Jumat, 17 Mei 2013

Matahari, Bulan, dan Kau

Matahari, Bulan, dan Kau

Oleh Hamba Moehammad

Malam yang dingin. Hanya suara ombak yang pecah gelisah di pinggir talut pantai. Juga bising kendaraan di jalan kota yang sibuk.  Sementara kita hanya diam di atas coran  beton talut Pantai Losari. Masing-masing kita coba mereka kata yang pas untuk memulai pembicaraan. Hujan masih saja gerimis, dan kita masih di sana.

"Kau tahu? Aku mencintai tiga hal di dunia ini," aku coba memecah kesunyian. Kulihat kau terkejut. Dan coba mencerna kata-kataku barusan.

"O ya? apa itu?" kau bertanya dengan suara gemetar dan wajah yang bersemu merah.

"Aku mencintai Matahari, Bulan, dan Kau," kataku dengan suara mantap. Kali ini lebih berani seperti tanpa beban. Belum habis rasa penasaranmu, aku melanjutkan, "Matahari untuk siang, Bulan untuk malam, dan Kau untuk selamanya."

Kau hanya tersenyum menatapku. Menurutmu, sebagai lelaki pendiam, aku terlalu pandai merayu. Atau aku memang tipe lelaki yang selalu menyenangkan orang lain, termasuk kau. Atau jangan-jangan.... Ah untuk saa ini aku tak peduli seperti apa penilaianmu.  Aku hanya ingin melihat kau tersenyum. Menurutku, kau wanita yang memiliki senyum paling manis. aku tak dusta. sungguh.

Tapi itu dulu. Saat kita masih bersama. Waktu itu malam minggu. Kau masih ingat kan? Pantai Losari adalah tempat vaforit kita. Di sana kita saling bertukar kisah. Menceritakan apa saja yang ingin kita ceritakan.

Entah mengapa, kita tiba-tiba saling bertanya:  Akankah gerimis ini segera berlalu dan memberi jedah untuk kita  menyulam tangkai-tangkai kebersamaan, merangkainya menjadi bebunga kerinduan?

Aku tak tahu.

Tapi itu tak masalah.

Sejenak kita saling bersitatap. Meletakkan pandangan dalam perasaan masing masing.

Hujan masih saja merintik. Di seberang jalan, gemerlap lampu masih setia. Ditambah lanskap kota: Gedung gedung yang menjulang, jejeran gerobak para penjual pisang epe,  lapak-lapak pedangang kaki lima yang remang,  penjaja buah-buahan,  restoran dengan  taburan lampu kelap-kelip,  pasangan muda-mudi  berjalan lambat sambil bergandeng tangan, bocah-bocah pengamen menenteng gitar menjajakan beberapa judul lagu romantis kepada pasangan muda-mudi yang memadati anjungan pantai, juga tukang parkir yang tengah sibuk menagih ongkos parkir.

Dan kau mulai bercerita soal bulan purnama itu. (yah bulan purnama yang kemudian merenggut kebahagiaan itu).

Bahwasannya pada suatu malam minggu yang ceriah,  kalian pernah duduk berdua di halaman rumah di kampung. Zaky,  suamimu yang katamu pria blasteran Arab-Makassar. ( aku membayangkan bentuk wajah blasterannya itu. Barangkali dia mirip Reza Rahadian, sang pemeran BJ Habibie dalam film "Habibie & Ainun" ). Dan katamu kemudian,  bulan purnama muncul dari rerimbunan pohon akasia di depan rumah kalian.

Katamu, Zaky terpesona melihatnya. Katanya, dia baru pertama kali melihat  bulan purnama. Apalagi bulan purnama yang indah seperti malam itu.

"Sayang, itu bulan purnama kan? Indah sekali rupanya. Aku baru pertama kali melihatnya."

"Iya, itu bulan purnama sayang. Memangnya kamu belum pernah melihat sebelum ini?"

"Belum sayang.  Aku kan dari kecil  tinggal di ibu kota. di sana siang dan malam sama sibuknya. Mana sempat merlihat bulan?"

Dan kamu tahu? Zaky memandang dengan penuh takjub, tak henti-henti sehingga seluruh sinar bulan menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang, ternyata ia baru pertama kali melihat yang namanya bulan purnama. Dan dia bertanya lagi, "Apa yang kamu rasakan bila bulan purnama seindah ini sayang?" Aku sempat bingung dengan pertanyaannya. Dan kujawab saja,  aku merasa lebih tenang dan tentu saja bahagia, apa lagi bersama suami sepertimu di sampingku. (Ah cerita kemesraan seperti ini yang paling kubenci.  Cerita yang tak sudi kusimak barang sepatah kata pun). Kami diam. Untung ada penjual kue putu yang lewat di depan rumah. Kata Zaky,  ia suka kue putu. Kue kesukaan yang sering dibuat neneknya yang asli makassar. Dan tak ada lagi pertanyaan Zaky yang kerap membuatku kelabakan menjawabnya.

Permisi. Aku ingin minta ijin padamu untuk turut bergembira, mengucapkan selamat atas kebahagiaan kalian dan aku ingin mengatakan bahwa suamimu itu benar-benar lelaki yang sungguh perhatian dan romantis tentunya. Dia memang pantas menjai pendamping hidupmu.

(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian dan benci mengatakan pujian palsu ini).

