Rabu, 23 April 2014

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Mengapa Hidup Kita Tak Seperti Pasar Malam?*

Oleh Hamba Moehammad

Mengapa kita, manusia ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai pula mati?  Kenapa kita tidak sebagaimana yang dikatakan oleh kata Pramudya Ananta Toer," Ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati?."

Yah, mengapa kita mesti mati seorang diri, lahir pun seorang diri pula? Dan mengapa pula ketika kita mencintai seseorang, dan orang itu pun mencintai kita namun akhirnya kita mesti dipisahkan oleh kematian?

"Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam," kata Mas Pram dalam Novelnya, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007, hlm. 95). Di sana tidak ada kesendirian, kesunyian, dan kesepian.

Terkadang  saya merasa gamang.  Karena toh hidup ini, begitu kejam. Kita lahir sendiri, mati pun sendiri, tapi dalam hidup kau "dipaksa" bertemu begitu banyak orang. 

Dan karena Tuhan menganugerahi kita perasaan, maka kita menyayangi beberapa dari mereka: orangtua kita, saudara-saudara kita, , anak-anak kita, sahabat-sahabat kita, guru-guru kita, dan juga pasangan hidup, yang juga kita punya. 

Tapi apa boleh buat, kematian kemudian akan merenggut mereka. Satu per satu. Atau kematian merenggut kita dari hidup mereka. kalau begini,  lalu apa bedanya? Kesedihan selamanya menjadi  kesedihan yang sulit tertanggungkan.

Mungkin ada di antara kita yang bertnya, apa sebenarnya maunya hidup ini? Lebih senangkah kalau kita bisa hidup tanpa berperasaan, dan dengan demikian, kita tidak perlu bersedih hati kalau ditinggal mati orang yang kita cintai? 

Dan orang yang mencintai kita, juga tidak perlu bersedih ketika kita tinggalkan? Juga kita tak perlu mengatur perasaan dan  cukup berprinsip, "Bencilah sewajarnya dan cintai secukupnya," sebagaimana kata orang bijak?

Tapi, siapa  yang sanggup mencintai hanya secukupnya? Bukankah cinta selalu bergelora, dan kalau masih bisa dikendalikan berarti bukan cinta namanya?

Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, dan orang itu balas mencintai kita dengan sepenuh hati pula, rasanya hidup ini sudah lengkap. Ada rasa hangat di dalam dada, dan pikiran jadi tenang. Semua kegelisahan tentang menjalani hidup jadi terasa tak berarti.

Kalau begitu, mana yang lebih baik? Hidup dengan berperasaan atau tidak berperasaan? Maka untuk menyimpulkan aneka tanya di atas, saya lebih memilih untuk meminjam kesimpulan dari Andina Dwifatma yang mengatakan, mungkin punya perasaan itu salah satu survival skill kita dalam menjalani hidup. Dan merasa kehilangan orang yang kita cintai adalah risiko eksistensi kita di muka bumi ini. Risiko kesadaran. Toh hidup ini memang bukan pasarmalam, kan?

Makassar, 23 April 2014
=====================
*Tulisan ini terinspirasi dari Novel "Bukan Pasar Malam" karya Pramudya Ananta Toer.

0 komentar:

Posting Komentar