia ini karena kita kehilangan kepedulian. kepada sesama, kepada lingkungan, bahkan dengan Tuhan sekali pun kita tak lagi peduli dengan perintah dan larangannya.

kepedulian kita perlahan anjlok hingga ke titik yang teramat nadir. kesibukan berburu di medan persaingan membuat kita kehilangan rasa peduli. tak ada waktu untuk sekadar jedah, tak ada batas untuk selesai. kita berpacu bak roda gila. menggilas semua kesempatan kita untuk peduli.

Kesibukan inilah barang kali  yang menjadi salah satu pemicu betapa kita tak lagi saling peduli. yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana cara menyingkirkan, menghalau,  dan mengusir paksa orang-orang yang disinyalir berpotensi menjadi pesaing kita. di arena tikai dan seteru. lain tidak.

serta merta pikiran kita pun tersita. tenaga kita tersita.  bahkan cinta kita pun tersita. nyaris tak  ada lagi ruang kepedulian. habis hanya untuk memenuhi dan memuaskan keinginan dan ambisi. tapi apakah ambisi dan keinginan  bisa dipuaskan?

kepedulian kini menjadi barang langka. nyaris punah dari hati dan pikiran kita. kalau pun masih ada, keberadaannya disertai pamrih, mencari untung semata.

yang tulus, yang lurus, dan yang mulus, hanya menjadi hiasan kata kala berkhutbah. selebihnya menjadi catatan dalam kitab yang tertata apik daam arsip museum sejarah. tertutup debu zaman yang semakin kelabu. (HM)

Lupa Ingatan

Lupa Ingatan

Oleh Hamba Moehammad

ketika saya menyebut kata "lupa"  dan "ingat", apa yang terbayang dalam benak anda? 


lupa dan ingat; dua kata yang sering kita salah kapra ketika berusaha memahaminya. kita kesulitan menempatkannya dalam konteks. malah sering memelesetkannya.

pemelesetan yang paling terkenal dan sering kita dengar bahkan kita sebut adalah "lupa ingatan". apa sebenarnya makna dari kalimat ini? dua kata yang sebenarnya bertentangan nakna, namun dipaksakan bersanding mesra  untuk sebuah makna yang sama sekali berbeda.

jangan bilang kalau kita adalah orang-orang yang berbaik hati menciptakan perdamaian termasuk mendamaikan  kata "lupa dan ingat menjadi "lupa ingatan" itu. ah betapa absurdnya.

sampai hari ini saya masih kebingungan mencerna kalimat "lupa ingatan" ini. mungkin maksud awalnya adalah  terjadinya kepikunan yang disebabkan umur yang sudah sangat uzur atau penyakit tua.

tapi entah mengapa kalimat ini kemudian berkembang maknanya untuk menggambarkan seseorang yang tak lagi waras. jangan-jangan kita memang sudah tak lagi waras sebagaimana maksud kalimat itu. hanya Tuhan yang tahu.

ingat artinya berada dalam pikiran atau tidak lupa. ingat juga berarti timbul lagi dalam pikiran. ingat juga berarti sadar  dan memikirkan sesuatu.

sedangkan lupa artinya lepas dari ingatan atau tidak dalam pikiran. lupa juga berarti  tidak teringat atau tidak sadar, tidak sadar akan keadaan dirinya atau keadaan sekelilingnya. lupa juga berarti lalai.

pada intinya, ingat artinya tidak lupa, dan lupa artinya tidak ingat. luar biasa. begitu mudanya kita mempermainkan makna kata-kata dengan hanya membolak-baliknya, kita sudah mendapat pahaman terhadap kedua kata ini.

terlepas dari pengertian secara harfiah kedua kata di atas, ingat dan lupa tidak bisa diartikan atau ditafsirkan secara parsial. pengertian dan pemaknaannya harus sesuai konteks.

meski pada kenyataanya , kita sering memahami kata ingat selalu berhubungan dengan hal-hal yang positif. sedangkan kata lupa selalu dihubungkan dengan hal-hal yang negatif.

dalam konteks sosial, ingat artinya peduli. memikirkan atau punya kepekaan sosial yang tinggi kepada sesama. bentuk kepedulian ini bisa berupa memberikan pertolongan atau bantuan kepada sesama yang membutuhkan.

sedang lupa justru sebaliknya. kata ini sering diasosiasikan dengan perilaku  tak membalas budi atau jasa baik. orang mengenal istilah, kacang lupa kulit, artinya, perbuatan seseorang yang tidak tahu berterima kasih. dan masih banyak lagi ungkapan yang cenderung menganaktirikan kata lupa dalam kamus berbahasa kita.

di sini ada kebajikan yang di semai dari pemaknaan kedua kata ini; lupa dan ingat. dengan sendirinya ada kenangan dan nostalgia, buah dari ingat dan lupa dalam konteks manusia dan kemanusiaan . bukan malah memelesetkannya sehingga membuat kita menjadi orang yang "lupa ingatan" kepada segenap kebajikan kata; termasuk lupa dan ingat-yang dikaruniakan kepada kita. (HM)

Matahari, Bulan, dan Kau

Matahari, Bulan, dan Kau

Oleh Hamba Moehammad

Malam yang dingin. Hanya suara ombak yang pecah gelisah di pinggir talut pantai. Juga bising kendaraan di jalan kota yang sibuk.  Sementara kita hanya diam di atas coran  beton talut Pantai Losari. Masing-masing kita coba mereka kata yang pas untuk memulai pembicaraan. Hujan masih saja gerimis, dan kita masih di sana.

"Kau tahu? Aku mencintai tiga hal di dunia ini," aku coba memecah kesunyian. Kulihat kau terkejut. Dan coba mencerna kata-kataku barusan.

"O ya? apa itu?" kau bertanya dengan suara gemetar dan wajah yang bersemu merah.

"Aku mencintai Matahari, Bulan, dan Kau," kataku dengan suara mantap. Kali ini lebih berani seperti tanpa beban. Belum habis rasa penasaranmu, aku melanjutkan, "Matahari untuk siang, Bulan untuk malam, dan Kau untuk selamanya."

Kau hanya tersenyum menatapku. Menurutmu, sebagai lelaki pendiam, aku terlalu pandai merayu. Atau aku memang tipe lelaki yang selalu menyenangkan orang lain, termasuk kau. Atau jangan-jangan.... Ah untuk saa ini aku tak peduli seperti apa penilaianmu.  Aku hanya ingin melihat kau tersenyum. Menurutku, kau wanita yang memiliki senyum paling manis. aku tak dusta. sungguh.

Tapi itu dulu. Saat kita masih bersama. Waktu itu malam minggu. Kau masih ingat kan? Pantai Losari adalah tempat vaforit kita. Di sana kita saling bertukar kisah. Menceritakan apa saja yang ingin kita ceritakan.

Entah mengapa, kita tiba-tiba saling bertanya:  Akankah gerimis ini segera berlalu dan memberi jedah untuk kita  menyulam tangkai-tangkai kebersamaan, merangkainya menjadi bebunga kerinduan?

Aku tak tahu.

Tapi itu tak masalah.

Sejenak kita saling bersitatap. Meletakkan pandangan dalam perasaan masing masing.

Hujan masih saja merintik. Di seberang jalan, gemerlap lampu masih setia. Ditambah lanskap kota: Gedung gedung yang menjulang, jejeran gerobak para penjual pisang epe,  lapak-lapak pedangang kaki lima yang remang,  penjaja buah-buahan,  restoran dengan  taburan lampu kelap-kelip,  pasangan muda-mudi  berjalan lambat sambil bergandeng tangan, bocah-bocah pengamen menenteng gitar menjajakan beberapa judul lagu romantis kepada pasangan muda-mudi yang memadati anjungan pantai, juga tukang parkir yang tengah sibuk menagih ongkos parkir.

