Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan. Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 29 Januari 2013

Kesalahan: Kebenaran Yang Disalahtafsirkan


Kesalahan

Oleh : Muhammad Baran

Ketika ada yang bertanya kepadaku, apa itu kesalahan? Maka saya punya jawaban sendiri (tentu anda juga punya jawaban). Bagi saya, kesalahan adalah kebenaran yang disalahgunakan. Dia disalahartikan, bahkan disalahtafsirkan. Jika demikian maka dia akan salah diaplikasikan. Kesalahan juga berarti, katika kebenaraan yang tidak didukung oleh data dan fakta yang sahih (valid) . Kesalaahan yang terakhir ini barangkali disebut kesalahan akademik.

Tapi, apakah setiap kesalahan adalah pelanggaran, yang pelakunya harus dihukum? Untuk menjawab pertanyaan ini,  saya lebih memilih memungut (entah dimana) jawaban dari seorang bijak yang mengatakan, tak selamanya setiap kesalahan harus divonis sebagai dosa atau pelanggaran. Karena, kata Si Bijak ini, terkadang kesalahan yang kita perbuat merupakan cara kita belajar.

Yah dengan berbuat kesalahan, kita akan belajar menyadari bahwa inilah yang namanya kesalahan. Maka, alangkah tak waras kiranya  ketika kita sudah menyadari, bahwa yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan, namun tetap gagah dan pede  untuk mengulanginya lagi. Nah yang seperti ini barangkali namanya kurang ajar atau melampaui batas wajar.

Lalu, bagaimana dengan kesalahan yang tak disengaja? Tentu tak serta merta  kita kemudian berlindung di balik jargon klasik, "Tak ada manusia yang sempurna." Jargon ini menurut saya, sekedar pembenaran. hanya memberi ruang kepada kita untuk merasa,  sah-sah saja melakukan kesalahan dengan asumsi, toh tak ada manusia yang luput dari khilaf dan keliru.

Tapi inilah dunia kawan. Kita melewati setiap jengkal perjuangan, menjalani setiap hasta  hidup dengan semaksimal mungkin berupaya  meminimalisir kesalahan. Kesalahan yang kadang menjerumuskan, tapi kadang juga, sebagaimana kata si bijak di atas, kesalahan yang bisa menjadi cara kita belajar untuk tidak terperosok ke liang yang sama.

Akhirnya, kita hanya bisa menghitung surut hari perjalanan hidup kita. Sembari dalam hati menghitung-hitung, sudah berapa banyak kesalahan yang telah kita perbuat (disengaja atau tidak). Karena biar bagaimana pun, setiap laku perbuatan kita  mesti dipertanggungjawabkan secara moral, sebagai konsekuensi atas pilihan hidup kita.

Kita sama berharap, kesalahan yang kita perbuat adalah kesalahan yang masih dalam batas wajar. Yaitu,  kesalahan yang membuat kita belajar untuk tidak mengulanginya. sehingga besar kemungkinan,  Tuhan masih sudi berkompromi dengan kita. 

Tapi akan menjadi lain cerita bila kesalahan yang kita perbuat adalah kesalahan  yang di luar  batas wajar,  yang bahkan Tuhan sendiri pun tak punya alasan untuk  memaafkan kita.

Nah bila ini yang terjadi,  maka kita hanya bisa menanti berlakunya hukum Tuhan; siapa yang bersalah, akan dihukum, kecuali Tuhan sendiri berubah pikiran dan memutuskan lain. (**)

Rabu, 23 Januari 2013

Cerita Dari Surga

Cerita Dari Surga

di dalam surga, seorang anak muda protes kepada Tuhan.

Anak Muda: ya Tuhan kenapa aku kau tempatkan di surga paling rendah, sementara orang tua itu Engkau tempatkan di surga yang paling tinggi?

Tuhan: wahai anak muda, karena orang tua itu memiliki amal yang lebih banyak. hampir 70 tahun umurnya dihabiskannya untuk beribadah kepadaku. sedangkan kau, hanya 17 tahun umurmu kau gunakan untuk beribadah kepadaku.

Anak Muda: kalau begitu Tuhan,  kenapa Engkau tak memanjangkan saja umurku seperti orang tua itu agar aku juga bisa lebih banyak amal-ibadah kepada-Mu.

Tuhan: wahai anak muda, aku maha tahu. kalau aku memanjangkan umurmu,  kau akan banyak berbuat dosa kepadaku. makanya aku cepat-cepat  mencabut nyawamu sebelum sempat kau  berbuat dosa dan mati membawa dosa.

tiba-tiba,  terdengar suara teriakan dari dalam neraka, "Oh Tuhan, kalau begitu,  kenapa tak cepat-cepat  Engkau cabut saja nyawaku agar aku tak jadi penghuni neraka?."

******************

TUHAN adalah tekateki. Dia tak pernah tuntas dicari jawabnya. semakin DIA dicari, semakin penasaran para pencari dibuat-NYA. Dari DIA muasal kebenaran, kepada-NYA muara kesempurnaan. Kebenaran-NYA melampaui hukum sebab-akibat dunia. Kesempurnaan-NYA melampaui hukum grafitasi kehidupan.

teringat aku sebuah sajak;

sepanjang mencari selatanutara lagi utara lagisepanjang mencari timurbarat lagi barat lagisepanjang mencari adatiada lagi tiada lagi (Hasan Mustapa)

"Kebenaran itu dari Tuhanmu," kata-Nya dalam kitab suci. maka DIA mengingatkan, siapa yang PERCAYA, silahkan. Dan siapa yang INGKAR, juga silahkan. Tapi DIA mengingatkan,"Bagi yang ZALIM, tempat kembalinya adalah NERAKA." Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Tapi apakah kebenaran-NYA itu mutlak, sudah final dan selesai, sehingga tak boleh diganggu gugat?
Jika kebenaran telah selesai,jika kebenaran telah tamat,
jika kebenaran telah final,dan tak bisa lagi digugat,
Lalu untuk apa hidup ini,
lalu untuk apa dunia ini
lalu untuk apa semesta ini
lalu untuk apa perbedaan ini
lalu untuk apa kemajuan ini 

Kita memang hidup untuk mencari yang belum selesai itu...Karena tak ada yang kekal dan mutlak, termasuk kebenaran dari Tuhanyang sering diklaim sepihak itu. (*)

Keberagamaan di Negeri Syahdan

Keberagamaan di Negeri Syahdan

Candra Malik


Atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air comberan, dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa rasul yang mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti itu.

Inilah negeri syahdan. Nyaris segala sesuatu dibicarakan atas nama konon. Dari satu mulut ke satu telinga, berbisik-bisik, bicara di belakang punggung, demikian seterusnya, sampai jadilah sebuah pohon cerita yang akarnya sangat kuat, batangnya tangguh, cabang-cabangnya melebar ke mana-mana, dan jangan lagi bertanya bagaimana reranting kisah itu. Semakin jauh kabar ini diceritakan, semakin terperinci dia. Dan buah-buah dari pohon dongeng ini menjadi rebutan. Sebagian dipatuk oleh burung-burung dan diterbangkan semakin jauh lagi dan jadilah kabar burung berikutnya. Jadilah cerita-cerita baru yang semula tidak ada. 

Tapi tidak ada yang suka disebut menyebar rumor. Itu fitnah! Jika kau mulai menuduh mereka sebagai biang gosip, bersiap-siaplah dihujani dalil-dalil. Ya, negeri ini juga negeri dalil. Asalkan ada dalilnya, sesuatu dianggap sah, halal, berpahala, dan surgalah balasannya. Jika perilaku beragama diklasifikasikan menjadi tiga--yaitu beragama ala pencinta, beragama ala pedagang, dan beragama ala penagih--maka warga negeri ini lebih condong untuk beragama tidak dengan klasifikasi yang pertama. Cinta menjadi merek yang kurang menjual, sekaligus tidak bisa dipakai untuk menagih apa pun. Cinta cepat basi berhadapan dengan masyarakat negeri ini yang angin-anginan. Cinta tidak menarik untuk dilabeli halal. Justru jika dianggap melanggar aturan main. Penguasa negeri ini bisa-bisa akan mengadili cinta dan memfatwakan haram terhadapnya.

Beragama ala pedagang selalu berorientasi pada hitung-hitungan laba dan rugi. Jika berbuat ini, maka akan mendapat itu. Jika bersedekah, maka akan beroleh hadiah. Pemuka agama bersalin rupa menjadi makelar surga. Dalil-dalil tentang pahala disodorkan dalam setiap kesempatan. Entah mereka tidak paham, atau memang itulah yang mereka pahami, berlomba-lomba dalam kebaikan dipahami sebagai berlomba-lomba menumpuk pahala menjadi anak-anak tangga menembus langit sampai ke pintu surga. Semakin tinggi anak tangga yang mereka pijak, semakin kecil segala sesuatu yang tampak jika mereka menoleh ke belakang--dan ke bawah. Mereka semakin lupa diri dan lalai menginjak bumi.

Tuhan tidak pernah berdusta ketika Dia berfirman bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Kita saja yang tidak memahaminya secara jernih bahwa balasan kebaikan dari Tuhan itu adalah hadiah, imbalan, anugerah, karunia, atau apa pun namanya yang suka-suka Dia. Usia memang hanya berlaku untuk raga sehingga wajar saja jika banyak di antara kita yang berjiwa kekanak-kanakan meski raga sudah menua. Kita masih beragama dengan metode lolipop: mau disuruh ini-itu asalkan diberi permen atau uang jajan. Kita tidak mau menerima teori bahwa pada akhirnya bukan kebaikan dan pahala yang membawa kita sampai ke surga, melainkan keridhaan Tuhan.

Beragama ala penagih tidak lebih baik rasanya. Kita dipaksa-paksa untuk bersyukur atas apa yang kita terima, alami, rasakan, dan nikmati. Tidak cukup dengan bersyukur saja, kita juga dituntut untuk memberi lebih--padahal nyatanya tak ada dalil apa pun yang menyebut bahwa Tuhan meminta sesuatu dari hambanya, apalagi meminta balasan. Sedekah pun, bukankah untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan? Satu-satunya yang sampai kepada Tuhan, atau yang dihaturkan kepada-Nya, adalah ketakwaan. Bukan materi duniawi dalam bentuk apa pun. Karena itu, terasa janggal jika pemuka agama menunjukkan seribu wajah. Sangat nyaman dipandang ketika berurusan atas nama pahala dan surga, mendadak lebih bengis dari preman pasar ketika berganti topik menjadi soal dosa dan neraka.

Negeri ini semakin mengkhawatirkan ketika anak-anak di taman bermain dan sekolah dasar dididik untuk sekadar menghafal ayat-ayat. Apalagi ayat-ayat yang dihafalkan itu dikemas sedemikian rupa menjadi yel-yel yang menakutkan, semacam cinta mati pada agama tertentu. Cinta mati memang klise, nyaris selalu begitu dalam kisah-kisah asmara. Namun, apakah sudah waktunya anak-anak belajar memahami itu, apalagi jika cinta mati itu diajarkan dengan menghidupkan benci kepada pemeluk agama lain? Mencemaskan betapa anak-anak diajari untuk beranggapan bahwa perbedaan adalah suatu ancaman. Menyedihkan betapa anak-anak dicetak menjadi sosok-sosok fundamentalis justru oleh sekolah melalui ajaran tentang kekerasan dan ancaman kekerasan atas nama agama. Mereka seharusnya bermain secara alami dan tanpa prasangka kepada siapa pun temannya, bukan justru dipisah-pisahkan dalam penjara-penjara curiga dan dibeda-bedakan berdasarkan siapa Tuhannya.

Kita menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak dengan kasih dan sayang. Sebagian dari kita justru menyebut nama Tuhan dengan membawa-bawa pentungan dan memukul. Memecahi kaca, mendobrak pintu dan jendela, membakar, memaksakan kehendak, dan--semakin sering pula kita dengar--menyiksa, bahkan membunuh. Mereka meneriak-neriakkan Tuhan Maha Besar, namun justru amarah dan kemurkaan merekalah yang membesar sampai tak lagi terkendali. Atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air comberan, dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa rasul yang mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti itu. Ironisnya, istana negeri ini adalah istana yang sepi dan pendiam terhadap isu-isu seperti itu. Entah tuli, entah tidak peduli.

Tuhan sesungguhnya maha baik. Dia menciptakan manusia dengan anugerah akal dan hati. Akal untuk berpikir sehat, hati untuk berperasaan kuat. Jika sehat dan kuat menyatu, manusia bisa bermanfaat bagi kemanusiaan. Alangkah sangat baik Tuhan, yang tidak hanya mengkaruniai manusia dengan akal dan hati, namun juga menurunkan para rasul untuk menebarkan cinta kasih. Mereka membawa agama yang mengajarkan cinta kasih itu. Jika akal adalah pangkal pikiran sehat, hati adalah pangkal perasaan kuat, maka agama adalah pangkal perilaku baik. Jika pikiranmu sehat, perasaanmu kuat, dan perilakumu baik, orang lain tidak akan bertanya apa agama kita dan bagaimana kita beragama. Kita telah menjelma sebagai agama itu sendiri, yaitu pembawa cinta kasih bagi manusia dan kemanusiaan.

Tapi, bagaimanapun, negeri ini adalah negeri simbol. Masyarakat lebih mementingkan kerja lidah daripada kerja iman. Sampai-sampai, mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain pun menjadi pokok bahasan berhari-hari setiap tahun dan dikhawatirkan menggerus iman dalam tempo cepat. Sesiapa yang memakai simbol tertentu, ia segera dianggap sebagai perwujudan sejati dari karakter simbol itu. Tak mengherankan jika lambang palang merah pun harus diributkan untuk diganti, karena dianggap menonjolkan simbol agama tertentu sehingga menjadi ancaman bagi agama lain. Dikhawatirkan, jika lambangnya masih itu, aktivitas kemanusiaan di dalamnya akan disusupi penyebaran ajaran agama yang tampak dari simbol itu.

Negeri ini juga negeri rahasia umum. Hal-hal yang bersifat domestik dibawa ke ranah publik, dibicarakan secara tidak sopan dan sok tahu, seolah-olah setiap orang pernah mengalami dan merasakannya sehingga mengenal dan mengerti betul pangkal persoalannya dan berhak untuk ikut campur. Masyarakatnya latah: sahut-menyahut menjadi satu, itulah negeri ini. Kepulauan dan samudra yang memisahkan tidak lagi menjadi penghalang untuk membahas tema-tema hangat, mulai dari urusan rumah tangga orang lain sampai agama orang lain. Status kawin dalam kartu tanda penduduk seolah-olah harus diperjelas: kawin dengan siapa, istri nomor berapa, siri atau sah menurut negara? Status agama dalam kartu tanda penduduk pun harus dipertegas: liberal atau anti-liberal? Inilah negeri kita, dan kita menghabiskan sangat banyak energi untuk omong-kosong. *

http://koran.tempo.co/konten/2012/12/29/296186/Keberagamaan-di-Negeri-Syahdan

Prasangka

Prasangka*

Oleh: Muhammad Baran

Kita biasa mendengar kata prasangka. Bahkan kita sering kali mengulang kata itu dengan lidah kita sendiri dengan mengatakan, "Jangan berprasangka." Tapi tahukah kita apa makna sakral dibalik kata itu?

Kata orang (saya tidak punya definisi sendiri), prasangka adalah pandangan, persepsi atau anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu, sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri secara pasti kebenarannya. Intinya, yang namanya prasangka, kita cenderung memahaminya sebagai persepsi atau pandangan negatif.

Menurut hasil penelitian orang (karena saya belum perna melakukan penelitian) Tidak kurang dari 80% manusia berprasangka. Dan salah satunya mungkin anda.

Yah, hidup kita ternyata dipenuhi prasangka. Berserakan dimana-mana. Bahkan hidup ini, kita lewati dengan bertemankan prasangka. Jangankan kepada meraka  yang selama ini kita klaim sebagai yang ter-cinta, bahkan Tuhan pun kita prasangkai (wah, kurang ajar betul kita ini).

Lalu, bagaimana dengan  orang yang selama ini kita anggap musuh, atau lawan politik, atau seteru abadi dalam hal memperebutkan cinta misalnya? Ah Saya pun  tak tega membayangkannya.

Maka jangan heran bila terjadi perseteruan dimana-mana karena dilatarbelakangi prasangka. Dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, ada penganut agama tertentu yang marah-marah dan membakar rumah ibadah penganut agama lain, karena prasangka.  Dalam kehidupan bernegara, masyarakat berusaha melengserkan penguasa dari tumpuk kekuasaan, ini juga karena prasangka.

