Sabtu, 06 April 2013

Tuhan: Mana Ibadahmu Untukku?

Tuhan: Mana Ibadahmu Untukku?

Oleh : Muhammad Baran

 
Selamanya mungkin kita tak sepenuhnya memahami keinginan Tuhan. Dan mungkin selamanya pula kita akan khilaf menjalankan perintah-Nya. Maka untuk menutup khilaf itu-entah disengaja-kita kerap berlindung di balik slogan “Tak ada manusia yang sempurna”. Kita seakan menyalahkan Tuhan yang tak total menciptakan kita.

Kita seakan protes kepada Tuhan karena menganggap tak diciptakan sempurna. Padahal, dunia dan segala isinya memang tak ada yang benar-benar total dan benar-benar sempurna. Dunia hanyalah ujian. Ujian atas klaim kita yang kadang dengan pongah merasa berhak dan sudah pasti memiliki surga dengan amal yang mungkin tak cukup dihitung dengan sepuluh jari tangan.

Sayangnya ketika Tuhan menagih  kita “Mana ibadahmu untukku?” kita pun gelagapan. Disini, tak jarang persepsi kita tentang ibadah hanyalah sebatas menggugurkan kewajiban. Ibadah bagi kita tak lebih hanya usaha legowo  menjalankan doktrin-suka atau terpaksa. Hingga pada titik tertentu ada prasangka, Tuhan memang butuh disembah.

Saya teringat sebuah kisah  Tuhan bertanya kepada Nabi Musa:

Tuhan: “Wahai Musa, mana ibadahmu untukku?”

Musa: “Bukankah aku selama ini  sudah sembahyang dan berpuasa untuk-Mu?”

Tuhan: “Bukan!. Itu adalah ibadah untuk dirimu sendiri (mendapat pahala). Ibadahmu untukku sebenarnya adalah ketika engkau menolong orang lain.”

Yang kerap luput dari kita adalah kebanggaan atas”prestasi” ibadah dan “prestise” iman individual kita. Sembahyang dan puasa misalnya, dianggap sudah cukup membuat Tuhan “tersenyum”, bangga akan ketaatan kita-ketaatan yang mungkin tak sepenuhnya tulus. Selebihnya kita berharap,  Dia mengganjar kita dengan surga-taman firdaus yang kita khayalkan itu.

Jika demikian, manakah makna ibadah yang sesuai ingin-Nya-ibadah yang dengannya kita menemukan cinta, dan membaginya kepada sesama? Ternyata-sebagaimana isi dialog di atas-ibadah yang sesungguhnya untuk Dia adalah ketika kita rela berbagi kepada sesama yang kekurangan dan tulus menolong yang lemah.

Itulah ibadah untuk Tuhan. Bukan sembahyang yang hanya menggugurkan kewajiban itu. Bukan puasa yang kadang diiringi pamrih itu, bukan pula haji yang berkali-kali hanya untuk mengejar titel “H” itu. Bukan, sama sekali bukan. Kata Tuhan, itu ibadah personal, sekadar mencari untung pribadi, semata mencari selamat sendiri.

Tuhan mengajarkan kita bagaimana mengaktualisasikan pesan moral ibadah dalam kehidupan nyata kita. Hidup yang kadang membuat kita alpa bahwa membahagiakan sesama, itulah ibadah yang sebenar-benarnya untuk Dia. Memang, tak jarang dugaan kita menempati ruang jawaban yang salah. Tapi walaupun demikian, kebenaran memang harus terucap, meski pahit terdengar. (**)

0 komentar:

Posting Komentar