Jumat, 23 Maret 2012

Maha


Maha

Oleh : Muhammad Baran

Tuhan adalah Sang Khalik (salah satu dari 99 nama dan sifat-Nya). Dia kita imani sebagai Yang Maha Pencipta misalnya. Dan karena dia Maha-yang berarti: yang paling, yang super, yang ter-dan entah apa lagi standar kata dan bahasa yang bisa kita gunakan untuk mendefinisikan kemahaan-Nya.

Maha-menjadi kata yang paling tidak ,bisa dianggap mewakili segenap penggambaran kita terhadap kuasa-Nya. Karena “Tak ada yang setara atau serupa (dalam hal apapun) dengan Dia,” Dia tempat bergantung segala hajat makhluk, tempat berharap pertolongan, muara segala tujuan. Demikian simpulan yang termaktub dalam kitab suci.

Barangkali bila kita bisa  menyederhanakan dan menarik pahaman kita akan makna kata “maha” dalam ilmu matematika, maka maha juga berarti tak terhingga, dengan demikian Dia tak terdefinisikan. Dia tak terpermanai. Dia tak sanggup dijangkau oleh akal dan logika material. Karena Dia tak menempati ruang dan waktu , pula tak tercipta dari materi-apa pun bentuk dan unsur dari materi itu.

Akal dan segala kemampuan yang kita miliki tak cukup memberikan penggambaran tentang  Tuhan secara holistic. Maka sekadar membayangkan, apa lagi menganggap manusia misalnya adalah Tuhan atau sama dengan-Nya-suatu konsep yang teramat konyol, itu bukanlah pujian tapi sebuah penghinaan-kepada manusia yang dipertuhankan, lebih-lebih kepada Tuhan itu sendiri.

Akal kita -yang meskipun dalam segala hal –adalah dhaif ini, dibimbing oleh-Nya untuk memiliki kesimpulan sendiri, bahwa selamanya pencipta (Tuhan) dan yang dicipta (hasil karya Tuhan) berbeda eksistensinya. Yang satu berada di luar jangkauan  dimensi ruang, waktu, dan materi, sementara yang lainnya  justru “terperangkap” dan tak bisa diceraikan dari dimensi-dimensi duniawi itu.

Lalu bagaimana bisa kita melukis Tuhan dengan hanya mengandalkan kanfas imajinasi, dengan warna tinta bianglala yang terbatas ruang, waktu dan materi? Kita barangkali mungkin bisa melukisnya dengan indah. Sayangnya keindahan itu sendiri bersifat subyektif.  Menurut kita, barangkali mampu menemukan ide dan melukis keindah-Nya, tapi belum tentu menurut Dia. Atau jangan-jangan malah kita justru merusak keindahan-Nya itu..

Mungkin satu-satunya pintu masuk menuju pemahaman kita akan kemahaan-Nya hanyalah dengan pendekatan iman.Iman yang senantiasa mencari dan menemukan eksistensi-Nya sampai ke batas yang tak kita sanggupi lagi. Memang, selalu ada yang tak sempurna kecuali Dia. (**)


0 komentar:

Posting Komentar