Sabtu, 13 Juli 2013

Ayat-ayat Sakral

Apakah kita ini hidup di negara mainan? ketika semakin merosot wibawa negara. ketika kita yang mengaku sebagai warga yaang beradab justru berani menentang lembaga  negara dengan senjata hukum. Ketika bunyi pasal-demi pasal bergaung di udara saban hari. dan ketika pasal-pasal bikinan manusia yang tak sempurna itu menjelma menjadi ayat-ayat sakral…
Maka………..

Mereka yang berotak cerdas atau berotak rombengan menjadikan lembaga-lembaga negara menjadi sasaran permainan.  sementara yang menjadi pahlawan adalah para pelaku kriminal. Yang menjadi politisi adalah para bintang-bintang panggung dan televisi. Para koruptor dihukum setara dengan maling pisang, dan diseluruh negeri para pengacara  kian menjamur menjadi pembela para bandit kerah putuh…

apakah sebagaimana yang dikatakan filsuf politik Hanna Arendt, dimana-mana politik memang tak bisa lagi dipisahkan dari kebohongan, sampai-sampai kebenaran sulit menjadi kriteria politik lantaran politik memang tak berkenan dengan kebenaran, tapi naluri  mempertahankan  dan memperbesar kekuasaan, atau politik bergerak sedemikian rupasehingga mendepak kebenaran, atau politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan malah cenderung menjadi permainan?

atau apakah seperti yang dikatakan oleh Machiavelli, bahwa kekuasaan terkait dengan kodrat manusia yang suka berbohong, dimana tak ada larangan yang begitu sering dilanggar  seperti larangan berbohong sehingga ada anggapan, di dunia ini ada manusia yang tak membunuh,  tak mencuri, tak berselingkuh, tapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau bohong?

ah jangan-jangan kebohongan, sebagaimana yang dikatakan novelis dan esais Jean Paul, sebagai penyakit kanker ganas di bibir hati terdalam manusia, atau sebagaimana kata penyair  Heinrich Heine, kebohongan  bahkan bisa menyelip kedalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis?

atau jangan-jangan seperti yang dikatakan oleh Sutradara teater dan esais, Benjamin Korn, bahwa politik bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Sekali pelumas kebohongan berhenti,  maka mesin politik akan macet?

dan lama-kelamaan kita dininabobokan oleh kebohongan itu sampai-sampai seakan kita kita tak bisa keluar lagi. kita mungkin jengkel, namu tak tahu dimana jalan keluarnya. Inilah barangkali maksud Henrich Heine ketika ia mengatakan, “Penipuan itu manis, tetapi  ketertipuan lebih manis lagi rasanya.

“Ibu segala dosa kebohongan memang sulit diberantas. filsuf immanuel Kant mengibaratkan kebohongan bagai kayu bengkok, tak mungkin  ditukangi  untuk diluruskan.” Masih menurut Kant, jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketakpercayaan, maka roboh pula sendi-sendi hukum.  Kemanusiaan menderita karenanya.

Wah cilaka duabelas. Bukankah ada dikatakan, harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya? Jika demikian kondisi perpolitikan di negeri ini, bagaimana bisa kita-yang katanya manusia yang religius, tahu sopan santun dan tatakrama pergaulan-sampai tersesat dalam kondisi yang gawat darurat seperti ini? Setan apakah gerangan yang begitu gilang gemilang menggelincirkan kita dari jalan kebenaran? Atau jangan-jangan tanpa kita sadari kita adalah pengikut setia setan-setan itu, atau jangan-jangan kita sendiri adalah setan-setan itu. (**)

0 komentar:

Posting Komentar