Dan kau mulai bercerita soal bulan purnama itu. (yah bulan purnama yang kemudian merenggut kebahagiaan itu).

Bahwasannya pada suatu malam minggu yang ceriah,  kalian pernah duduk berdua di halaman rumah di kampung. Zaky,  suamimu yang katamu pria blasteran Arab-Makassar. ( aku membayangkan bentuk wajah blasterannya itu. Barangkali dia mirip Reza Rahadian, sang pemeran BJ Habibie dalam film "Habibie & Ainun" ). Dan katamu kemudian,  bulan purnama muncul dari rerimbunan pohon akasia di depan rumah kalian.

Katamu, Zaky terpesona melihatnya. Katanya, dia baru pertama kali melihat  bulan purnama. Apalagi bulan purnama yang indah seperti malam itu.

"Sayang, itu bulan purnama kan? Indah sekali rupanya. Aku baru pertama kali melihatnya."

"Iya, itu bulan purnama sayang. Memangnya kamu belum pernah melihat sebelum ini?"

"Belum sayang.  Aku kan dari kecil  tinggal di ibu kota. di sana siang dan malam sama sibuknya. Mana sempat merlihat bulan?"

Dan kamu tahu? Zaky memandang dengan penuh takjub, tak henti-henti sehingga seluruh sinar bulan menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang, ternyata ia baru pertama kali melihat yang namanya bulan purnama. Dan dia bertanya lagi, "Apa yang kamu rasakan bila bulan purnama seindah ini sayang?" Aku sempat bingung dengan pertanyaannya. Dan kujawab saja,  aku merasa lebih tenang dan tentu saja bahagia, apa lagi bersama suami sepertimu di sampingku. (Ah cerita kemesraan seperti ini yang paling kubenci.  Cerita yang tak sudi kusimak barang sepatah kata pun). Kami diam. Untung ada penjual kue putu yang lewat di depan rumah. Kata Zaky,  ia suka kue putu. Kue kesukaan yang sering dibuat neneknya yang asli makassar. Dan tak ada lagi pertanyaan Zaky yang kerap membuatku kelabakan menjawabnya.

Permisi. Aku ingin minta ijin padamu untuk turut bergembira, mengucapkan selamat atas kebahagiaan kalian dan aku ingin mengatakan bahwa suamimu itu benar-benar lelaki yang sungguh perhatian dan romantis tentunya. Dia memang pantas menjai pendamping hidupmu.

(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian dan benci mengatakan pujian palsu ini).

Kuingat semua ceritamu: Tentang seorang pengusaha muda ibu kota yang baik hati dan tentu saja ganteng karena memiliki darah blasteran. Berlatar belakang keluarga  "Karaeng" dari garis keturunan ibu. Katamu,  dia masih punya hubungan keluarga  denganmu.

Dia masih muda dan punya daya pikat yang luar biasa. Apa lagi bagi perempuan yang menginginkan pasangan hidup yang muda, sukses, dan tentu saja ganteng. (Barangkali kriteria itu juga yang kau inginkan).

Aku menambahkan, "Meski demikian, sebenarnya ia selalu merindukan cintanya yang hilang. Menulis sajak yang drahasiakannya, dan  menyusun surat cinta yang tak pernah dikirimkan."

Kau tersenyum dengan mimik meledek.

"Lalu ia mencoba pulang, entah dengan alasan apa," katamu

(Ah kau  ini memang paling bisa membuat kupingku panas)

Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakannya, aku menambahkan lagi.

kemuian dia bertemu dengan cintanya yang membuat penderitaan itu. Dia telah memiliki suami dan rajin bercerita tentang suaminya itu. Mulai dari awal perkenalan dengan calon mertua, hari-hari bahagia pra dan pascapernikahannya, sampai  soal bulan purnama yang tiba-tiba muncul di balik rerimbunan pohon akasia di depan rumahnya. Mereka berusaha berbagi kebahagiaan seolah tak pernah terjadi apa-apa, tak pernah mengenal satu sama lain,  tak pernah menyentuh satu sama lain.

