Minggu, 09 Juni 2013

Pernahkah Kita Ada?


Pernahkah Kita Ada?
Oleh Hamba Moehammad

Orde melesat dengan roket-roket teknologi. dan kita hanya sayik memuji kejeniusan mereka. Kita kerepotan berpikir untuk menemukan bagaimana cara untuk berdiri tegak dan setara.

Zaman berubah dengan aneka kecanggihan. Dan kita tak ubahnya  manusia-manusia primitif yang menyangka kecanggihan bisa menelan otak kita yang kerdil bulat-bulat.

Abad pun berganti kini. Dan coba sejenak kau lihat! Dengan  segenap perangkat kemudahan yang dihasilkan dari iktiar kreatif, semakin membuat kita tenggelam dalam kubangan keterbelakangan. Kita hanya menerima nasib menjadi penonton dengan hanya menyoraki aneka kemajuan.  Hingga pada titik tertentu, kita dengan sukarela menyerahkan diri untuk menjadi kelinci percobaan dari aneka perangkat kecanggihan.

Kita seakan tertakdir sebagai penonton dan pengagum setia dari aneka sihir kemajuan yang menurut pemikiran dangkal kita, semua itu adalah mukjizat. Dan kita hanya membiarkan diri kita tersesat di antara rimba belantara moderenitas yang semakin lebat. Kita membiarkan diri kita terseret arus limbah kemajuan dan pada kali yang lain, dengan ikhlas menyerahkan jiwa dan semangat kita digilas roda kecanggihan.

Ketika zaman terus berubah, sementara kita hanya asyik berkubang dengan impian semu, barangkali kita benar-benar ditakdirkan sebagai sapi perah, atau kerbau bajak, atau apalah namanya yang kira-kira pas dilekatkan kepada kita.  Dan pada akhirnya kita tak lain hanya sekadar kumpulan manusia terbuang, terempas dari gelanggang percaturan dunia.

Yah. Kita manusia-manusia yang mengabaikan kecerdasan dan lebih memilih menjadi pokrol bambu. Kita mencampakkan integritas dan lebih menyambut sogokan dan suapan. Kita hanya mau menjadi antek-antek kepentingan ketimbang menjadi penggerak kemandirian.

Kitalah manusia yang bermental pemakai bukan pencipta. Kita hanya bisa merusak tanpa tahu cara memperbaiki.  Kita hanya gampang mengotori tanpa pernah belajar membersihkan. Kitalah spesies manusia yang terkadang gemar berbelanja melebihi batas mampu dan sanggup kita hanya mengejar pengakuan, hanya karena gengsi. Kita dianggap makhluk unik lantaran perilaku kita masih mempertahankan laku primitif dalam menyelesaikan sengketa dan tikai. Kita hanya mementingkan kepentingan sesaat. Pikiran dan nafsu kita berjangka pendek, bahkan sangat pendek.

Yah. Pada akhirnya, kita hanya diperlukan bila zaman telah kelelahan dan membutuhkan hiburan tambahan. Kita hanya dibutuhkan bila orde kehabisan bahan lelucon. Dan kita dengan suka rela menewarkan diri menjadi pelawak guna menghibur mereka dengan mencela dan merendahkan diri sendiri. Kita, pada zaman yang serbah cepat dan terburu-buru ini, menjelma menjadi spesies unik yang perlu tetap dilestarikan dan diberdayakan dari ancaman kepunahannya sepanjang putaran periode zaman.

Kitalah spesies manusia yang pelan tapi pasti terkubur oleh waktu. Tertimbun bersama jejak-jejak yang kabur. Dan pada suatu masa, kita tak lagi tercatat dalam lembaran sejarah kebudayaan manusia yang beradab. Kita bahkan kalah bersaing dalam rupa-rupa hal karena kita memang tak perna berani bersaing. Kerap kita mundur tanpa pernah mencoba berani untuk bersaing.

Kalau ada yang pantas dikenang dari makhluk menyedihkan seperti kita ini,  kita hanya dikenang  selintas saja dalam sisa ingatan mereka.  Selebihnya kita hanyalah mitos. Itupun bila kita sedikit beruntung.

Kita, spsies unik yang pernah ada, tapi kemudian terkubur debu zaman. Kita tak bisa lagi ditelusuri karena tak pernah meninggalkan jejak sebagai bukti bahwa kita pernah ada. Atau barangkali,   ketika kita tak lagi ada,  orang akan lupa mengingat bahwa kita memang pernah ada. Atau jangan-jangan mereka berkeyakinan,  kita memang benar-benar tak pernah ada meski mungkin kita pernah benar-benar ada. 

Oh cilaka. Jika kita benar-benar tak pernah dikenang, tamatlah riwayat kita. Bahkan zaman pun tak sudi membeberkan keberadaan kita. Atau keberadaan kita terlalu kecil mutunya, terlalu sedikit untungnya untuk pantas diberi harga. Dengan demikian, kita tak patut dicatat dalam kitab peradaban dunia karena kita dianggap nokta yang hanya mengotori lembar sejarah umat manusia yang gilang gemilang. (**)

0 komentar:

Posting Komentar