Senin, 21 April 2014

Purnama di Pantai Losari

Purnama di Pantai Losari

Oleh Hamba Moehammad

20 Maret 2012 (Ketika hujan lebat mengguyur kota)

Tak kusangka aku mengenalmu di sini. Meski tak pernah bertemu langsung, keakraban kita terjalin via media sosial facebook ini. Meski awalnya aku malu, namun rasa penasaran membuatku memberanikan diri berkenalan denganmu.

"Assalamualaikum...!!!" Aku mencoba menulis kalimat pertama. Tak peduli akan mendapat tanggapanmu. Ah apa peduliku? Toh kita kan belum pernah bertemu.

"Wa alaikum salam" akhirnya kau membalasku. Mungkin saat itu kau menganggapku cowok iseng.


"Pakabar?"


"Baik"

"Salam kenal."


"Iye salam kenal juga"

Dan setelah itu perkenalan kita terputus, lebih tepatnya berakhir untuk sementara waktu. Mungkin beribu tanya berjibun di benak masing-masing kita malam itu. Entah penasaran lantaran kau dan aku secepat itu akrab. Dalam hati, aku berharap kita bisa berkenalan lebih jauh lagi di lain kesempatan.

*** *** ***

11 Juli 2012 (Awan berarak di langit kota  Daeng)

Siang yang terik. Bersama seorang teman, aku baru saja tiba di sekretariat Lembaga Pers Kampus. Tugas liputan. Di bawah pohon yang rindang, udara siang sedikit membuat perasaanku sedikit lebih tenang.

Sembari mengetik berita hasil liputan, saya mencoba browsing internet untuk mencari tambahan data liputan. Tidak lupa juga kubuka akun facebook-ku. Dan aku tiba-tiba mengingat sebuah nama. Purnama, yah Purnama Jelita. Nama yang entah mengapa menyita ingatanku. Nama seseorang yang seingatku beberapa minggu yang lalu sempat menjalin obrolan via Facebook. Penasaran, aku mengecek nama-nama yang aktif dalam obrolan. Dan Syukurlah nama yang hendak kucari, siang itu memang sedang aktif. Dan perkenalan lanjutan pun dimulai.

"Purnama?


"Iya"


"Salam kenal ndi"

Wah cilaka dua belas. Obrolan tiba-tiba berhenti. Lebih tepatnya terputus. Aku penasaran. Apakah jaringan yang putus-nyambung? Atau apakah ada kata-kata perkenalanku yang salah? Atau cewek yang kuajak ngobrol itu lagi tidak mempedulikan cowok malang di sini? Tapi aku tak putus asa. Kucoba lagi dengan prinsip, cewek itu memang susah dirayu. Butuh usaha ekstra untuk menaklukan cewek-cewek yang teguh.

"Hy," aku coba memulai.
"Hy juga" ternyata dia merespon
"Ikut demo tadi kak?"

Heran. Kok dia yang lebih berani yah. Hatiku bungah. Semangatku terpompa.

"Ikut, tapi untuk meliput." Aku mulai meladeni.
"Saya juga, tapi cuma numpang ikut dari belakang soalnya mau ke ramayana. Hehe"

Dia terkekeh. Itu tandanya, rambu lampu hijau (Boleh lanjut). Seakan ketiban durian runtuh, aku tak buang-buang waktu. Hasil liputan kuacuhkan. Dan perkenalan pun mengalir seperti aliran air terjun Bantimurung di musim hujan.

"Hehehe. Apa kita bikin sekarang ndi?"
"Mau masak" singkat saja dia menjawab.
"Coto Makassar, Sop Konro, atau?" Pertanyaanku menggantung. Sengaja memang.
"Ayam kecap pedas"
"Wow! Pedasnya sampai ke sini..."
"Hahaha. Ok saya masak dulu ya Kak.."
"Ok. Ditunggu."

Menanyakan aktifitasnya. Klise memang. Tapi apa pedulimu kawan?

Purnama. Aku membayangkan empunya nama ini adaalah seorang perempuan cantik dan tentu saja jagoan. Maksud saya, jagoan memasak. Menurutku, untuk ukuran jaman kita sekarang, amat sangat jarang ada perempuan muda apa lagi yang masih berstatus mahasisswa jago memasak. Seperti kebanyakan teman perempuan se-kampusku, mereka kebanyakan membeli makanan jadi.

*** *** ***
18 September 2013 (Bulan malu-malu mengintip dari balik awan)

Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu hubungan kami semakin akrab. Bukan mau sombong kawan. Tidak hanya berhubungan di dunia maya, kami melanjutkan hubungan di dunia nyata. Yah dunia nyata. Oh jodoh memang tak jauh-jauh larinya, kata orang. Apalagi jodoh yang beratnya sudah 100 Kg. Saya jadi tak lagi ragu mengimani pepatah klasik, "Tak lari gunung walau dikejar".

Entah malam minggu yang kesekian, aku mengajaknya jalan-jalan. Biasanya kalau ingin mengajaknya pesiar, aku menawarkan tempat lain, seperti di Benteng Somba Opu supaya bisa jalan-jalan menikmati senja di sekitar sungai Jene Berang, atau ke benteng Ujung Pandang (Fort Roterdam) atau ke Pelabuhan Paotere biar bisa melihat perahu-perahu phinisi yang ramai bersandar di waktu sore. Tapi selalu ditolaknya.

"Ke Pantai Losari saja," katanya kepadaku saat aku hendak mengajaknya pesiar.
"Kita kan sering kesana. Apa nda bosan ndi?" tanyaku menimpali.
"Tidak ada kata bosan untuk sebuah kenangan,"
"Kenangan saat pertama jumpa?" Aku pura pura bertanya. Padahal dalam hati kagum bercampur senang dengan kata-katanya barusan. Wah "KENANGAN". (Harus ditulis semua dengan huruf kapital kawan)

Dia hanya mengangguk dan memandangku lekat. Tentu saja satu paket dengan senyum manisnya itu. Dia menggamit lenganku, dan kami pun pergi bersama.

Apel malam minggu di Pantai Kenangan itu selalu spesial. (Penyematan nama Pantai Losari dengan Pantai Kenangan adalah kesepakatan kami berdua. Alasannya? Ah tentu kau sudah paham kawan. Jadi tak perlulah aku jelaskan lagi). Bersama menghabiskan malam minggu dengan makan pisang epe, rebutan jangung bakar, singgah di penjual pisang hijau langganan dan rupa-rupa kenangan bersama.

Tak pernah kubayangkan kawan. Jalinan cintaku berawal dari obrolan via Facebook. Dan sudah berjalan dua bulan. Tak terasa memang. Masa-masa berdua adalah masa-masa indah bagi setiap muda-mudi seperti kami.

Selanjutnya hubungan kami mengalir seperti air sungai Jene Berang. Kadang beriak gelisah bila ada hal yang susah disepakati bersama, tapi tenang dan damai kala ada hal yang disenangi bersama. Lebay? Mungkin saja. Tapi apa peduliku? Lagi pula dalam kamus cinta, mana kenal kata lebay?

*** *** ***
1 Oktober 2012 (Bulan Berganti)

Tengah malam aku terbangun. Kutengok jam dinding di kamar kostku. Sudah pukul 01.30 Wita. Karena seharian menyelesaikan tugas liputan dan kuliah, aku kelelahan dan tidur lebih awal. Aku terbangun karena bunyi telepon selulerku merengek sedari tadi. Kubaca pesan yang tertera, rupanya tujuh kali panggilan tak terjawab. Dan ini nomor baru. Mataku masih berat karena kantuk. Ketika hendak tidur kembali, telepon selulerku tiba-tiba meraung kembali. Kulihat sebentar, ah nomor yang sama dan aku langsung menyambutnya.

"Benar ini dengan Arjuna?" Belum sempat aku bertanya, suara lelaki di seberang sana justru lebih dahulu bertanya. Bahkan menyebut-nyebut pula namaku. Kucoba mengenal baik-baik suara di seberang sana itu. Siapa tahu itu salah satu temanku atau orang yang mungkin aku kenal yang sedang ada perlu. Namun tetap nihil. Suara itu sama sekali tak aku kenal.

"Iya benar. Ini aku, Arjuna. Maaf, ini dengan siapa?" 

"Saya Aldo. Kamu kenal dengan Purnama?" aku penasaran. Lebih tepatnya heran. Belum sempat kenalan, dia menyebut-nyebut nama Purnama. Apa-apaan ini.

"Purnama? Purnama yang mana?" Aku bertanya balik memastikan nama yang disebutnya. Bisa saja kan yang dia maksudkannya itu Purnama yang lain?

"Ah kau itu pura-pura bertanya lagi. Purnama Jelita yang kuliah di Kampus Hijau itu" Suaranya berat bernada tinggi. Sepertinya dia emosi. Tapi apa masalahnya?

"Ooh. Saya kenal. Memangnya kenapa?" Suara kutekan pelan. Berusaha menetralkan suasana yang sepertinya tiba-tiba terasa tegang.

"Kamu berpacaran dengan Purnama?" Suara di seberang balik bertanya. Lebih tepatnya menginterogasi.

"Iya. Saya pacarnya Purnama," Aku menjawap pertanyaannya apa adanya. Tak ingin suasana semakin memanas.

"Sudah berapa lama kalian pacaran?"

"Sudah berjalan sekitar satu semester."

"Ooo jadi begitu yah. Kamu tahu tidak, kalau Purnama itu sudah punya pacar?"

Entah kenapa, aku tiba-tiba memutuskan pembicaraan di telepon selulerku. Sejenak berpikir kalau-kalau yang meneleponku tadi itu pria iseng. Selain itu, mungkin aku belum siap dan bisa menerima kenyataan kalau benar Purnama memang punya pacar yang lain.

Belum habis kegusaraan yang menggelayut dalam pikiranku, tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulerku. Masih dari nomor yang sama.

"Asal kau tahu, saya ini pacarnya Purnama. Dia itu pacar saya. Kami sudah lama menjalin hubungan. Kalau kau tidak percaya, tanyakan langsung sama dia." demikian pesan singkat yang kubaca.

"Saya minta, kau tinggalkan dia sekarang juga," Tiba-tiba dia mengirim sms kedua. Senaknya saja memintaku meniggalkan Purnama. Tapi aku tak membalas sms itu. 

"Dasar orang reseh. Memangnya kamu itu siapa?" Gumamku dalam hati. Jengkel.

Dan aku melewati sisa malam dengan menerka-nerka siapa gerangan lelaki yang tiba-tiba menelepon dan mengirim sms memintaku meninggalkan Purnama. Apakah dia mantan pacar Purnama, atau pengagum rahasianya Purnama, atau memang orang iseng yang ingin mengganggu hubunganku dengan Purnama yang telah berjalan selama ini?

*** *** ***
18 Oktober (Di atas pembaringan malamku)

Akhir-akhir ini aku sibuk. Agenda kegiatan di kampus begitu padat. Selain mengurus kuliah, kegiatan di Lembaga Pers tempat aku belajar menjadi seorang Jurnalis juga begitu padat. Nyaris waktuku tersita. 

"Kok nda pernah lagi ada kabar??? Masih sibuk ya????" Dia bertanya via chattingan Facebook. Aku tahu kalau dia lagi marah. Ini terbukti dengan menuliskan tanda tanya sampai beberapa deret.

Aku baru sadar kalau ini malam minggu. Dan sudah beberapa minggu ini aku jarang bertemu. Seringkali dia meneleponku untuk mengajakku sekadar jalan-jalan. Mengirimkan sms untuk sekadar ketemuan. Aku hanya bisa menjelaskan bahwa aku belum punya waktu untuk bertemu, sekalian meminta pengertiannya. Entah kenapa, selain sibuk, aku juga merasa tidak ingin bertemu dengannya semenjak si Aldo meneleponku malam itu.

"Iya. Ini masih banyak pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau sudah selesai nanti kita bisa ketemu," Aku berusaha memberikan alasan supaya dia bisa mengerti.
"Ya sudah. Urus saja pekerjaanmu itu." Itu balasannya. Dan kulihat jejaknya menghilang dari obrolan. 

*** *** ***
18 Mei 2013 (Tepat di Hari Ulang Tahunku)

Entah dia yang salah, atau aku yang khilaf, hubungan kami belakangan ini berlaku surut. Apa lagi semenjak kuberi tahu kalau seseorang bernama Aldo pernah menelepon dan menanyakan hubungan kami. Aku berusaha selalu memintanya untuk menjelaskan baik-baik duduk persoalan itu.

"Aku hanya ingin yang terbaik dari hubungan kita. Itu saja. Entah kemudian kita tetap bersama atau harus berpisah." Aku pernah meneleponnya, dan mengatakan demikian. Meminta pengertiannya dan memberinya pahaman. Namun dia hanya diam. Paling banter dia menangis sesenggukan. Air mata buayakah? Entahlah kawan.

Belakangan dia sering menghindar bila aku punya waktu luang, dan ingin mengajaknya jalan-jalan ke pantai kenangan itu. Pantai di mana pertama kali aku bertemu dengannya. Ah entah mengapa, kenangan sewaktu bersamanya kembali mengusik.

Hingga suatu ketika aku bersama seorang temaan ditugaskan meliput suasana malam minggu di Pantai Losari. Sebagai icon Kota Anging Mammiri, pantai ini memang menjadi tempat vaforit muda mudi untuk menghabiskan malam minggu bersama pasangan.

Beberapa saat mengelilingi anjungan pantai, deretan gerobak para penjual pisang epe, juga penjual mainan yang ramai memadati Pantai Losari, aku jadi teringat kenangan bersama Purnama. Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke penjual pisang epe lengganan kami. Hitung-hitung aku bisa mengenang kebersamaan saat berdua. Sementara temanku sibuk mengambil gambar.

Belum sempat duduk dan memesan menu pisang epe kesukaanku, pandanganku tertumbuk pada dua sosok pasangan muda-mudi yang tengah duduk bermesraan sembari menikmati menu pisang epe. Aku berjalan mendekati keduanya. Salah seorang di antaranya sangat kukenali. Seorang cewek berambut panjang tergerai, mengenakan baju kemeja yang dibalut jaket biru langit dipadu celana jeans. Senyum dan tawanya itu sangat aku kenal. Senyum dan tawa yang kadang membuatku rindu. Sementara di sampingnya duduk seorang cowok yang sama sekali tidak aku kenal. Berambut cepak dengan kaus oblong hitam, dipadu celana jeans biru.

"Selamat malam Purnama! Sudah lama di sini?" Yang kutanya tampak kaget. Berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba, dengan melempar senyum. Senyum yang dipaksakan. Dia mungkin tak menyangka kalau aku mampir di gerobak penjual pisang epe lengganan kami.

"Eh Arrr.. Arjuna? Baru datang?" Suaranya tercekat. Bibirnya tampak bergetar tak karuan. Karena tak tega melihatnya wajah pucat dan kegelisa di samping cowok itu, aku buru-buru (lebih tepatnya berpura-pura) memperkenalkan diri kepada cowok di sampingnya itu. Belakangan baru kutahu cowok itu bernama Aldo. Nama yang tempo itu meneleponku malam-malam. Menanyakan hubunganku dengan Purnama, dan memintaku meninggalkannya. Aku seperti pria bodo yang merayakan kebahagiaan mereka malam minggu ini. Bukan main.

"Oh ini yang namanya Arjuna ya. Makasih atas pengertiannya. Berkenan merelakan kembali hubungan saya dengan Purnama," Aku kaget mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian hanya bisa tersenyum getir. Berusaha menahan perasaan agar tidak terjadi keributan malam itu. Ternyata ini alasannya menghindar dariku selama ini. Dia telah kembali kepada kekasih lamanya. Sementara kulihat dia hanya duduk mematung.

"Juna! Arjuna! Ayo pulang! Ada panggilan penting dari redaktur. Katanya ada keributan di kampus," tiba tiba Arif, fotografer yang menemaniku meliput malam itu menggamit lenganku dan memintaku segera pulang. Aku segera mohon pamit kepada keduanya dan meminta kepada penjual pisang epe untuk membungkus menu pesanan pisang epe-ku.

Aku dan arif melangkah menjauh dari gerobak penjual pisang epe langganan kami itu. Sebelum benar-be nar jauh dari gerobak penjual itu, aku membalik badan dan memandangnya dengan senyum. Itulah senyum terakhirku untuknya. Dia hanya mematung dikursinya dan balas memandangku dengan tatapan dingin, sedingin hawa angin laut Selat Makassar yang berembus malam itu. Dan entah kenapa seketika badanku menggigil. Dingin yang tak bisa kujelaskan, merasuk hingga ketulang-tulangku. (**)

Makassar, Oktober-November2013.

0 komentar:

Posting Komentar