Jumat, 23 Maret 2012

Tirai…


Tirai…

Oleh : Muhammad Baran

Dengan iman, kita barangkali tak punya cukup wewenang meragukan keberadaan Tuhan. Tapi bukan berarti Dia selamanya terhijab dan selebihnya kabur bagi kita, sehingga beragam spekulasi tafsiran coba diwacanakan  untuk mencari dan menemukan dimana sebenarnya keberadaan-Nya
.
Maka masing-masing kita ingin mencari Tuhan dengan menemukan sendiri jalan mencari-Nya. Agaknya dari sini aneka agama-termasuk aneka mazhab dan sekte keagamaan, aliran kepercayaan- hadir untuk mencoba  “menerka” dimana ada-Nya. Masing-masing menempuh jalannya-dengan aneka tafsirnya pula- mencari Tuhan  dengan menelusuri aneka lorong dan setapak.

Bermodalkan suluh iman  yang selalu menyala di tangan, tak lelah kita mencari-Nya. Pencarian yang tak henti. Pencarian yang entah kapan  menemukan ambang batasnya. Hingga menemukan ada-Nya.
Saya teringat Nabi Musa –menurut riwayat- pernah  bertanya, “Tuhanku, dimanakah aku harus mencarimu?.”  Lalu Tuhan pun menjawab, “Wahai Musa, Carilah Aku di antara hamba-hambaku yang hancur hatinya.”

Di sini kita tersadar, betapa Tuhan tak hanya hadir di mesjid-mesjid yang gaduh dengan suara ceramah dan pengajian. Tak hanya pula hadir di gereja-gereja yang ribut dengan gemuruh kidung litani yang membahana. Tak pula hanya hadir di sinegok, vihara, dan kuil, dimana aneka doa dirapalkan dengan tergesa, tak lagi khusuk.

Tapi Tuhan –sebagaimana jawaban yang diperoleh  Nabi Musa di atas- juga hadir di prapatan jalan yang ramai dengan angkringan mengiba segepok receh, di bawah kolong jembatan yang sesak dengan rumah yang terbuat dari sisa bekas karton atau kardus, di kantong-kantong pengungsi dengan tangis air mata, juga di panti asuhan yang sunyi menanti uluran tangan, atau juga Tuhan hadir ketika seseorang terluka hatinya karena kezaliman dan keangkaramurkaan,

Semua ini tak pernah kita sadari. Atau jangan jangan-lantaran asyik dengan gaduh suara ceramah dan pengajian, gemuruh litany yang membahana, juga aneka doa yang digumamkan-sehingga lupa, kalau Tuhan mungkin “bosan” dengan aneka puja dan puji yang banyak itu. Puja dan puji yang  mungkin tak sepenuhnya tulus dari hati karena cinta. Puja dan puji yang  tanpa pernah  ada aplikasi nyata dari aneka ceramah, gemuruh litany, juga doa-doa itu.

Memang pada saat hati kita hancur kita serasa dekat dengan Dia. Tapi celakanya-sebagaimana yang di tulis Jalaluddin Rahmat-ketika hati kita  dipenuhi dengan keharuan, lidah kita keluh. Kita bahkan tak sanggup mencari kata-kata yang secara tepat melukiskan perasaan kita kepada-Nya. Di sini kita mesti mengubah paradigma kita tentang Dia, yang kata-Nya mesti dicari di antara hamba-hamba_Nya yang hancur hatinya.Bukan hanya di mesjid, di gereja, di vihara, atau kuil itu.(**)


0 komentar:

Posting Komentar