Begitu juga dalam kehidupan  rumah tangga, ada suami yang tega menceraikan istriya hanya karena prasangka. Bahkan di dunia muda-mudi, seorang cowok berani menganiaya ceweknya, itu juga karena prasangka kan? Ini realita  kehidupan kita hari ini. Tak bisa kita mengingkarinya, selain hanya bisa berusaha menginsyafinya.

Terngiang  sebuah kata bijak, yang saya sendiri lupa dimana menyimaknya, mengatakan begini: "Lebih muda seseorang membakar rumahnya, dari pada membakar prasangkanya."

Yah, prasangka menjadi persepsi hidup atau pandangan hidup, atau kalau mau yang lebih khusuk lagi, prasangka juga telah menjadi keyakinan hidup. Betapa banyak kita yang menjadikan prasangka sebagai keyakinan atau iman dalam hidupnya. Dan kalau sudah berbicara keyakinan, apa lagi yang lebih tinggi dari itu?

Jika demikian, ketika yang negatif atau yang salah dijadikan persepsi hidup, atau pandangan hidup atau bahkan diimani sebagai kebenaran, apa yang bisa kita perbuat? Yang bisa kita perbuat hanyalah berdoa, sembari berharap Tuhan sudi berdamai dengan kita. (**)

*Tulisan ini hanyalah refleksi pribadi penulis belaka. Jika anda merasa isi tulisan ini  sama seperti kebiasaan anda berprasangka , kemungkinan itu hanyalah kebetulan belaka. Kebetulan yang menggelikan. Selamat menikmati sarapan alakadarnya ini. :)

Rindukah Kami Padamu?*

Rindukah Kami Padamu?*

Oleh: Muhammad Baran

Rindu kami padamu ya Rasul, Rindu tiada terkira. Berabad jarak darimu ya rasul, terasa dikau disini. cinta ikhlasmu pada manusia, bagai cahaya suarga. Dapatkah kami membalasmu secara bersahaja.... (Bimbo)

Ketika kita ditanya, siapakah yang paling kita rindukan? jawaban kita mungkin akan bebeda-beda. Sesuai kesukaan dan suasana hati kita. Bagi muda-mudi yang sedang kasmaran akan menjawab, yang paling saya rindu adalah pujaan hatiku. Bagi orangtua akan menjawab, buah hati anak kesayanganku. Bagi seorang anak yang terpisah jauh, akan menjawab, ayah bundaku. Bagi perantau yang lama di tanah orang akan menjawab, kampung halamanku. Dan rupa-rupa jawaban lainnya.

Kerinduan merupakan rasa ingin dan harap, dimana kita memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu seseorang yang kita rindukan. Kerinduan timbul dari sebuah detak rasa yang telah tumbuh oleh pertemuan, dari pertemuan yang sangat kerap kemudianya berpisah dengan masa yang lama. Inilah yang biasanya akan timbul rasa rindu.

Tapi ini keriduan kepada mereka yang pernah kita kenal, yang kita lihat laku perbuatannya denga mata  kepala kita sendiri. Mereka ini pernah hidup bersama dengan kita. Maka wajar kiranya setelah pisahsekian lama, akan ada rasa rindu.Tapi bagaimana kita bisa punya kerinduan kepada seseorang yang belzm pernah kita jumpa? Kita mengenal dia hanya lewat cerita, riwayat, atau kabar yang dikisahkan. Bahkan terkadang dikisahkan secara berlebihan, sehingga kerap kita anggap dongeng, pengantar tidur.

Pada kesempatan ini, izinkan saya menuliskan seadanya tentang kerinduan kepada seseorang. Tentang seorang manusia yang pernah terlahir kedunia ini sebagai pembawa obor peradaban. Kehadirannya membawa terang hampir sepertiga belahan bumi selama kurang lebih 700 tahun. Seseorang yang pernah mendirikan imperium (super pawer) yang membentang dari jasirah arab sampai ke afrika utara. Dari eropa hingga ke seluruh anak benua india, bahkan sampai ke nusantara.

Yah kerinduan kepada seseorang yang hingga kini dipuja oleh 1,2 miliar manusia yang mengaku sebagai pengikutnya, tapi juga dibenci oleh musuh-musuhnya karena kegemilangan dan kebesarannya. Tidak ada manusia lain yang bisa membuat kawan dan lawan segan, kecuali Muhammad s.a.w. Lelaki yang bahkan tak tahu membaca dan menulis ini oleh Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul "The 100" ditempatkan sebagai manusia nomor satu, yang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah manusia dan kemanusiaannya.

Yah Muhammad s.a.w yang namanya selalu kita sebut, namun tanpa kerinduan. Tak terhitung setiap hari dalam sembahnyangnya, miliaran manusia mengagungkan namanya, namun tanpa kecintaan. Tak terhitung juga, ratusan juta diantara mereka akan tersulut amarahnya ketika nama sang pujaan dilecehkan, digambarkan sebagai seorang tukang perang, namun hidup mereka jauh dari akhlak dan teladan Nabinya.

Mungkin Sang Nabi terlalu jauh jarak kehidupannya dengan kita saat ini, sehingga tak menerbitkan kerinduan mendalam kepada sosok yang hebat ini. Maka tak heran, ketika hari kelahirannya diperingati, banyak diantara kita yang mengaku-ngaku sebagai ummatnya, tak tahu menahu dan bahkan tak mau tahu. Mereka menganggap, memperingati kelahiran Nabi adalah bidah. Maka kerinduan kita, lebih kita tumpahkan kepada yang lain.

Tak pernahkah kita sadar, betapa kerinduan Sang Nabi kepada kita yang mengaku-ngaku sebagai umatnya? Bahkan menurut riwayat, ketika menjelang sakaratul maut, Sang Nabi terrlihat gelisah diliput kesedihan mendalam. Orang besar ini gelisa dan sedih bukan karena akan meninggalkan anak dan istri tercinta. Dia bahkan menangis bukan karena akan meninggalkan para sahabat-sahabat tercinta yang telah berhasil berjuang bersamanya menegakkan panji Tuhan. Tidak, sama sekali tidak. Dia gelisah dan sedih lantaran memikirkan nasib ummatnya setelah kepergiannya. Ketika hendak menghembuskan nafas terakhirnya, yang terlontar dari bibirnya adalah  ummatku, ummatku.

Demikianlah. Bahkan disaat sakaratul maut pun Sang Nabi masih memikirkan bagaimana nasib kita, ummatnya. Beliau khawatir, jangan-jangan setelah kepergiannya, ummatnya justru kembali kepada kehidupan yang jauh dari Tuhan, jauh  dari teladan yang diajarkannya. Dan sepertinya kekhawatiran Rasul Tuhan ini pun terbukti saat ini, di zaman kita sekarang ini.

Dimana-mana, kehidupan kita semakin jauh dari nilai-nilai agama. Bahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melesat dengan cepat, kita justru berganti keyakinan. Tanpa kita sadari, kita suda bersalin iman, menukar keyakinan. Manusia di zaman kita, lebih mengimani pengetahuan dan teknologi sebagai satu-satunya referensi yang sahih dalam hidupnya.

Maka, hal-hal yang menyangut Tuhan yang tak terjangkau oleh logika, sudah dianggap sesuatu yang tidak rasional dan ilmiah. Maka dengan sendirinya perlahan ditinggalkan. Moral agama, sudah diganti dengan standar moral kepantasan, diukur berdasarkan ukuran nalar dan logika manusia moderen. Inilah realita hidup kita. Dan kita ikut nimbrung di dalamnya, kemudian keasyikan tanpa pernah berpikir untuk bangkit, berjuang mengembalikan kejayaan sebagaimana pada masa Sang Nabi.

Jika kita berandai-andai, seandainya sang Nabi ditakdirkan bangkit lagi ke dunia ini, alangka kaget dan sedihnya beliau. Melihat betapa umatnya hari ini justru sama sekali hidup tanpa petunjuk Tuhan dan jauh dari teladan Rasul. Masing-masing hidup dengan membela dan mempertahankan kesenangan hidupnya. Hidup yang entah kapan berakhir ujung.

Wahai sang nabi, salam untukmu. wahai sang utusan, salam untukmu. wahai kekasih, salam untukmu. Rahmat dan keselamatan semoga tercurah selalu untukmu. (**)

*Tulisan ini merupakan refleksi penulis dalam menyambut  Maulid Nabi Muhammad s.a.w . Dengan harapan, kita bisa memaknai momen kelahiran manusia agung ini sebagai spirit untuk bangkit menjadi umat yang lebih maju dan beradab. Amin.