Selasa, 22 Oktober 2013

Tentang Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme sastrawi adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960an memerkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru).
Pada 1973 Wolfe dan EW Johnson menyebutkan bahwa genre ini (jurnalisme baru) berbeda dari reportase sehari-hari, karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person poin of view), serta penuh dengan detail.
Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua, tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.
Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan penemuan Wolfe. Ada yang pakai nama “narrative reporting”. Ada juga yang pakai nama “passionate journalism”. Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh – tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.
Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjaid plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.
Menurut Robert Vare yang pernah bekerja untuk majalah The New Yorker, salah seorang dosen di Harvard University, ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak memilih narasi :
1. Fakta
Jurnalisme menyucikan fakta. Setiap detail harus berupa fakta. Namun jurnalisme sastrawi bukan yang ditulis dengan kata-kata puitis. Narasi boleh puitis, tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Verivikasi adalah esensi jurnalisme, maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.
2. Konflik
Suatu tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Sangketa bisa berupa pertikaiansatu orang dengan orang lain. Bisa berupa pertikaian antarkelompok. Namun sangketa juga bisa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Juga bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering jadi sangketa. Pendek kata, konflik unsur penting dalam narasi.
3. Karakter
Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengingat cerita. Ada karakter utama, karakter pembantu.
4. Akses
Seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.
5. Emosi
Bisa rasa cinta, pengkhianatan, kebencian, kesetiaan, kekaguman, sikap menjilat, dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita Anda hidup. Emosi juga bisa bolak-balik, mulanya cinta lalu benci. Mungkin ada pergulatan batin, perdebatan pemikiran.
6. Perjalanan Waktu
“Series of time”. Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis dari awal hingga akhir, atau mau membuat flashback. Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan.
7. Unsur Kebaruan
Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar.
Salah satu kesalahpahaman yang paling sering dijumpai oleh Andreas Harsono soal jurnalisme sastrawi terletak pada masalah ranahnya (domain). Budi Setiyono menerangkan bahwa jurnalisme hanya sah bila berada pada ranah fakta. Ia bagaimanapun adalah kerja kewartawanan. Seorang wartawan bisa jadi seorang sastrawan. Namun tak semua sastrawan, yang menulis fiksi, bisa disebut wartawan.
Bagi Andreas Harsono, jurnalisme sastrawi adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.
Septiawan Santana dalam bukunya “Menulis Feature” bahkan mengatakan : beruntung ada sastra. Karena menurutnya, ketika jurnalisme mengenal sastra, teknik penulisan feature menjadi sarana para jurnalis dalam mengembangkan materi liputannya. Dari situlah Septiawan berpendapat bahwa jurnalisme memulai eksperimentsi sastranya melalui feature, dalam pengembangan penulisan di kitaran penulisan berita (news) dan penulisan opini (views). Dalam berita, feature dipakai sebagai alat mengembangkan pemberitaan human interest.
Bicara soal penulisan gaya sastrawi, saya teringat akan definisi feature menurut Goenawan Mohammad dalam bukunya yang berjudul “Seandainya Saya Wartawan Tempo” bahwa feature tidak seperti penulisan berita biasa, karena penulisan ini memungkinkan wartawan “menciptakan” sebuah cerita.
Mungkin dari segi teknis penulisan, jurnalisme sastrawi dan feature ibarat satu rumpun, sama-sama rumpun sastrawi. Gaya penulisan ke dua berita ini mungkin bisa mengecohkan para pembaca yang sekaligus menjadi pengamat jurnalistik : ini feature atau jurnalisme sastrawi? Atau bisa saja begini : ini berita investigatif atau jurnalisme sastrawi?
Tetapi jika kita menelaah definisi jurnalisme sastrawi yang disodorkan oleh Andreas, maka akan terlihat kalimat seperti ini : reportase secara mendalam. Ini bermakna bahwa berita yang disajikan dalam jurnalisme sastrawi bersifat depth atau mungkin investigatif, bahkan menurut Wolfe, jurnalisme sastrawi lebih mendalam dari pada berita investigasi.
Menurut Ashadi Siregar dalam bukunya “Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa”, definisi laporan mendalam pada dasarnya memiliki struktur dan cara penulisan yang sama dengan berita kisah (feature). Perbedaanya terletak pada adanya unsur manusiawi yang terdapat dalam berita kisah yang belum tentu ditemukan dalam laporan mendalam.
Pemaparan sejumlah keterangan sebelumnya telah menghasilkan sebuah komparasi awal bahwa Feature, in depth reporting, dan jurnalisme sastrawi mengangkat sebuah informasi yang mungkin terabaikan situasinya dalam berita biasa di surat kabar.
Sedangkan keterangan unsur kedalaman berita, unsur manusiawi, dan sebagainya, menghasilkan sebuah komparasi kedua bahwa feature bukanlah in depth reporting atau keduanya bukanlah jurnalisme sastrawi. Meskipun dalam segi teknis, ketiga berita menggunakan gaya penulisan atau penuturan berkisah yang sama, dan dilengkapi dengan unsur manusiawi, emosi, dan sebagainya.
Menanggapi rasa prihatin Andreas terhadap nihilnya lahan jurnalisme sastrawi di ranah media massa cetak, saya rasa telah dijawab dengan singkat oleh Riyono Pratikno bahwa Indonesia telah menghadapi lima revolusi komunikasi secara serentak, sehingga di negara berkembang – seperti Indonesia – pengaruh yang segera tampak adalah cepatnya media elektronik diperkenalkan dan dipakai/ diterima dengan akibat tersedianya informasi bagi orang-orang yang masih buta huruf.
Melintangnya kendala pengembangan dan pemasaran jurnalisme sastrawi di kalangan masyarakat saya rasa terkait dengan unsur novelity atau kebaruan. Masyarakat sangat membutuhkan berita up to date dan live reporting untuk melihat langsung kejadian, dan itu hanya dimiliki oleh televisi. Surat kabar juga bisa dikatakan unggul, karena memiliki unsur detail yang ditunjang dengan data dan gambar. Setidaknya, meskipun berita langsung dalam surat kabar terlambat “adu lari” dengan berita televisi, namun kedua hal ini adalah kebutuhan utama masyarakat.
Sedangkan jurnalisme sastrawi bisa kita saksikan bersama dalam buku terbitan Pantau bahwa berita ini adalah berita yang tidak main-main, yang notabene membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengolahnya menjadi sebuah berita yang enak dan menarik. Faktanya, apakah masyarakat memiliki banyak waktu untuk membaca berita panjang? Apakah masyarakat sabar menunggu sebuah informasi? Apakah semua masyarakat tertarik dengan topik berita yang disajikan oleh media yang bersangkutan? Apakah masyarakat benar-benar membutuhkan kompleksitas permasalahan (fenomena disorot lewat sejumlah sudut pandang) agar mereka memeroleh pemahaman yang lebih baik, lengkap, dan menyeluruh? Jawabannya masih bias. Maka dari itu, perlu diadakan survei, sebelum media Indonesia berkiblat ke negara Adikuasa tanpa memertimbangkan kebutuhan masyarakat Indonesia secara matang – karena kita semua tahu Indonesia tidak sama dengan Amerika.
Sumber : Buku Jurnalisme Sastrawi
Penulis : Andreas Harsono dan Budi Setiyono

0 komentar:

Posting Komentar