Sabtu, 31 Maret 2012

Waktu


Waktu


Oleh : Muhammad Baran

Bila waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti teman sejati tinggallah sepi…


Tak terasa perjalanan waktu setia menemani kita berkelana di jagat ini. Kadang memang kita terlena-oleh pesona dan silaunya. Hingga tak sadar, waktu akhirnya membawa kita hingga di ambang batas usia yang tak lagi muda. Batas yang telah ditakdirkan, bahwa hidup kini di sini memang mesti berujung akhir. Sekali lagi, hidup memang mesti menemukan ujungnya.

Di sini, waktu mengajarkan kita menghargai hidup, agar kita menghadirkan karya yang bisa dinikmati-juga sebagai bukti bahwa kita pernah ada-dan selanjutnya diwariskan kepada generasi, yang bakal menggantikan kita, melanjutkan kerja kita yang mungkin saja belum sepenuhnya tuntas .Tak hanya sekarang, tapi juga nanti. Sampai di sini kita baru tersadar, betapa waktu sungguh berarti-dan karenanya kadang tak kita sadari, dia cepat berlalu.

Dan mari lihatlah! Kian waktu, dunia-yang kita diami dan mungkin pernah kita anggap sebagai surga dengan aneka kekaguman-semakin merenta, semakin uzur terkikis oleh waktu itu sendiri. Termasuk kita -aku, kau dan semesta. Maka kita mesti pandai menempatkan diri agar hidup kita ini tak sia-sia, penuh makna, dan tentu saja punya guna.

Alangkah celakanya bila hanya karena hidup yang tak becus dijalani, tak memberi guna tapi malah menjadi bencana-tak hanya kini di sini, tapi juga nanti di sana.Maka, menyesal dahulu,mungkin ada gunanya. Karena bila tidak, berlakulah pepatah klasik, “Menyesal kemudian, tiada berguna.”

Hidup kita ibarat pohon-orang biasa menganalogikannya dengan pohon kehidupan. Kita punya daun kehidupan, batang kehidupan, juga akar kehidupan. Kita adalah satu kesatuan dari pohon itu sendiri yang tak boleh dicerai-beraikan. Bila bercerai, maka kita tinggallah mitos yang hanya lekat dalam ingatan anak cucu kita-itupun bila kita meninggalkan jejak  yang bisa ditelusuri berupa karya yang berguna. Sebagaimana kehidupan organisme lain di dunia ini, pohon kehidupan tak selamanya ada. Dia memang memiliki eksistensi, tapi eksistensinya tak kekal, tak abadi.

Kian waktu, dedaun dari pohon kehidupan akan luruh satu per satu hingga pada saat yang telah ditentukan, akan habis-sebagaimana spesies makhluk lain yang kini hanya tinggal mitos.. Akan tiba masa dimana pohon itu sendiri akan tumbang, tercerabut dari akarnya. Semua itu tercatat rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.

Engkau, aku dan semesta-sekali lagi-tak lain hanyalah makhluk yang tak sepenuhnya kekal kini di sini, di jagat yang sementara ini. Kita bahkan tak sepenuhnya cukup tahu kapan –sebagaimana yang dikabarkan kitab suci-setiap yang bernyawa (termasuk barangkali yang tak bernyawa) akan berkesudahan. Kita akan mati manakala ajal telah ditakdirkan untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah senantiasa terjaga, jika sewaktu-waktu  pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya.

Banyak sekali hal yang bisa menjadi tanda-sekaligus pelajaran-akan perjalanan hidup kita. Tanda yang terkadang tak kita sadari, bahkan mungkin sengaja tak disadari karena terlena, terpesona oleh kemewahan dunia. Tanda sebagai peringatan, bahwa eksistensi kita sudah ditakdirkan. Tak perlu jauh-jauh. Coba lihatlah kerutan yang berombak di dahi Ayah dan  Ibu kita misalnya. Juga rambut mereka yang pecah memutih. Ada tanda sekaligus peringatan di sana. Terbayang mungkin daun kehidupan ayah dan ibu kita telah menguning dan siap luruh.


Sampai di sini, tak ada yang patut disalahkan-termasuk waktu yang hanya menjalankan amanah dari Yang Kuasa. Kita memang tak perlu menyalahkan waktu-meski banyak sekali hal yang berubah oleh waktu. Tak terelakan memang ketika hidup kita terus berubah-tapi  memang dia harus terus mengalir, seperti air. Banyak hal yang menjadi tanda masa kecil kita misalnya, kini telah berubah.

Lihatlah realita kehidupan di sekeliling kita, di lingkungan kita! Pepohonan kian  habis. Sawah-sawah sudah ditumbuhi rumah-rumah dan pusat perbelanjaan modern. Tempat ibadah berubah sunyi. Dan serta merta hidup kita pun tak ketinggalan, juga berubah. Hidup kita lebih suka keluyuran, ke mal dan bioskop.Muda-mudi kini tak sungkan lagi berbusana setengah jadi.  Para bujang lapuk lebih suka bergerombol di pinggir jalan ditemanai botol, kartu,  dan gitar. Gadis hamil di luar  nikah menjadi kabar biasa . Banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa kepentingan lumrah terjadi dimana-mana.

Kalau mau jujur, Kita memang lebih banyak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang diberikan-Nya dari pada mengisinya dengan karya. Kita bahkan kerap bangga dengan dunia yang hanya sementara. Hingga akhirnya waktu tiba-tiba berhenti tanpa kita sadari. Padahal tak lagi ada jalan untuk mengulangi kembali waktu yang telah kita lewati. Maka mari kita sadar dan berkaca diri. Apakah gerangan bekal yang sudak kita persiapkan untuk bersua dengan-Nya? Kita pantas malu ketika bersua yang Maha Kuasa, tak ada sesuatu yang bisa kita banggakan di hadapan-Nya. Terngiang nyanyian Opik:

Bagai manakah merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali mengulangkan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan sgala yang ada akan kembali pada-Nya
Bila waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal
Bila waktu tlah terhenti teman sejati tinggallah sepi…(Opik). (**)


0 komentar:

Posting Komentar