Jumat, 27 April 2012

Nisan


Nisan*

Oleh : Muhammad Baran


Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertkhta

Yang paling dekat dengan kita adalah kematian-demikian kata sebagian orang. Saking dekatnya, sehingga kematian tak mungkin bisa dielakkan. Kematian yang kerap dianggap “momok” hingga kini tak ditemukan formula yang tepat untuk menghentikannya. Manusia mungkin hanya bisa menunda kedatangannya, namun tak kuasa menghentikannya manakala dia sudah berhasil memeluk dan merenggut.

Hingga tak sadar, ketika kematian datang dengan tiba-tiba, kita hanya bisa terhenyak. Secepat itu umur berlalu dan usia berkurang. Yang satu ini benar-benar kerap kita lalai dan lewat begitu saja, meski tahu dan yakin ia pasti datang. Tanpa risih, apa lagi risau. Meski kematian seakan menjadi hal biasa dan lumrah, tapi dia tetap menjadi momok, penuh misteri, selebihnya penuh dengan teka-teki.

Banyak peristiwa yang mencengangkan dalam hidup kita. Tapi barangkali tak ada peristiwa yang lebih mengguncang selain peristiwa kematian. Di sini ketika kematian tiba-sebagaimana dikatakan Chairil Anwar-kita hanya punya pilihan “Ridla menerima segala tiba.” Tak bisa tidak. Kita memang begitu tak berdaya. Dan sang nasib begitu dingin, tanpa belas kasih, perlahan menyeret kita menuju liang peristirahatan.

Tapi “Bukan kematian benar yang menusuk kalbu,” kata Chairil.  Kematian memang sesuatu yang pasti, dan harus dihadapi manusia, rela atau terpaksa. Karena kematian itu pasti, dia menjadi rutin . Kita kerap tak menyadarinya  sehingga dia  kurang dihayati lagi, bahkan tak dikenal secara pribadi.

Kematian menjadi sesuatu yang sepenuhnya abstrak, sampai dia secara pribadi langsung datang menyalami dan mendekati kita, atau kepada orang yang sangat dekat dengan kita.Di dini kematian-sebagaimana puisi Chairil Anwar di atas-membuat kita tak berdaya menghadapinya, dan sang maut bekerja tanpa mau kompromi dengan siapapun jua. “Tak kutahu, setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertakhta,” kata Chairil.

Jika kematian begitu perkasa, saat nama kita dipanggilnya, siapa yang sudi, bahkan sanggup menulong? Lalu apa guna segala usaha yang kita persembahkan dalam hidup ini. Apapula  arti harapan, apa arti cita-cita, apa arti keinginan kalau maut datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan?

Tak lain hidup hanyalah “pematang” yang menahan “ombak” dari “lautan maha dalam” yang memukul dentur selama” hingga akhirnya pematang tersebut “hancur remuk redam” ketika maut mememanggilnya. Sampai di sini, apakah ini suatu kesia-siaan belaka? Sebagai manusia, jawaban bijak yang bisa kita berikan adalah meminjam jawaban yang diajarkan kitab suci: “Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan segala dan semesta ini-termasuk kematian-hanya sia-sia. Maha suci engkau, maka sayangilah kami dari marah-Mu.” (**)

*Tulisan ini terinspirasi dari kumpulan puisi Chairil Anwar, penyair besar negeri ini di abad lalu.

0 komentar:

Posting Komentar