Kuingat semua ceritamu: Tentang seorang pengusaha muda ibu kota yang baik hati dan tentu saja ganteng karena memiliki darah blasteran. Berlatar belakang keluarga  "Karaeng" dari garis keturunan ibu. Katamu,  dia masih punya hubungan keluarga  denganmu.

Dia masih muda dan punya daya pikat yang luar biasa. Apa lagi bagi perempuan yang menginginkan pasangan hidup yang muda, sukses, dan tentu saja ganteng. (Barangkali kriteria itu juga yang kau inginkan).

Aku menambahkan, "Meski demikian, sebenarnya ia selalu merindukan cintanya yang hilang. Menulis sajak yang drahasiakannya, dan  menyusun surat cinta yang tak pernah dikirimkan."

Kau tersenyum dengan mimik meledek.

"Lalu ia mencoba pulang, entah dengan alasan apa," katamu

(Ah kau  ini memang paling bisa membuat kupingku panas)

Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakannya, aku menambahkan lagi.

kemuian dia bertemu dengan cintanya yang membuat penderitaan itu. Dia telah memiliki suami dan rajin bercerita tentang suaminya itu. Mulai dari awal perkenalan dengan calon mertua, hari-hari bahagia pra dan pascapernikahannya, sampai  soal bulan purnama yang tiba-tiba muncul di balik rerimbunan pohon akasia di depan rumahnya. Mereka berusaha berbagi kebahagiaan seolah tak pernah terjadi apa-apa, tak pernah mengenal satu sama lain,  tak pernah menyentuh satu sama lain.

"Apakah pertemuan itu suatu kebetulan?" itu salah satu pertanyaanmu.

"Kebetulan? Apakah itu kebetulan?" Jawabku sekenanya. "Apakah seperti koin undian yang dihempaskan ke udara oleh wasit saat pertandingan sepak bola akan dimulai, atau saat dimana kita seperti hantu jelangkung yang datang tak diundang, pulang tanpa pamit?"

"Ironis. Barangkali sudah tiada lagi tempat untukmu menyimpan  segenap kenangan dengan bait-bait puisi paling pilu. sepertinya dunia sudah sesak, sudah penuh."

"Dan tahukah kau, nestapa apakah yang paling menyakitkan dari seorang wanita sepertimu?  Adalah dilupakan. Dari hati juga pikiran.  Bahkan dihapus  dari kalimat cinta ter-absurd yang ditulis paling terakhir sekalipun."

Dan kita bungkam.  Masing-masing sibuk dengan tanya yang berkecamuk, berseliweran seperti rintik hujan yang belum juga mau reda hingga saat ini.

Dendam membara dalam tungku pembakaran salah seorang penjual pisang epe.

Aku duduk menyandarkan punggung di tiang listrik malam ini.  Masih di tempat yang sama  seperti saat kita bersama di pantai ini.  Coba menghirup angin laut  selat makassar  malam ini tanpamu.

Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya lampu kapal yang datang dan pergi dari pelabuhan peti kemas Soekarno-Hatta Makassar saling berpapasan.  Sementara jalanan kota hingga larut ini masih gaduh.  Dan kita seperti melaju bersama rembesan air laut dalam pori-pori  talut beton Pantai Losari.  Lagu-lagu cinta dinyanyikan bocah-bocah pengamen semakin membuat pasangan muda mudi yang duduk berjejer sepanjang  anjungan pantai Losari, tenggelam dalam bahagia.  Bahagia yang bisa terbaca  dari senyum mesra mereka. Dan kita pun hanya bisa menahan tawa saat lirik lagu dari Naff seperti sengaja dilemparkan  oleh dua bocah pengamen kepada kita: "Seluruh cinta telah kudatangi, hanya cintamu yang kupilih. Seluruh hati telah kuselami, hanya hatimu yang kucari..."

Kita, pada hari  yang telah jadi lampau, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, waktu itu kau bersandar di bahuku, dan kadang kau diam-diam mencuri kesempatan untuk mencium pipiku dan mengatakan: "Senyummu terlalu manis untuk seorang lelaki pendiam yang berlagak serius." (Ah tatapanmu itu memang selalu menggoda).

Dan kita mengisi kebersamaan malam minggu waktu itu dengan menebak apa-apa saja yang terjadi di antara pasangan muda-mudi lain yang tengah berbahagia.

Seorang bocah pengamen berambut pirang mendekat.  Dengan gitar butut yang ditempeli stiker bergambar seorang penyanyi Regge berambut gimbal mengenakan kuplik di kepalanya.  Dia menawarkan judul lagu yang barangkali kuinginkan untuk dinyanyikannya. Dengan tersenyum aku meminta lagu dari grup musik Ungu. Seakan   menangkap kesepian diwajahku, dia pun melantunkan sebuah lagu: "Tahukah apa yang kau lakukan itu,  tahukah kau siksa diriku..." Aku hanya bisa tersenyum menengar suaranya yang serak itu. Tapi  dengan penuh semangat ia tetap mempersembahkan lagu itu untukku.  Aku berusaha menikmati setiap syair dan tarikan melodi dari gitar butut si bocah pengamen.

(ah Cinta memang gila. Tapi hidup ini juga memang benar-benar gila. Dan kita yang menjalaninya, berusaha menyesuaikan diri dengan cinta dan kehidupan ini).

Lampu-lampu jalanan kota masih setia. Sementara malam semakin melela. Dan jam terus berjalan. (**)

1 komentar: