Jumat, 18 Oktober 2013

Senja Merah Lungkrah


Oleh Hamba Moehammad* 

Ambo’, dalam  laci-laci ingatanku, sejarah  mencatat apik kebesaran dan semangat  juangnya berdentang.  Ingatanku  menyelinap pada masa silam . Di matanya tergambar keberanian. Membela panji kebenaran dan  meringkus kemungkaran di tanah  leluhurnya; Batara Gowa

Indo’,  ingatanku  berkelana mengitari waktu yang kini telah jadi lampau, bergambar  lelaki gagah dengan sebilah badik tersampir di pinggang. Raut wajahnya  memerah, meneriakkan perlawanan terhadap angkara murka. Dialah I Mallombasi, Sang  Haantjes van Het Oosten.

***              ***              ***

I Mallombasi, nama pemuda itu. Tidak terlalu tinggi perawakannya, hitam gelap rambutnya disisir rapi. Mengkilap ditutupi passapu'.

Ia amat gelisa sebagai putra mahkota. Tanah kelahirannya didatangi oleh orang-orang bule bermata biru. Kapal-kapal dagang kaum kompeni ini ramai. Berlayar mengintai di perairan laut negerinya. Hatinya  tiris bagai diiris. Jiwanya bergoncang ketika melihat realita; kaum Kompeni ini sedang berusaha menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, berusaha mengambil alih dan menguasai jalur perdagangan laut di timur nusantara.

Tak hanya ingin menguasai jalur perdagangan, armada perang kaum kompeni yang besar dipimpin oleh Cornelis Speelman ingin menyerang tanah kelahirannya. Mengadu domba rakyatnya. Menguasai negerinya. Dan mengambil paksa hasil bumi negerinya.

Tak bisa tinggal diam, Ia mengangkat senjata melakukan perlawanan. Membela haknya, menjaga martabat tanah leluhurnya. Bersama pengikutnya  I Mallombasi menyusuri setapak meliuk, bergegas meski bulu kuduk bergidik. Melewati benteng-benteng sejarah pahit perjuangan leluhurnya.  Deru meriam bertalu-talu dibenaknya. Lelaki tegap dengan dada membusung itu terus saja menyusuri benteng, persawahan rakyat, perbukitan,  dan melewati sungai Jene Berang.

Kepahitan rakyatnya akan siasat licik para kaum kompeni terus terngiang dalam langit  ingatannya. Sesekali dia ingat pesan Indo’nya sebelum berangkat, “Putraku, bila kamu ingin berangkat berjuang, ingin mencari bening mata dan kejayaan negerimu, berangkatlah, carilah Tuan Guru.” Pesan yang menyayat.

Senja menggantung di langit, merah lungkrah di angkasa seolah bianglala  menjemput derik jengkrik agar memekik sepanjang malam. I Mallombasi tiba di sebuah gubuk tengah sawa. Jalan raya yang membelah sawah itu tidak begitu ramai, sementara deretan gubuk sederhana itu tak terlihat amat  jelas. Sebuah  panji berkibar dihempas angin. I Mallombasi ditemui oleh seorang pemuda di gubuk itu. Ia bertanya , apakah pemuda itu kenal dengan lelaki tua yang bernama Tuan Guru?

“Tuan Guru telah pergi. Ia menghilang semenjak jiwanya terpaut pada perempuan kaum kompeni putri tuan Spelmaan bernama Anelis. Cobalah kau datang ke rumahnya di tengah kebun sana,” telunjuk lelaki itu mengarah ke timur. Bahunya terguncang-guncang ketika berbicara.

“Maaf  Daeng, “ mengangguk dan punggungnya membungkuk “karena malam telah larut, bolehkah saya numpang tidur di sini barang semalam, saya datang dari negeri  jauh,”

“Oh, boleh! Boleh! Mari!”

Ke dalam gubuk itu I Mallombasi dipersilahkan  masuk. Terlihat empat orang pemuda berbincang-bincang dalam ruangan. Berkenalan. Ya, I Mallombasi diajak nimbrung. Mendengar kisah tentang nasib rakyat dan tanah airnya.
Mendengar obrolan mereka, I Mallombasi berpikir bahwa lima orang pemuda itu bisa mengkonsep  front perlawanan terhadap kaum kompeni yang semakin melanggengkan pengaruhnya di bumi pertiwi, merampas hak-hak rakyat dengan cara yang teramat culas.

Setelah dua jam berbincang, I Mallombasi meminta izin pada empat orang itu untuk menyampaikan maksud kedatangannya.  Daeng Malomo, lelaki yang duduk di samping kirinya membagikan minum. Mempersilahkan. Lima orang itu menenggak minuman. I Mallombasi melanjutkan pembicaraan.

“Kalau begitu, kiranya tuan sudi bergabung dengan kami,” tukas Daeng Nyompa.

“Hmm!” berpikir sejenak.

“Baiklah!”

                                      ***              ***              ***

Di Butta Bonto Manai Ilau orang-orang berambut pirang bermata biru tengah merampas harta orang-orang kampung. Bila mereka sedikit mengepalkan tangan untuk mempertahankan atau melawan, senapan ditodongkan ke kepala mereka. “Melawan? Meledak kepalamu,” ancam mereka. Tengik. Orang-orang bule itu memang tengik. Mereka meminta sapi yang dipelihara di kandang, juga beras yang disimpan di lumbung. Orang-orang kampung gemetar, ya, gemetar menghadapi mereka. Sebagian yang lain berlari ke tempat persembunyian.

“Kasih keluar semua ini,” pintanya dengan logat melayu yang kaku.

“Ampun tuan, sudah habis, tuan!” berjongkok di hadapan mereka.

