Sabtu, 16 Juni 2012

Onem Ake Kuran


Ina, Moe Onem Ake Kuran

Oleh: Muhammad Baran


ibu beri aku cinta mu

biar tak penuh utuh

sebelum senja menuju

tetap kusetia menunggu 


ibu, mungkin baktiku tak penuh utuh

sebelum maut merenggut

beri aku restumu


ibu, kini kutahu

bahwa di setiap doamu

namaku kau sebut selalu



Ibu,masa kecil masih kukenang selalu. Kau menuntun tangan kecilku, mengajariku berjalan dan berlari di pantai, juga di jalanan kampung kita, Labala.


Aku teringat suatu hari kau memarahiku. Ketika menjelang magrib, aku masih asyik bermain bersama teman di Pantai Wailolon. Kebetulan sore itu laut lagi surut dan pantai berpasir. Banyak anak-anak kampung yang asyik bermain. Anak-anak yang remaja asyik bermain bola. Sedangkan saya dan teman-teman yang masih kecil bermain londos (berselancar) dengan menggunakan keleppa tapo (pelepa kelapa yang sudah dipotong bagian atas untuk kau-atap rumah).


Sebagai ibu yang baik, kau mencariku ke mana-mana, bertanya kepada keluarga dan tetangga di sebelah rumah. "Ina-ama, mio moi ana goen hala?," tanyamu kepada setiap tetangga yang kau temui. kau mencariku keliling kampung Luki-Pantai Harapan.


Hingga akhirnya kau mendapatiku lagi asyik bermain londos bersama teman di Pantai Wailolon yang indah itu. Kau memanggil dan menggendongku pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, dari kejauhan suara azan berkumandang dari mesjid as-Shamad Luki (sekarang sudah diganti namanya menjadi al-Hijrah, dekat kantor desa yang baru di bangun itu)


"Ana goen, puken aku rema pi bauk kae pe mo peten balik lango dihala?,” demikian suara lembutmu mengingatkan kelalaianku. Ah waktu itu aku masih kecil Ibu, masih kelas II SD Inpres Luki, sehingga kata-katamu tak kuhiraukan. Sesampainya di rumah, kau mengganti pakaianku yang basah dan mengeringkan badanku dengan nowing (sarung tenun daerah).


“Ana goen, moe amam pe nai doan, lau Sabah. He goe mehak hena jadi gerie mio. Mai irem pe, pete seru lampu hoto lango,” demikian kudengar kata-katamu begitu lirih, begitu lembut. Di antara cahaya temaran lampu pelita malam itu, kulihat matamu berair. Satu-satu bulir airmatamu jatuh ke tanah. 


Ibu, waktu itu aku masih kecil. Tak tahu pedih-perih hati seorang wanita yang ditinggal pergi suami. Seorang diri mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Seorang diri ibu. Tanpa suami yang lama pergi jauh merantau tanpa kabar dan berita.
 


Ibu, masih banyak kenakalan masa kecilku yang kerap membuatmu menangis. Bahkan kau pernah bersitegang dengan salah seorang warga kampung yang marah-marah karena kenakalanku. Masih ingatkah ibu? Karena ulahku, pernah ada warga kampung yang datang ke rumah dan marah-marah lantaran saya dan teman-teman serampangan saja menebang au (bambu) di kebunnya. Kata warga kampung itu, au puke yang susah payah ditanam di kebunnya, di pinggir wai belehe, kutebang ramai-ramai bersama teman.
 


Waktu itu aku juga masih kecil ibu, kelas IV SD. Di satu sore, sebagaimana kebiasaan anak-anak kebanyakan di Labala, saya mengajak teman-teman di kampung untuk pergi mencari wuru witi (pakan ternak) di kebae. Karena waktu itu nue lerrehe (kemarau) ,  tak ada daun hijau yang kami dapati untuk wuru witi. Tiba-tiba ada seorang teman yang mendapati serumpun bambu yang hijau di pinggir wai belehe. Rumpun bambu itu pun kami tebang ramai-ramai. Daunnya kami bagi sama rata untuk wuru witi, batangnya juga kami bagi untuk dibawa pulang.
 


Betapa nakalku waktu itu ibu. Tapi kau tak memarahiku. Malah kau mati-matian membelaku di hadapan warga kampung yang marah-marah itu. Bukan berarti kau merestuiku melakukan perbuatan tercela itu. Sama sekali bukan.  Semua pembelaan itu kau lakukan  karena menurutmu, aku masih kecil dan belum tahu apa-apa.
 


“Maaf ama, ana goen pe masih kre-kre wa. Nae watik sama noi alus ne daten wa. Ana goen balik be go kode tena naoso,” demikian kata-kata pembelaanmu untukku di hadapan warga kampung itu. Aku yang melihat warga kampung itu datang marah-marah, hanya bisa bersembunyi di balik pohon pisang yang gelap di samping rumah.


 
“Ana goen e,  puken aku ge mo pana mai ata duli-pali ? Duli titen take,pali titen kuran, ara goe bai huda  mo mai tebajak hala,” ujarmu kepadaku setelah tetangga itu pergi. Aku hanya bisa menangis, sejenak menyesali kenakalanku. 


Ah… kasih sayangmu Ibu begitu tulus. Untukku, buah hatimu. Tapi apa yang bisa kubalas? Hanya airmata. Maafkanlah anakmu ini. maafkanlah.
 


Satu pesanmu yang tak pernah kulupakan hingga kini ibu, “Ana, mo pana doan pe jaga leim-limam. Ake ne lekkot, ake ne bolaka.” Pesan ini yang selalu terngiang, ti go kette kaan pana laran, ti go pehen kaan gawe ewan. Lau sina, lali jawa.

Terima kasih ibu, terima kasih atas segala pengorbanan untukku. Budi moen go balas kewan hala, jasa moe go pate bisa hala. (**)

(pengalaman masa kecil dulu…
nun di kamponge…
Labala-Luki Pantai Harapan)

Labala,
Tanah bala matan
lewo wutun te pelate,
tanah watan te gelara
peten go gelupak hala
sudi go kelobot kuran.

2 komentar:

  1. mantab...terinpirasi dr masa2 kecil yg indah..

    BalasHapus
  2. penuh kenangan masa lalu.
    jadi pijakan kala melangkah.
    hidup memang penuh nostalgia.

    BalasHapus