"Apakah pertemuan itu suatu kebetulan?" itu salah satu pertanyaanmu.

"Kebetulan? Apakah itu kebetulan?" Jawabku sekenanya. "Apakah seperti koin undian yang dihempaskan ke udara oleh wasit saat pertandingan sepak bola akan dimulai, atau saat dimana kita seperti hantu jelangkung yang datang tak diundang, pulang tanpa pamit?"

"Ironis. Barangkali sudah tiada lagi tempat untukmu menyimpan  segenap kenangan dengan bait-bait puisi paling pilu. sepertinya dunia sudah sesak, sudah penuh."

"Dan tahukah kau, nestapa apakah yang paling menyakitkan dari seorang wanita sepertimu?  Adalah dilupakan. Dari hati juga pikiran.  Bahkan dihapus  dari kalimat cinta ter-absurd yang ditulis paling terakhir sekalipun."

Dan kita bungkam.  Masing-masing sibuk dengan tanya yang berkecamuk, berseliweran seperti rintik hujan yang belum juga mau reda hingga saat ini.

Dendam membara dalam tungku pembakaran salah seorang penjual pisang epe.

Aku duduk menyandarkan punggung di tiang listrik malam ini.  Masih di tempat yang sama  seperti saat kita bersama di pantai ini.  Coba menghirup angin laut  selat makassar  malam ini tanpamu.

Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya lampu kapal yang datang dan pergi dari pelabuhan peti kemas Soekarno-Hatta Makassar saling berpapasan.  Sementara jalanan kota hingga larut ini masih gaduh.  Dan kita seperti melaju bersama rembesan air laut dalam pori-pori  talut beton Pantai Losari.  Lagu-lagu cinta dinyanyikan bocah-bocah pengamen semakin membuat pasangan muda mudi yang duduk berjejer sepanjang  anjungan pantai Losari, tenggelam dalam bahagia.  Bahagia yang bisa terbaca  dari senyum mesra mereka. Dan kita pun hanya bisa menahan tawa saat lirik lagu dari Naff seperti sengaja dilemparkan  oleh dua bocah pengamen kepada kita: "Seluruh cinta telah kudatangi, hanya cintamu yang kupilih. Seluruh hati telah kuselami, hanya hatimu yang kucari..."

Kita, pada hari  yang telah jadi lampau, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, waktu itu kau bersandar di bahuku, dan kadang kau diam-diam mencuri kesempatan untuk mencium pipiku dan mengatakan: "Senyummu terlalu manis untuk seorang lelaki pendiam yang berlagak serius." (Ah tatapanmu itu memang selalu menggoda).

Dan kita mengisi kebersamaan malam minggu waktu itu dengan menebak apa-apa saja yang terjadi di antara pasangan muda-mudi lain yang tengah berbahagia.

Seorang bocah pengamen berambut pirang mendekat.  Dengan gitar butut yang ditempeli stiker bergambar seorang penyanyi Regge berambut gimbal mengenakan kuplik di kepalanya.  Dia menawarkan judul lagu yang barangkali kuinginkan untuk dinyanyikannya. Dengan tersenyum aku meminta lagu dari grup musik Ungu. Seakan   menangkap kesepian diwajahku, dia pun melantunkan sebuah lagu: "Tahukah apa yang kau lakukan itu,  tahukah kau siksa diriku..." Aku hanya bisa tersenyum menengar suaranya yang serak itu. Tapi  dengan penuh semangat ia tetap mempersembahkan lagu itu untukku.  Aku berusaha menikmati setiap syair dan tarikan melodi dari gitar butut si bocah pengamen.

(ah Cinta memang gila. Tapi hidup ini juga memang benar-benar gila. Dan kita yang menjalaninya, berusaha menyesuaikan diri dengan cinta dan kehidupan ini).

Lampu-lampu jalanan kota masih setia. Sementara malam semakin melela. Dan jam terus berjalan. (**)