Sabtu, 13 Juli 2013

Ramadhan dan Paradoks

Ada hal yang paradok dari umat islam ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tengoklah ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreatifitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan di bulan ramadhan naik sampai berlipat-lipat. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Coba datanglah ke mall, super market dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Atau jalan-jalanlah untuk membeli jajanan sederhana di kaki lima. Kita akan lihat aneka menu nan lezat  yang tak kita dapatkan sehari-hari di luar bulan ramadhan.

Ada juga realitas yang aneh saat bulan ramadhan di Indonesia. Kebanyakan kita yang berpuasa justru bersikap seakan-akan anak manja. Kita minta diperlakukan seistimewah mungkin. Kita ingin dihormati sebagai orang yang tengah berpuasa. Maka di jalan-jalan, di lorong-lorong, akan ada terpampang imbauan, “Hormatilah orang yang berpuasa!” Tak hanya sampai di situ, imbauan ini pun disampaikan melalui pengeras suara mesjid, di pengajian majlis ta’lim dan dimana pun. Bahkan tak lupa imbauan itu pun kita sampaikan juga kepada anak-anak kita yang belum tahu apa itu pahala dan dosa. Inti dari imbauan itu adalah: “jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”.

Jika demikian model puasa kita, maka makna puasa kita justru terbalik sebagaimana yang dikatakan Goenawan Mohamad: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Di bulan ramadhan orang-orang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah. Tapi benarkah kita berpuasa semata-mata  tulus karena Allah?

Lalu mengapa rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan? Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di hari lebaran.

ah betapa ironisnya. Ternyata ketika berpuasa, kita menuntut perlakuan ekslusiv, merasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk kita. Padahal ketika kita berpuasa kita tak pernah mengharap penghormatan orang lain, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih. Bahkan inilah puasa sebagai pilihan laku untuk menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa yang mampu meredam keinginan-keinginan duniawi yang melampaui batas itu.

Dengan puasa yang semata-mata karena Allah pula, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang. (**)

0 komentar:

Posting Komentar