Rabu, 23 Januari 2013

Rindukah Kami Padamu?*

Rindukah Kami Padamu?*

Oleh: Muhammad Baran

Rindu kami padamu ya Rasul, Rindu tiada terkira. Berabad jarak darimu ya rasul, terasa dikau disini. cinta ikhlasmu pada manusia, bagai cahaya suarga. Dapatkah kami membalasmu secara bersahaja.... (Bimbo)

Ketika kita ditanya, siapakah yang paling kita rindukan? jawaban kita mungkin akan bebeda-beda. Sesuai kesukaan dan suasana hati kita. Bagi muda-mudi yang sedang kasmaran akan menjawab, yang paling saya rindu adalah pujaan hatiku. Bagi orangtua akan menjawab, buah hati anak kesayanganku. Bagi seorang anak yang terpisah jauh, akan menjawab, ayah bundaku. Bagi perantau yang lama di tanah orang akan menjawab, kampung halamanku. Dan rupa-rupa jawaban lainnya.

Kerinduan merupakan rasa ingin dan harap, dimana kita memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu seseorang yang kita rindukan. Kerinduan timbul dari sebuah detak rasa yang telah tumbuh oleh pertemuan, dari pertemuan yang sangat kerap kemudianya berpisah dengan masa yang lama. Inilah yang biasanya akan timbul rasa rindu.

Tapi ini keriduan kepada mereka yang pernah kita kenal, yang kita lihat laku perbuatannya denga mata  kepala kita sendiri. Mereka ini pernah hidup bersama dengan kita. Maka wajar kiranya setelah pisahsekian lama, akan ada rasa rindu.Tapi bagaimana kita bisa punya kerinduan kepada seseorang yang belzm pernah kita jumpa? Kita mengenal dia hanya lewat cerita, riwayat, atau kabar yang dikisahkan. Bahkan terkadang dikisahkan secara berlebihan, sehingga kerap kita anggap dongeng, pengantar tidur.

Pada kesempatan ini, izinkan saya menuliskan seadanya tentang kerinduan kepada seseorang. Tentang seorang manusia yang pernah terlahir kedunia ini sebagai pembawa obor peradaban. Kehadirannya membawa terang hampir sepertiga belahan bumi selama kurang lebih 700 tahun. Seseorang yang pernah mendirikan imperium (super pawer) yang membentang dari jasirah arab sampai ke afrika utara. Dari eropa hingga ke seluruh anak benua india, bahkan sampai ke nusantara.

Yah kerinduan kepada seseorang yang hingga kini dipuja oleh 1,2 miliar manusia yang mengaku sebagai pengikutnya, tapi juga dibenci oleh musuh-musuhnya karena kegemilangan dan kebesarannya. Tidak ada manusia lain yang bisa membuat kawan dan lawan segan, kecuali Muhammad s.a.w. Lelaki yang bahkan tak tahu membaca dan menulis ini oleh Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul "The 100" ditempatkan sebagai manusia nomor satu, yang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah manusia dan kemanusiaannya.

Yah Muhammad s.a.w yang namanya selalu kita sebut, namun tanpa kerinduan. Tak terhitung setiap hari dalam sembahnyangnya, miliaran manusia mengagungkan namanya, namun tanpa kecintaan. Tak terhitung juga, ratusan juta diantara mereka akan tersulut amarahnya ketika nama sang pujaan dilecehkan, digambarkan sebagai seorang tukang perang, namun hidup mereka jauh dari akhlak dan teladan Nabinya.

Mungkin Sang Nabi terlalu jauh jarak kehidupannya dengan kita saat ini, sehingga tak menerbitkan kerinduan mendalam kepada sosok yang hebat ini. Maka tak heran, ketika hari kelahirannya diperingati, banyak diantara kita yang mengaku-ngaku sebagai ummatnya, tak tahu menahu dan bahkan tak mau tahu. Mereka menganggap, memperingati kelahiran Nabi adalah bidah. Maka kerinduan kita, lebih kita tumpahkan kepada yang lain.

Tak pernahkah kita sadar, betapa kerinduan Sang Nabi kepada kita yang mengaku-ngaku sebagai umatnya? Bahkan menurut riwayat, ketika menjelang sakaratul maut, Sang Nabi terrlihat gelisah diliput kesedihan mendalam. Orang besar ini gelisa dan sedih bukan karena akan meninggalkan anak dan istri tercinta. Dia bahkan menangis bukan karena akan meninggalkan para sahabat-sahabat tercinta yang telah berhasil berjuang bersamanya menegakkan panji Tuhan. Tidak, sama sekali tidak. Dia gelisah dan sedih lantaran memikirkan nasib ummatnya setelah kepergiannya. Ketika hendak menghembuskan nafas terakhirnya, yang terlontar dari bibirnya adalah  ummatku, ummatku.

Demikianlah. Bahkan disaat sakaratul maut pun Sang Nabi masih memikirkan bagaimana nasib kita, ummatnya. Beliau khawatir, jangan-jangan setelah kepergiannya, ummatnya justru kembali kepada kehidupan yang jauh dari Tuhan, jauh  dari teladan yang diajarkannya. Dan sepertinya kekhawatiran Rasul Tuhan ini pun terbukti saat ini, di zaman kita sekarang ini.

Dimana-mana, kehidupan kita semakin jauh dari nilai-nilai agama. Bahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melesat dengan cepat, kita justru berganti keyakinan. Tanpa kita sadari, kita suda bersalin iman, menukar keyakinan. Manusia di zaman kita, lebih mengimani pengetahuan dan teknologi sebagai satu-satunya referensi yang sahih dalam hidupnya.

Maka, hal-hal yang menyangut Tuhan yang tak terjangkau oleh logika, sudah dianggap sesuatu yang tidak rasional dan ilmiah. Maka dengan sendirinya perlahan ditinggalkan. Moral agama, sudah diganti dengan standar moral kepantasan, diukur berdasarkan ukuran nalar dan logika manusia moderen. Inilah realita hidup kita. Dan kita ikut nimbrung di dalamnya, kemudian keasyikan tanpa pernah berpikir untuk bangkit, berjuang mengembalikan kejayaan sebagaimana pada masa Sang Nabi.

Jika kita berandai-andai, seandainya sang Nabi ditakdirkan bangkit lagi ke dunia ini, alangka kaget dan sedihnya beliau. Melihat betapa umatnya hari ini justru sama sekali hidup tanpa petunjuk Tuhan dan jauh dari teladan Rasul. Masing-masing hidup dengan membela dan mempertahankan kesenangan hidupnya. Hidup yang entah kapan berakhir ujung.

Wahai sang nabi, salam untukmu. wahai sang utusan, salam untukmu. wahai kekasih, salam untukmu. Rahmat dan keselamatan semoga tercurah selalu untukmu. (**)

*Tulisan ini merupakan refleksi penulis dalam menyambut  Maulid Nabi Muhammad s.a.w . Dengan harapan, kita bisa memaknai momen kelahiran manusia agung ini sebagai spirit untuk bangkit menjadi umat yang lebih maju dan beradab. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar