Kamis, 27 Februari 2014

Siapakah Kita Sebenarnya?

Oleh Muhammad Baran

Pertanyaan dari judul di atas, "Siapakah Kita Sebenarnya?" kiranya menjadi refleksi bagi siapa pun. Kerap dalam keseharian, kita begitu lalai mempertanyakan bahakan sejenak merenungi siapa diri kita, apa tujuan-tujuan hidup kita dan kepada siapa tujuan-tujuan itu kita haturkan.

Kesibukan kita mengejar materi yang kita kira bisa mengekalkan harapan dan impian kita, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab kelalaian kita merenungi pertanyaan di atas. Tak heran bila kemudian kita kadang merasa hampa meski hidup bergelimang materi, keseharian kita berlalu terasa tanpa makna meski banyak sekali hal yang telah kita perbuat.

Ada hal yang terlewati dari hidup kita, ada sesuatu yang selama ini terabaikan karena kita menganggapnya tak terlalu penting atau malah kita menganggapnya sama sekali tak penting  yaitu mengenal diri kita sendiri.

Bukankah ada dikatakan: siapa yang tak mengenal dirinya, maka tak kenal pula Ia akan Tuhannya? Artinya, siapa yang tak mengenal dirinya, maka bohong belaka bila dia mengaku-ngaku telah mengenal dengan baik Tuhannya.

Jadi, Siapakah kita sebenarnya? Banyak definisi  dan teori yang telah dicoba untuk mengetahui dan mengenal siapa kita sebagai manusia, makhluk multi dimensi ini.

Bagi  mereka yang mengagungkan dimensi spiritualitas akan memaknai manusia dengan idiom-idiom  khas ketuhanan atau agama. Bagi mereka yang memuja humanisme barangkali akan memaknai menusia dengan diksi-diksi kemanusiaan. Bagi mereka yang beraliran materialis akan memaknai manusia dengan slogan-slogan kebendaan dengan menafikan Tuhan dan lebih ekstrim, menafikan semesta hati dan jiwa atau hal-hal yang bersifat rohaniyah.

Kita percaya, bahwa manusia tidaklah semata makhluk spiritual, humanistik, ataupun materialsitik. Manusia adalah sesuatu kompleksitas yang tak cukup tuntas untuk didefinisikan dan dipahami sebab selalu ada dimensi yang terlewatkan setiap kita bertutur tentang manusia.

Ketika kita hanya menempatkan manusia sebagai makhluk religius saja, nyatanya kita sebagai manusia butuh makan, uang, rumah, teman dan tatanan sosial. Ketika kita menilai manusia sebagai makhlik sosial-humanistik saja, nyatanya kita butuh Tuhan dan wahyu kitab suci untuk menjawab keliaran imajinasi-imajinasi kita tentang kehidupan yang tak terfisikkan. Juga memahami manusia sebagai makhluk material belaka, faktanya kita tak bisa menghindar dari rasa kecewa, sedih, marah saat ada sesuatu yang tak sesuai dengan harapan kita.

Begitu juga kita sangat yakin, agama atau kebajikan spiritual apapun diturunkan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai manusia. Intinya adalah manusia dan sudah pasti bukan Tuhan. Sebab Tuhan tanpa perlu kita tuhankan tetaplah Tuhan dengan segenap kebesaran dan keesaan-Nya. Maka agama, kebajikan spiritual, atau kultus-kultus religi apapun yang tidak menempatkan manusia sebagai tema utama hanyalah kepalsuan belaka alias omong kosong saja.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah berbicara tentang renik-renik yang meliputi kehidupan manusia otomatis meliputi pemahaman tentang Tuhan, jiwa, emosi, sosial, dan materi sekaligus. Mulai dari soal dilema rasa, obsesi, pilihan hidup, cinta, materi, omong kosong, ego, makna kehadiran, hingga kematian.

Jadi, siapakah kita sebenarnya? Jawabannya lebih tuntasnya kembali kepada pengalaman kita merenungi tujuan penciptaan kita, eksistensi keberadaan kita, dan lebih daripada itu, sedapat mungkin kita bisa memaknai hidup yang dijatahkan Tuhan kepada kita ini.

Selebihnya, kita mesti melarung diri dalam pergulatan kehidupan ini untuk menggali lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya. Dan bila itu juga tak bisa, maka benarlah seperti yang dikatakan oleh orang bijak, bahwa manusia adalah makhluk yang tak pernah tuntas dipahami. (**)

Makassar (Pondok Hijau), 21 Januari 2014
saat matahari tinggal sepenggalan di ufuk barat sana.

0 komentar:

Posting Komentar