Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan Labala, Perempuan Lamaholot (8)

Kiden Ina Mehak Rae Lango

Oleh Muhammad Baran

Ama oh ama..
bera balik ia lewo.
Jadi kame ata buto,
ama pana balik hala.
Keban rae lewo weran,
ina mata peken goe rua.
Ada hal yang tak lazim di sini. Suami yang jauh merantau, kadang bertahun tak pernah mengirim kabar berita maka biasanya kami anak-anak labala yang malang ini sering menanyakan kabar amak-amak kami bila ada orang sekampung kami yang pulang dari sabah-malaysia.

Istri mana yang sanggup menanggung derita lahir-batin lantaran bertahun-tahun tanpa kabar dari sang suami? Anak mana yang tak sedih bila melihat teman sepermainannya bisa bermain atau digendong oleh amaknya yang baru pulang dari rantau?

Airmata kesedihan bagi inak-inak yang dicampakan kelake (suami) dan anak-anak labala yang ditinggal pergi amak, seperti sudah menjadi karib. Inak-inak kami seperti kewae kiden (janda) yang ditinggal mati suami  dan kami anak-anaknya seperti kenukan (yatim). Padahal kami masih punya amak yang masih hidup, tapi entah dimana sekarang.

Hulen ata nekin-wanan,
geka basa rema leron.
Pi terado pita gere,
gaha gape weli wato pukan
Meski alas an kepergian kelake (suami) adalah untuk mencari nafkah, namun para kewai (istri) dan anak-anak malang ini menghidupi dirinya dengan bekerja keras di lewotanah (kampong halaman). Sementara harapan nafkah yang dinanti dari perantauan tak kunjung tiba. Satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya terus menanti.

Di kampong saya, labala, dengan alas an merantau, ada suami yang tega meninggalkan istri dan anak-anaknya hingga 30-an tahun. Bahkan ada yang sampai beristri-beranak lagi di perantauan. Ada juga bahkan sampai tua dan meninggal di perantauan.

Saya tak sanggup mengukur kadar kesetiaan para inak-inak kami di kampong yang meskipun  dikhianati suaminya,  tetap tabah menjalani hidup, dan sabarmembesarkan anak-anaknya seorang diri. Bukan main. Bahkan mereka tak sedikitpun tergoda  untuk menerima lamaran laki-laki lain yang berniat memadunya.
Umumnya saat pergi merantau, anak yang ditinggal pergi sang bapak masih sangat kecil, bahkan belum bisa mengenakan celananya sendiri. Rata-rata anak di labala ditinggal amaknya pergi merantau berusia 5-7 tahun. Usia yang masih sangat belia. Anak-anak ini semestinya masih  berhak mendapatkan kasih saying dan pengayoman dari amaknya selaku kepala keluarga.

Saya sendiri termasuk salah satu anak labala yang malang itu. Saat ditinggal pergi amak,  saya baru berumur enam tahun. Saat itu saya belum  duduk di bangku sekolah. Amak saya baru pulang dari merantau saat saya sudah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Bukan main penantian ini. (**)

0 komentar:

Posting Komentar