“Hmmm, ini… ini orang mau bohong?” Geram.

“Tidak tuan, kami sudah tidak punya apa-apa,”

“Kamu orang, jika bohong, kubunuh keluarga kamu,” tegas orang bule yang lain dengan logat bahasa yang kurang fasih sembari menendang lelaki kurus kerempeng paruh baya itu dengan sepatu botnya.

Ampun tuan. Sungguh kami tidak bohong,”

Tawa sinis meledak di bibir mereka. Sapi yang dipelihara lelaki kurus itu dikeluarkan dari kandangnya. Dibawa pergi. Lelaki itu terus  meminta dan menangis di tanah agar sapi peliharaanitu tidak dibawa pergi. Lelaki kerempeng itu  terus menatap hingga bayang-bayang sapi merah indah hilang di matanya.

                                      ***              ***              ***

Fajar menyingsing di ufuk timur. Kicau burung mengalun pilu. Terang tanah menjadi pijakan perjuangan memar. I Mallombasi bersama kawan-kawannya menelisik pagi, menembus gugusan embun diujung ilalang, mereka mendatangi setiap kampung yang pernah didatangi kelompok orang-orang bermata biru itu. Butta Bonto Marannu merupakan satu-satunya kampung yang pernah terlibat perseteruan dengan mereka karena kompak melawan.
Daeng Malomo membagi teman-temannya. I Mallombasi berangkat menuju Butta Paccelekang dan Butta Pattalasang. Daeng Makatenga ke Butta Ombolo dan  Butta Mangasa. Sementara Daeng Marauleng dan Daeng Nyompa menuju Butta Bonto Manai Ilau dan Butta Bonto Manai ‘Iraya. Mereka ingin menyatukan visi dengan seluruh lapisan masyarakat kerajaan Gowa untuk melawan, karena orang-orang bule itu menyengat harta milik rakyatnya.

Mereka menyeka jantung perkampungan di pagi gemuk itu,  membakar semangat agar seluruh rakyat mengepalkan tangan mengusir para bajingan bermata biru itu. Dan tiba-tiba tampak dimata I Mallombasi, Daeng Marauleng dan Daeng Nyompa kembali. Tergesa-gesa. Gerimis mengalir di matanya. Haru bagai peluru yang mengentak jiwanya. Keduanya berlari-lari kecil.

“Persiapkan perang dan peralatan perang seadanya!” tukas Daeng Marauleng kepada I Mallombasi ketika ditemui di Butta Paccelekang.

“Mengapa?”

“Mereka membantai Butta Bonto Manai Ilau. Gubuk-gubuk rakyat dibakar, sebagian masyarakat dibunuh,”terangnya.

“Astaga!” I Mallombasi juga tergesa-gesa.

“Banyak anak-anak kecil yang dijadikan tawanan mereka. Tak peduli tangis meledak, tubuh kerempeng itu terus diseret,” lanjutnya.

Tiga orang itu segera memberi kabar kepada dua kawannya yang lain agar mereka minta orang-orang kampung yang didatanginya segera keluar dan berkumpul dan membawa persenjataan yang dimiliki. Lima orang itu dengan sangat amat singkat mendatangi seluruh kampung dan dengan singkat pula orang-orang kampung berkumpul disebuah rumah yang agak jauh dari jangkauan orang-orang bule.

“Maukah kalian melawan? Maukah kalian bergabung bersama kami untuk mengusir mereka dari tanah air kita ini?” seru I Mallombasi.

“Mauuu!! Serempak orang-orang kampung itu membalas seruannya.

“Kita harus melawan. Harus!’ tegas yang lain.

“Kalau begitu, mari kita berangkat ke Butta Bonto Manai Ilau. Mereka adalah saudara kita.”

Orang-orang kampung itu berangkat seolah mereka merasakan perih sedih orang-orang yang ditindas. Sebagian membawa busur, badik, tombak, parang dan aneka senjata yang bisa mereka gunakan. Lambat laun mereka mendekati Butta Bonto Manai Ilau. Asap melesat  ke udara. Mata dan muka pasukan I Mallombasi mulai memerah seolah garam yang ditabur dalam luka jiwanya.

“Jangan patah semangat. Kalian orang-orang pemberani. Kalian orang kuat. Kita bisa mengusir mereka.”
Tak ada yang bersuara, bunyi sandal membatur bebatu di tanah. I Mallombasi berada didepan dengan sebilah badik menghunus. Ia ingin menghentak kaum kompeni, orang-orang  bule bermata biru itu. Ia ingin menikam jantung mereka hingga nyawa mereka melayang.

“Lawaaan!!” teriakan menggasak udara.

“Allaaaaahu Akbar!!” orang-orang kampung lari menyerang kaum kompeni setelah mendengar kalimat takbir dikumandangkan dari mulit I Mallombasi. Hujan peluru meriam rubuh di tubuh para pejuang. Darah mendidih di tanah pertiwi.

Mendung makin tebal  menggantung di langit negeri leluhur Batara Gowa. Perang meledak. Tubuh amis cempedak. Mayat bergelimpangan disayat luka, diterjang peluru meriam. Nyawa melayang, ruh pergi dari tubuh demi kelong-kelong perlawanan. (**)

Keterangan :Indo : panggilan untuk Ibu
Ambo : panggilan untuk Bapak
Haantjes van Het Oosten : Ayam  Jago Dari Benua Timur. Julukan untuk Sultan HasanuddinI Mallombasi : Nama Asli Sultan Hasanuddin
Daeng : Panggilan hormat untuk para bangsawan orang Makassar
Passapu ' : Ikat kepala tradisional masyarakat Bugis-Makassar.
Kelong-kelong : Lagu-lagu perjuangan.

0 komentar:

Posting Komentar