Minggu, 09 September 2012

Labala


Bagiku, Kampunglah Tempat Aku Belajar Kebersahajaan*

Muhammad Baran

Perlu Kau ketahui kawan. Bagi orang kampung sepertiku, masa kanak-kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Masa dimana setiap anak usia Sekolah Dasar mengekspresikan diri dengan kesenangan (tentusaja bukan kesenangan seperti yang dipersepsikan orang dewasa).

Bagiku, menyabet predikat Orang Kampung bukanlah hal memalukan namun justru menjadi sebuah kebanggaan. Yah kebanggaan yang tak sudi kutukar dengan kebanggaan-kebanggaan lain yang sering diperebutkan orang-orang kota itu.

Di kemudian hari, kampung bagiku adalah tempat aku belajar mengenal kebersahajaan tanpa pamer, ketulusan tanpa pamrih, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mungkin jarang atau bahkan tak lagi kita temukan di kota.

Sudah menjadi lumrah di kota, tetangga sebelah rumah tak saling mengenal. Rumah dibuat bertingkat, pagar dilengkapi alaram tercanggih. Bila perlu diikat pula anjing galak di halaman rumah untuk mengantisipasi bila ada gelagat yang mencurigakan. Sepertinya mereka hidup dengan saling curiga.

Kota memang tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Disana pula arus ekonomi dan uang mengalir seperti air sungai. Segala macam kemudahan hidup bisa diperoleh asal mempunyai uang. Di kota segala sesuatunya dibayar dengan uang. Tapi sayangnya, mereka tak bisa membeli kebahagiaan dan kebersamaan seperti yang dimiliki orang-orang di kampungku, Labala-Lembata-NTT. Sebesar apapun nilai uang itu.

Tapi itu di kota kawan, dan aku bukan orang kota. Di Labala kampung halamanku, aku mengenal tetangga-tetanggaku, bahkan seluruh warga kampungku seperti aku mengenal keluargaku sendiri.

Bila ada tetangga yang mempunyai hajatan, tetangga lain dengan suka cita membantu. Mereka membawa beras, sayur, ikan dan keperluan lain untuk dimasak dirumah yang empunya hajatan.

Aku teringat sewaktu duduk di bangku kelas IV SD Inpres Luki. Saat itu bertepatan perayaan Maulid Nabi. Saat itu aku menjadi salah satu peserta sunatan. Aku yang belum paham apa-apa tentang nilai kebersamaan, senang bukan kepalang ketika satu-persatu tetanggaku datang ke rumah menyalamiku dengan membawa aneka hadiah. Ada yang datang membawa amplop berisi uang meski isinya hanya segope. Ada yang datang membawa hadiah pakaian dan sarung yang merupakan ole-ole yang dikirim keluarganya yang lama merantau di Sabah-Malaysia.

Bahkan ada yang datang dengan menjunjung beras merah khas kampungku sambil menggendong dua ekor ayam jantan. Mereka melakukan itu dengan sepenuh keikhlasan seakan yang akan di sunat adalah anak kandungnya sendiri. Semua larut dalam suka cita. Demikian sekelumit contoh bagaimana kehidupan di Labala, kampung halamanku. Kampung yang nun di timur sana, di kabupaten Lembata-NTT (**)

*Tulisan ini sudah dimuat di rubrik kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar