Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (9)

Kiden Kala Ina Wae

Oleh Muhammad Baran

Seperti perempuan lamaholot pada umumnya, watak atau karakter perempuan labala ditempa  oleh aturan adat liat. Sebagaimana umumnya tradisi kehidupan di Indonesia, bahkan di dunia, dalam budaya lamaholot, perempuan hanyalah  pelengkap laki-laki dalam struktur keluarga dan masyarakat.

Meski pengaruh agama dan teknologi telah masuk dalam kehidupan orang labala, tak serta merta menggeser struktur budaya turun-temurun yang cenderung memarginalkan peran perempuan. Struktur kekeluargaan orang lamaholot adalah patrilinear dimana garis keturunan mengikut pada  suku atau klan laki-laki/suami. Denga serta merta,  bila orang lamaholot ingin menyematkan nama anak keturunannya baik laki-laki maupun perempuan menyertakan tambahan nama suku di belakang nama anak.

Perempuan dalam tradisi lamaholot adalah mereka yang ditakdirkan untuk menjadi warga kelas dua di bawah baying-bayang laki-laki. Terkadang bila seorang perempuan yang sudah bersuami tak ubahnya adalah seorang jongos. Bahkan menjadi tawanan keluarga suami  dengan alasan, perempuan perempuan sudah dibeli/dibayar dengan belis (maskawin) berupa bala  (gading gajah). Orang lamaholot mengenal istilah welin witi-bala.

Tidak heran bila umumnya masyarakat lamaholot, termasuk di labala,  seorang laki-laki sah-sah saja  memiliki istri lebih dari satu. Apalagi yang berlatar belakang golongan ata raya (bangsawan). Di sini orang lamaholot mengenal kapitan pulo-pegawe lema untuk  mereka yang  berasal dari keturunan raja atau bangsawan. Mereka ini biasanya  memiliki istri lebih dari satu.  Bahkan bila sang suami ingin beristri lagi, praktis  tak perlu meminta restu sang istri.

Tapi persoalan memiliki istri lebih dari satu bukan hanya monopoli keluarga yang berlatar belakang bangsawan saja.  Laki-laki yang berlatar belakang dari golongan masyarakat ata keriden atau orang biasa  sekalipun bisa memiliki istri lebih dari satu. Ini karena tidak ada aturan adat baku yang melarang. Bahkan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu dianggap wajar-wajar saja. Yang tidak wajar, bila terjadi sebaliknya.

Setelah seoranng perempuan lamaholot berumah tangga, keyakinan dan kepatuhan yang teguh terhadap aturan adat, membuat mereka  dituntut untuk berbakti kepada sang suami. Karena sebagaimana keyakinan yang lazim,  bila ada istri yang tak patuh kepada suami hal yang menyalahi adat.

Namun sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya,  sekeras apapun sebuah sistem kehidupan yang terkesan tidak proporsional dan cenderung tak adil,  namun ada nilai positif dari tradisi  yang ketat itu. Termasuk tradisi orang lamaholot yang terkesan mengungkung  eksistensi perempuan, namun justru perlahan tapi pasti kungkungan ini kemudian  justru membentuk karakter khas, watak alamiah perempuan lamaholot. Umunya perempuan lamaholot  berkarakter kuat, bermental baja,  dan berwatak tahan banting.

Para perempuan tangguh ini lebih  mengutamakan keutuhan rumah tangganya, terutama rumah tangga yang telah dikaruniai anak,  ketimbang meminta cerai kepada suami yang memperlakukannya tidak sebagai mana mestinya.

Lagi pula tak ada istilah perceraian dalam kamus adat orang lamaholot. Yang ada hanya istilah peke wekiha. Artinya, kedua suami-istri saling mencampakan atau saling meninggalkan dalam pengertian tidak terputus sepenuhnya.. lebih tepatnya hubungan mereka masih menggantung sehingga kapan saja  masing-masing pihak bisa rujuk. Suami-istri dikatakan putus hubungan bila sang istri telah diperistri laki-laki lain. Tapi hal seperti ini jarang sekali terjadi dalam adat dan budaya orang lamaholot.

Sementara itu, biasanya  perempuan lamaholot yang di tinggal mati oleh suaminya, boleh dikawini oleh saudara sang suami. Namun lagi-lagi, ini jarang terjadi karena perempuan lamaholot umumnya lebih memilih menjadi kiden (menjanda) sepeninggal sang suami. (**)

0 komentar:

Posting Komentar