Jumat, 17 Mei 2013

Relatifitas Kebenaran

Relatifitas Kebenaran

Oleh Hamba Moehammad

kita sering  membincangkan kebenaran. bahkan kita kerap mengampanyekan penting dan perlunya kebenaran. karena sebagai jamaknya, kebenaran  yang dalam istilah agama dikenal dengan al-haq, dianggap memiliki nilai luhur atau kemuliaan.

lawan atau musuh dari kebenaran adalah kebatilan. di sini kita menganggap kebatilan mengandung nilai-nilai destruktif. daya yang merusak. dengan demikian  dia harus dijauhi, bila perlu dienyahkan.

tapi  apakah mungkin kebatilan bisa dienyahkan? lebih tepatnya, bisakah kebenaran diceraikan dari kebatilan?

untuk mengetahui atau mengenal sesuatu, apalagi  sesuatu  yang normatif, kita juga harus berlaku adil. maksudnya, kita juga sepantasnya memperlakukan dua hal yang kontradiksi untuk diperbandingkan. termasuk menjadikan kebatilan sebagai pembanding  sesuatu yang kita anggap benar. bukankah untuk mengetahui terang, kita juga harus mengenal gelap?

semua pahaman dan keyakinan kita akan kebenaran hanyalah upaya maksimal kita dalam menemukan kesempurnaan. termasuk pahaman dan keyakinan kita akan kebenaran yang bersumber dari  Tuhan sendiri.

kita hanya bisa menemukan kebenaran itu, manakala segenap kemampuan dan wawasan kita memenuhi standar kualifikasi kelayakan. itu pun tak menjamin pencarian kita  sampai pada tahap final menemukan kebenaran yang utuh, yang sejati.

upaya kita dalam memahami dan meyakini dalam mencari kesempurnaan barangkali tak sepenuhnya utuh dan tuntas. karena kebenaran  itu bersifat relatif. apa pun bentuk dan jenis kebenaran itu. termasuk, sekali lagi, kebenaran dari tuhan sendiri.

satu-satunya kebenaran sejati, kebenaran yang mutlak adalah tuhan. karena dia, sebagai mana bahasa kitab suci, adalah hakikat kebenaran. tapi bila kebenaran itu keluar dan terpisah dari hakikat tuhan, maka kebenaran menjadi relatif. dengan sendirinya kebenaran memiliki ruang untuk di perdebatkan.

akhirnya, meyakini kebenaran, berarti pula menyadari setiap jengkal kemungkinan kesalahan sebagai perbandingan.  ketika kita tak menjadikan kesalahan sebagai pembanding dari kebenaran, bohong belaka jika kita mengklaim mampu  menemukan hakikat kebenaran itu.

kita (manusia) memang selalu diperhadapkan dua hal yang paradoks untuk menemukan dan kemudian menentukan pilihan. termasuk menemukan dan menentukan kebenaran akan kebenaran itu sendiri. kebenaran yang relatif, kebenaran yang nisbih itu. (HM)

0 komentar:

Posting Komentar